Sixteen

C A P T I V A T I N G

Piers mengabaikan tatapan aneh setiap kali berpapasan dengan orang lain. Ia tahu mereka memandangnya aneh karena bekas luka yang tidak menghilang di wajahnya. Biasanya, ia akan berpura-pura bodoh dan memalingkan wajah, tidak ingin mendapatkan tatapan penuh penilaian padahal ia masih merasa seperti seorang monster. Namun, kali ini ia benar-benar tidak peduli dengan tatapan itu.

Kakinya melangkah cepat ketika menyelesaikan formulir untuk istrinya. Ia bahkan tidak terlihat peduli dengan fakta ia berkeliaran di rumah sakit dengan menggunakan kaus dan celana piyama. Tidak. Pikirannya sudah disibukkan dengan kenyataan bahwa ia akan segera menjadi seorang ayah. Ia hanya perlu menunggu paling lama dua belas jam untuk menimang anak pertamanya.

Di dalam ruangan itu, [First Name] sedang berjuang untuk melahirkan bayi mereka.

Dahinya mengernyit saat mendapati sosok berseragam putih sudah keluar dari ruangan [First Name]. Mungkinkah persalinannya sudah selesai? Atau ia salah kamar? Bukankah kebanyakan wanita akan membutuhkan waktu paling sebentar setengah jam untuk bersalin? Atau cerita dan rumor yang ia dengar itu bohong?

"Ah ... tuan Nivans. Istri anda menginginkan kehadiranmu," kata salah satu dokter yang sebelumnya menangani [First Name].

"Benarkah? Apa persalinannya sudah selesai?" tanya Piers masih bingung.

Ia tidak pernah berhadapan dengan wanita hamil, apalagi berada di situasi genting saat seorang wanita akan melahirkan. Wajar saja, jika ia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan seorang bayi, kan?

Dokter itu tersenyum. "Sepertinya istri anda adalah salah satu wanita yang beruntung. Tidak butuh lama baginya untuk melahirkan putra kalian. Tidak ada tangis dan jeritan. Tidak banyak wanita yang bisa melahirkan secepat ini."

"Benarkah?" Piers mengatakannya lagi, masih tidak percaya dengan berita yang ia terima.

"Silahkan," dokter itu mengangguk. "Kehadiranmu sangat penting untuk istrimu di dalam sana."

Piers masuk ke kamar [First Name] tanpa ragu. Ia mendapati [First Name] tengah bersandar di kepala tempat tidur dengan bantal menyangga punggungnya. Mata Piers terpaku pada perutnya yang sudah tidak besar lagi, tatapannya perlahan naik hingga beradu tatap dengan istrinya. Seperti yang dikatakan oleh dokter, ia tidak melihat jejak air mata di wajah [First Name]. Namun, peluh membanjiri pelipis dan lehernya.

Rasanya seperti mimpi. Setengah jam yang lalu, ia terbangun karena erangan [First Name]. Ia berusaha secepat mungkin mengemudikan mobilnya selama [First Name] berusaha menahan sakit. Ia merelakan sebelah tangannya hampir remuk karena berusaha menenangkan istrinya, tapi lihat sekarang. [First Name] yang bermandikan peluh tersenyum lemah ke arahnya.

"Bagaimana bisa secepat ini?" tanya Piers saat mendudukkan diri di samping [First Name].

[First Name] terkekeh pelan seraya mengangkat bahu. "Dokter bilang karena aku tidak seperti ibu hamil yang lain, karena itu persalinanku cepat."

"Maksudmu?"

"Walaupun ada waktu di mana aku tidak menjaga bayi kita, tapi aku tetap beraktifitas seperti aku tidak mengandung. Karena sering bergerak dan tidak pasif, dokter bilang itulah alasan mengapa bayi kita bisa keluar dengan cepat. Ia sudah terbiasa bergerak dalam perutku, hingga saat berkontraksi, ia sudah menemukan jalan keluarnya dengan cepat," jelas [First Name].

Piers hanya membungkam. Sisinya yang selalu mencoba terlihat kuat menghilang. Ia tahu di dunianya yang penuh dengan pertumpahan darah, tidak banyak yang mampu menjalin hubungan dan menikah apalagi sampai memiliki seorang anak. Ia berulang kali mengucap syukur dalam hati karena mampu mendapatkan apa yang belum tentu didapatkan oleh sebagian besar teman-temannya di BSAA.

"Omong-omong, bayi kita laki-laki," gumam [First Name]. Wanita itu menyandarkan kepalanya di pundak Piers. Lelah perlahan merasukinya bagai selimut. [First Name] berusaha tetap terjaga sampai putra mereka berada dalam pelukannya.

"Prajurit kecilku," Piers berucap saat bibirnya membelai puncak kepala [First Name]. "Prajurit kecil kita."

[First Name] menggumam kecil. Piers menahan senyum saat [First Name] mulai menutup mata. Ia meraih jemari [First Name], mengusap punggung tangan [First Name] dengan ibu jarinya. Sunyi menemani keduanya, kecuali bunyi konstan jam dan suara angin berhembus yang terdengar samar dari luar jendela.

"Aku tahu kau lelah. Kau bisa tertidur. Aku yang akan menjaga putra kita. Tenang saja," ucap Piers lembut seakan tidak ingin menghancurkan keheningan yang nyaman di antara mereka.

"Aku ingin melihatnya sebelum tidur. Kalau aku tertidur sekarang, aku pasti menganggap semua ini mimpi," suara [First Name] terdengar sangat pelan dan agak melantur, tapi Piers mampu mendengar ucapannya dengan baik.

"Begitukah? Kenapa?" tanya Piers seraya menyibukkan diri dengan memainkan rambut [First Name], sama sekali tidak keberatan saat bahunya semakin terasa berat karena kesadaran [First Name] yang perlahan menghilang.

"Karena semua ini memang terasa seperti mimpi," [First Name] memejamkan mata, bibirnya mengukir seulas senyum. "Berada dalam pelukan pria yang kucintai, hidup bahagia bersamanya selama bertahun-tahun, kemudian memiliki seorang putra bersama dengannya. Bukankah semua itu terdengar seperti sebuah mimpi yang sangat indah? Kalau semua ini hanya mimpi, aku tidak akan pernah ingin bangun dan menghadapi dunia nyata."

Piers mengeratkan genggamannya pada jemari [First Name]. "Kau tidak sedang bermimpi," Piers mencium dahi [First Name] lembut. "Aku benar-benar berada di sisimu dan kau baru saja melahirkan putra kita. Akhir bahagia kita memang belum terlihat, tapi sampai saat itu terjadi aku akan memastikan kalau semua mimpimu yang akan menjadi nyata. Kau tidak perlu hidup di dalam mimpi untuk mendapatkannya."

[First Name] tersenyum tanpa membuka mata. Belum sempat ia membalas ucapan Piers, suara pintu terbuka memaksanya untuk bungkam. Keduanya menoleh ke arah pintu dan sempat terpaku saat mendapati seorang suster menggendong seorang bayi dengan selimut berwarna biru.

"Putra anda, Nyonya Nivans."

[First Name] langsung mengambil alih putranya saat suster mendekat ke arah ranjangnya. Seakan mengetahui jika pasangan muda ini ingin memiliki waktu bersama dengan putra mereka, suster itu langsung keluar ruangan, membiarkan keduanya terpesona dengan kehadiran anggota baru keluarga mereka.

Piers membelai pipi putranya dengan jari telunjuk, dalam hati memekik karena putranya membuka mata dan melihat sekeliling dengan penasaran. [First Name] menciumi wajah putra mereka dengan antusias, terlihat benar-benar bahagia karena putra yang ditunggunya selama sembilan bulan akhirnya berada dalam pelukan.

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mencintai seseorang bahkan sebelum melihat wajahnya," bisik [First Name] pada Piers. "Aku sudah mencintainya saat ia berada dalam diriku. God, aku bahkan sudah mencintainya saat ia masih berada dalam angan-anganku."

Piers tersenyum kecil. "Aku mengerti perasaanmu."

Ia memang mengerti apa yang dirasakan oleh [First Name] karena ia pun merasakannya. Setiap malam berbicara dengan putranya padahal ia sudah tahu tidak akan mendapat respon yang berarti selain dari tendangan kecil dan omelan [First Name] karena sudah mengusik tidurnya. Namun, saat pertama kali mendengar bahwa ia akan menjadi seorang ayah.

Untuk sesaat Piers terdiam. Matanya terpaku pada dua orang yang ia cintai. Wanita yang mampu menjadi sandaran hidupnya bahkan saat ia tidak bisa berada di sampingnya, yang mampu membahagiakannya hanya dengan tersenyum dan ... seorang putra yang ia yakin akan membuat hidupnya jauh lebih sempurna.

Hanya satu kata yang mampu menggambarkan perasaannya saat melihat dua orang yang penting dalam hidupnya berada dalam pelukannya.

Terpesona.

So that's the end. Sebenarnya masih pengen nulis lebih panjang lagi, cuma karena udah lama gak nonton dan gak mainin RE, feelnya jadi kayak hilang gitu aja.

So sorry for the long delay. Hope you enjoy it. See you in another book!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top