Seven

M E M O R Y

Matanya memperhatikan [First Name] bagai elang. Bibirnya mengulas senyum saat [First Name] berkeliaran di sekitar dapur untuk memasak sarapan yang ia inginkan. Bagaimana wanitanya terlihat menakjubkan saat melakukan aktifitas normal, Piers tidak mengerti. Ia juga tidak tahu bagaimana cara [First Name] menjeratnya hingga tidak bisa berpaling pada wanita lain. Mungkin di kehidupan sebelumnya [First Name] adalah seorang penyihir dan ia adalah salah satu korbannya.

“Piers, kau mendengarkanku?” pertanyaan [First Name] memaksa Piers bangun dari lamunannya.

“Tentu saja,” bohong, ia hanya menangkap beberapa kalimat di awal pembicaraan sebelum tenggelam dalam lamunannya sendiri.

“Lalu bagaimana menurutmu? Haruskah aku mencoba menjodohkan Chris dengan Jill? Mungkin saja karena sudah terlalu lama bersama hingga mereka tidak menyadari perasaan mereka terhadap satu sama lain?” tanya [First Name] kembali sibuk dengan panekuknya.

“Aku tidak terlalu paham dengan hal seperti ini. Kau mengetahuinya lebih baik daripada aku,” balas Piers seraya mengangkat bahu acuh tak acuh. “Lakukan apa yang menurutmu perlu saja.”

Piers tidak mendengarkan kalimat [First Name] selanjutnya. Pikirannya kembali melayang. Pembicaraan tentang perasaan Kaptennya memaksa Piers kembali pada memori saat pertama kali ia bertemu dengan [First Name]. Momen pertama kali ia merasakan sesuatu terhadap wanitanya.

Mereka sudah terpojok. Piers berusaha mengatur nafasnya yang terengah setelah berlari untuk mengejar dan menghindari serangan B.O.W yang hampir menghancurkan mobil patroli. Piers mengangguk saat Kapten melirik ke arahnya, memberi isyarat untuk melindunginya selama Chris berusaha membalikkan keadaan.

“Sial,” desis Piers.

Pelurunya hampir tidak memberikan pengaruh apapun. Satu-satunya titik yang memberikan reaksi rasa sakit adalah saat pelurunya menghantam kepala. Seharusnya ia bisa menghancurkan kepala makhluk itu dengan beberapa tembakan menggunakan senjata kesayangannya, tapi ia tidak mendapatkan kesempatan itu. Monster besar berlendir itu terus saja memojokkan mereka hingga ia tidak memiliki kesempatan untuk menyelinap.

“Peluruku hampir habis,” Piers mendengar seseorang mengatakan kekhawatirannya. “Aku sudah habis,” yang lainnya ikut menambahkan.

“Kalau seperti ini terus, kita harus bertarung dengan cara konvensional Kapten,” bisik Piers di samping Chris.

“Aku tahu, Piers.”

Piers memperhatikan Chris tengah memikirkan cara untuk berhasil mengalahkan B.O.W dan menyelamatkan diri. Ia sendiri juga memperhitungkan kekuatan mereka sementara monster di hadapan mereka tengah menatap lapar dan keinginan untuk membunuh yang besar.

“Kapan bantuan yang kita minta akan datang!?” gerutu Piers seraya mempersiapkan diri.

“Kita hanya perlu bertahan sampai mereka datang,” ujar Chris. “Tidak ada yang tertinggal. Kita berangkat bersama, kita juga pulang sebagai tim.”

Langkah berat monster itu menggetarkan lantai yang mereka pijak. Piers sudah mempersiapkan diri untuk terkena hantaman tinjunya dan ia yakin timnya juga begitu. Pelurunya sudah habis, meninggalkan senjatanya tanpa amunisi. Ia mencengkeram senjatanya erat, meyakinkan diri ia mampu melawan monster itu walau hanya bermodalkan rifle tanpa peluru.

Saat tinju B.O.W itu hampir menghantam salah satu dari anggota tim, suara ledakan menulikan indra pendengarannya sejenak bersamaan dengan datangnya beberapa langkah kaki dan cipratan darah yang mengenai baju dan sebagian wajahnya.

“I’m sorry we are late, sir,” suara feminim khas seorang gadis menyapa telinga Piers. “Kami menghadapi sedikit masalah saat berusaha ke sini.”

“Tidak masalah, [First Name],” Piers mendapati Kaptennya tersenyum dan menepuk lembut kepala gadis itu. “Kau datang tepat waktu.”

Piers yakin ia tidak pernah memandang seorang gadis seperti ia memandang gadis yang belakangan ia ketahui bernama [First Name]. Mungkin karena gadis itu datang tepat waktu, mungkin juga gadis itu terlihat sangat cocok menenteng Assault rifle di lengannya atau mungkin karena ia tidak pernah melihat seorang gadis mampu tersenyum seindah dirinya.

Tanpa sadar, Piers tersenyum kecil saat matanya beradu pandang dengan mata gadis itu untuk pertama kalinya.

“Piers! Kau tidak mendengarkanku lagi,” omel [First Name]. Wanitanya berkacak pinggang, spatula teracung ke arah wajahnya. “Kalau masih mengantuk, kau bisa kembali ke tempat tidur. Jangan berpura-pura mendengarkanku dan membuatku terlihat seperti orang bodoh.”

“Maafkan aku. Aku hanya kembali mengingat sesuatu,” kata Piers menyunggingkan senyum penuh maaf.

[First Name] menghela nafas lalu berbalik. “Memang apa yang sedang kaupikirkan? Apa yang kauingat?”

“Saat pertama kali kita bertemu,” jawab Piers sambil menopang dagu. “Sejujurnya, aku sempat tidak percaya mendengar seseorang memanggilmu dengan titel Kapten. Sama sekali tidak bermaksud mendiskriminasi gender, tapi jarang sekali seorang gadis menyelamatkanku dan berpangkat kapten.”

“Kalau Jill mendengarmu, kepalamu sudah berlubang sekarang,” dengus [First Name]. “Lagipula, alasan utama mengapa aku pergi menolong tim Alpa karena aku mendengar suara Chris. Keselamatannya sangat penting untukku.”

“Dan wajahmu juga terlihat lucu saat pertama kali melihatku,” lanjut [First Name].

Piers menggeleng. “Bukan lucu. Terpesona, lebih tepatnya.”

“Apa?”

Piers meraih pinggul [First Name], membawa wanitanya lebih dekat. Ia sedikit mendongak untuk melihat wajah [First Name] dengan lebih baik. Ibu jari dan jari telunjuknya berada di dagu [First Name], meminta istrinya untuk beradu tatap tanpa suara.

“Aku terpesona saat melihatmu pertama kali. Dan aku masih terus merasakannya setiap hari saat melihatmu,” Piers mendekatkan wajahnya pada [First Name] sambil mengulas seringai congkak.

Tell me, baby, mantra apa yang sudah kauberikan padaku hingga aku terjerat dalam pesonamu, hm?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top