One

                                                                                E N G A G E D

Piers tidak pernah berlari secepat ini dalam hidupnya. Jantungnya berdetak begitu kencang. Nafasnya terengah terlepas dari jarak unit kesehatan yang tidak terlalu jauh. Piers memacu kakinya lebih kencang saat ruangan yang dituju sudah dalam jarak pandangan. Perasaan khawatir yang menyelimuti tidak membantunya untuk menenangkan diri. Ia tidak akan bisa tenang sampai melihat kekasihnya baik-baik saja.

Piers mendapat kabar dari Kaptennya, Chris, kalau tim kekasihnya, [First Name], sudah kembali. Namun, Kaptennya berkata kalau [First Name] kembali dengan tak sadarkan diri. Ia tidak sempat berkata apapun. Pikirannnya dipenuhi dengan keadaan [First Name]. Bagaimana kalau gadisnya terluka parah sampai koma? Atau yang lebih parah, bagaimana jika ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa [First Name] sudah tidak mampu bersamanya lagi? Tidak. Piers menepis pikiran itu jauh-jauh. [First Name] adalah gadis yang cerdas dan kuat. Gadisnya tidak akan dikalahkan semudah itu.

"Apa yang terjadi padanya?" itulah yang pertama kali terucap dari bibirnya.

Beberapa dari anggota [First Name] menatapnya dengan sorot takut. Mengerti bahwa Piers tidak dalam mood bergurau atau mendengar sikap ceroboh saat misi. Yakin Piers tidak ingin menunggu terlalu lama untuk mendapatkan jawabannya, salah satu anggota [First Name] berkata.

"Kami tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi," katanya. "Kapten terpisah dari kami saat atap bangunan runtuh. Hampir lima belas menit kemudian, barulah kami menemukan kapten yang sedang menembaki makhluk besar dan berlendir itu. Saat melihat kami tiba, kapten langsung tak sadarkan diri selama sisa misi berlangsung."

Betapa ingin Piers mengutuk kebodohan mereka. Bagaimana bisa mereka meninggalkan seorang gadis sendirian, terlepas dari jabatan kapten dan salah satu gadis terkuat yang mereka punya. Namun, Piers menahan kata-katanya. Ia tidak ingin meluapkan amarah dan kekhawatirannya sekarang. Kalau ia membentak anggota [First Name], maka [First Name] sendiri yang akan menghajarnya.

"Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?"

"Diagnosis sementaranya pergelangan kaki kanannya terkilir, ada masalah dengan tulang lengan atasnya dan posisi tulang punggung yang tidak pada tempatnya," jawabnya.

Piers mengusap wajahnya frustasi. Ia berusaha menutupi kekhawatirannya, namun usahanya tidak membuahkan hasil yang terlalu baik. Terbukti dari salah satu anggota [First Name] yang mundur beberapa langkah saat mendengarnya menggeram.

"Piers Nivans?" Piers menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Kehadiranmu diinginkan oleh [First Name]."

Tidak membuang lebih banyak waktu, Piers bergegas masuk. Ia menahan nafas saat mendapati [First Name] melihatnya dengan mata sayu. Sebelah tangan dan pergelangan kakinya yang terkilir dibalut. Selang infus menusuk urat nadinya. Bahkan Piers bisa melihat bagian punggung kekasihnya juga dibalut saat ujung bajunya terangkat.

"Aku tahu kau ingin sekali mengoceh tentang betapa cerobohnya aku juga tentang pentingnya menjaga keselamatanku," suara [First Name] terdengar lemah di telinganya. "Tapi, aku hanya ingin bersamamu sekarang, boleh?"

Piers menggenggam tangan [First Name] yang tidak terbalut. Ia menggenggam dengan sangat erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa [First Name] masih bersamanya. [First Name] tersenyum kecil melihat sikap Piers dan balas menggenggam.

"Tidak ingin menanyakan apa yang terjadi?" tanya [First Name].

"Aku sudah mendengarnya dari anggotamu," jawab Piers. "Aku yakin kau sudah tahu letak kesalahanmu."

[First Name] menggumam setuju. "Sudah tahu tentang keadaanku?"

"Hanya diagnosis sementaranya saja," kata Piers. Ia menyadari ada yang salah dengan senyuman [First Name]. Senyum gadis itu tidak secerah biasanya, juga tatapan mata [First Name] yang menyiratkan kesedihan.

Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara. [First Name] hanya memainkan jemari Piers dan memandangi tautan jari-jari mereka, sedangkan Piers ... ia memperhatikan raut wajah [First Name] yang setiap detiknya semakin sedih, seakan terbebani oleh sesuatu yang tidak bisa dikatakan pada siapapun.

"Bagaimana hasilnya?"

[First Name] mendongak. Matanya berkaca-kaca saat beradu pandang dengannya. Piers terkejut melihatnya. Ia mendudukkan diri di samping [First Name], mencium punggung tangan gadisnya, mencoba menenangkan [First Name] yang mulai terisak kecil.

"Hey, ada apa? Katakan padaku," tanya Piers perlahan panik.

"Aku tidak bisa menjadi kapten dari timku lagi, Piers," isak [First Name]. "Dokter bilang lenganku tidak akan bisa sembuh total. Dengan keadaan punggungku sekarang, aku tidak bisa melakukan sesuatu yang terlalu ekstrem dan berat. Menjalani misi, bahkan yang ringan hanya akan memperburuk kondisi punggungku."

Piers memeluk kepala [First Name], berusaha untuk tidak menyakiti [First Name] lebih parah. Ia mencium rambut [First Name] berulang kali, mencoba meredam isak tangis [First Name] di dadanya. Ingin rasanya ia menyalahkan diri sendiri karena membiarkan hal ini terjadi, membiarkan [First Name] terluka.

Mengapa ia tidak memaksa untuk ikut dalam misi ini sebagai superior? Mengapa anggota [First Name] terlambat datang menyelamatkan kaptennya? Mengapa [First Name] tidak berhati-hati? Mengapa gadis itu tidak lari dan sembunyi saat harus berhadapan dengan monster besar seorang diri? Namun ia tahu, pengecut bukanlah sifat [First Name]. Gadis itu lebih memilih mati bersama monster daripada bersembunyi dan mengharapkan bantuan. Tidak ada yang bisa disalahkan untuk hal ini, bahkan takdir sekalipun.

"Tidak perlu menangis seperti ini," bisik Piers. Sebelah tangannya tidak berhenti membelai rambut [First Name], masih tetap berharap [First Name] akan berhenti terisak.

"Bagaimana caranya?" [First Name] mendongak. "Aku sudah tidak berguna untuk timku. Aku tidak memiliki kemampuan apapun selain bertarung dan menghabisi mayat hidup. Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku, Piers. Mungkin saja sebentar lagi kau akan meninggalkanku karena muak denganku yang tidak berguna ini."

Piers mengernyit, tidak suka mendengar racauan aneh [First Name].

"Dengarkan aku," Piers menangkup wajah [First Name]. Matanya menyiratkan amarah. "Kau bukanlah seseorang yang tidak berguna. Kau gadis menakjubkan, [First Name]. Kau mengetahui banyak hal, kau bisa menguasai berbagai macam senjata dan kau pintar. Kau mampu bertahan dengan semua latihan Chris dan itu sesuatu yang harus kau banggakan. Aku yakin bahkan dalam keadaan terburukmu, kau mampu bertarung hampir sehebat saat kau dalam keadaan sempurna. Yang paling penting, aku tidak akan meninggalkanmu hanya karena alasan sepele.Damn, bahkan aku tidak akan pernah meninggalkanmu untuk alasan apapun."

Piers tersenyum miring saat [First Name] terbelalak.

"Jangan bercanda Piers," hardik [First Name]. "Kau mungkin berkata seperti itu sekarang, tapi beberapa bulan lagi saat kau percaya dengan ucapanku, kau akan menyesal. Kau akan meninggalkanku tanpa pikir panjang. Lagipula banyak gadis yang berbaris hanya untuk mendapatkan perhatianmu. Meninggalkanku adalah hal yang mudah untukmu."

"Benarkah?" sebelah alis Piers terangkat. "Kau berpikir serendah itu padaku? Meninggalkan gadis yang kucintai begitu saja hanya karena ia tidak bisa menjalankan misi lagi?"

"Bukan seperti itu. Kautahu aku tidak bermaksud untuk merendahkanmu," geleng [First Name]. Gadis itu memejamkan mata, menyandarkan pipinya di telapak tangan kekasihnya. "Hanya saja tidak akan ada jaminan bahwa kau tidak akan meninggalkanku dan membuatku sakit hati jika hal itu terjadi."

Piers menghela nafas menyerah. Ia merogoh sesuatu dari saku jaket kemudian menyematkannya di jari [First Name]. Piers mengangkat tangan [First Name] yang sudah berhias cincin perak dengan hiasan sederhana.

"Ini jaminan yang kauinginkan. Aku sudah mempersiapkan ini sejak berbulan-bulan yang lalu dan sebelum itu, aku sudah yakin hanya kau gadis yang kubutuhkan dalam hidup," Piers mengangkat tangan [First Name], menempatkan telapak hangat itu di pipinya. "Aku tidak pernah mengingkari janjiku padamu, bukan?"

Mata [First Name] kembali berkaca-kaca, namun untuk alasan yang sangat berbeda. Bahagia juga haru membuncah dalam dirinya hingga ia yakin mampu meledak dengan semua perasaan bahagia yang menyelimutinya. Betapa ia bersyukur memiliki lelaki seperti Piers mencintainya.

"Terima kasih, Piers. Karena tidak menyerah padaku, karena yakin aku mampu mendampingimu apapun yang terjadi, karena telah mencintaiku. Terima kasih."

Piers tidak melakukan perlawanan saat [First Name] menarik lehernya lalu memeluknya dengan satu tangan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk membalas pelukan hangat [First Name]. Bibir Piers menyapu pelipis [First Name], mencoba menyalurkan perasaannya dengan sentuhan ringan.

"Kautahu jika Kapten mendengarmu, ia akan melakukan apapun untuk membuatmu bertahan di BSAA? Kau adalah muridnya yang paling hebat. Ia tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja," kata Piers sesaat setelah [First Name] melepaskan pelukannya.

"Damn right I am!" sahut seseorang dari arah pintu. "Aku akan mengusulkan namamu untuk menjadi pelatih. Kautahu bagaimana caraku melatih anggotaku, kau juga tahu apa saja yang bisa terjadi di lapangan. Namamu akan cocok mendapatkan posisi itu."

"Kapten! Sejak kapan kau berada di sana?"

Chris terkekeh melihat keduanya berusaha menjauhkan diri secepat mungkin. Ia menghampiri keduanya dengan langkah ringan lalu menepuk bahu Piers bangga.

"Aku sudah berada di sini sejak kau melamar [First Name]," kata Chris. Ia mengerling jahil ke arah [First Name] lalu kembali memusatkan pandangan pada Piers. "Katakan padaku Piers, kapan pernikahannya berlangsung?"

"Chris!"

"Satu bulan lagi Kapten."

"Piers!"

"Baiklah. Aku akan membantumu menyiapkan pernikahannya. Katakan saja kalau kalian membutuhkan sesuatu."

"Astaga ... aku tidak percaya kalian berdua."

Imagine perdananya Piers!! Buat kalian yang udah main atau nonton RE6... semoga karakter Piers di cerita ini bisa memuaskan kalian ya...

Happy Reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top