7 - Kekacauan Batin

playlist:
boulevard of broken dreams - greenday

•••

Suasana kota yang biasanya padat dan ramai menjadi berkurang cukup drastis. Bagaimana tidak karena sejak ditemukannya mayat mengenaskan si saksi mata malang, masyarakat semakin waspada dan ketakutan.
Terutama pada malam hari. Bahkan sebelum pukul 10 malam pun jalanan kota ini sudah lengang. Merupakan pemandangan yang sangat jarang terjadi mengingat kota ini biasa hidup dan bangun 24/7. Dalam seminggu, penduduk kota terpecah menjadi tiga kubu.

Pertama, mereka yang hanya diam ketakutan dan menuntut polisi untuk segera menyelesaikan kasus ini. Kedua, orang-orang yang jengah dan muak karena kinerja polisi yang dianggap tidak maksimal dan ceroboh, mereka ramai mendemo gedung kepolisian selama tiga hari terakhir. Ketiga, pihak netral yang menganggap seharusnya sejak awal mereka tidak perlu ikut campur urusan sang pembunuh agar masalahnya tidak semakin jauh.

Kathleen termasuk ke kubu ketiga. Namun, dia tidak ambil pusing untuk memikirkannya. Karena pikirannya saat ini sudah amat sangat penuh. Dia saat ini sedang mendengarkan musik kencang-kencang di kamarnya. Tidak peduli jika sekarang tengah malam.

Gadis itu terlihat nampak begitu kacau. Surainya yang berantakan diperindah dengan muka pucat dan lingkaran hitam di bawah matanya.

Kathleen menarik rambutnya sendiri dan berteriak. Menangis tersedu, dia turun dari kasurnya kemudian memukul dan menendang tembok kamarnya. Bertubi-tubi dan kencang.
Buku-buku jarinya memerah. Ponsel miliknya berdering tanda panggilan masuk. Layar itu menampilkan nama Mom yang tertera. Entah sudah berapa kali panggilan itu Kathleen abaikan. Muak. Gadis itu mengambil kasar dan membanting ponselnya kencang. Membuatnya pecah berantakan.

Napas gadis itu menderu kencang. Kathleen memejamkan matanya dan mendongak. Membiarkan air matanya tetap mengalir bebas. Musiknya berganti. Kini dia mulai menggerakan tubuhnya sesuai irama musik. Meliuk dan ikut bersenandung lirih.

Mencoba melampiaskan emosinya dalam tariannya. Kathleen menghayati tariannya. Kesialan menimpa Kathleen karena dia kehabisan obat pribadi dan jadwal periksa rutinnya. Mencoba untuk tidur tanpa obat, pikirannya malah memikirkan hal-hal yang susah payah dia kubur dan lupakan. Bipolar disorder dan anxiety disorder yang dihadapinya sendirian merupakan perpaduan yang luar biasa. Tentu saja, tidak ada yang tahu. Termasuk orang tuanya. Sebab itulah dia cemas saat Avril seenaknya masuk ke kamarnya. Takut obat-obat miliknya ketahuan.

Memburuk saat kepergian ayahnya dua tahun lalu, orang yang sangat dekat dan memahaminya. Belum genap dukanya pergi, kurang lebih dua tahun kemudian dia harus menerima kenyataan bahwa ternyata kematian ayahnya yang diduga bunuh diri ternyata rekayasa ibunya sendiri yang menyuruh orang lain untuk membunuh suaminya itu. Ibunya tidak tahu jika Kathleen mengetahui semua perilaku busuknya, termasuk tujuannya menikah hanya untuk harta. Kathleen tahu semuanya bahkan saat umurnya masih sepuluh tahun.

Hanya ayahnya yang menyayangi dia dengan tulus. Ayahnya selalu menjelaskan bahwa dia dan ibunya hanya berdebat biasa ketika selesai bertengkar pada Kathleen. Menenangkannya dengan berkata tidak perlu mencemaskan apapun. Meski ayahnya juga pernah tertangkap olehnya sedang bermain dengan wanita lain. Namun tetap saja, ibunyalah yang membuat hidupnya berantakan. Jika saja dia menikahi ayahnya dengan tulus, semuanya tidak akan seperti ini.

Kathleen mengambil cutter di selipan kasurnya. Masih dengan mata membengkak namun air matanya telah mengering. Dia menggoreskan cepat dan berkali-kali benda tajam itu ke lengan kirinya. Belum merasa cukup dengan perihnya yang tidak mengalahi rasa sakit di dadanya, dia kembali menggoreskannya lebih dalam. Darah menetes dari lengan menuju lantai dan kakinya.

Pening. Dia melempar asal cutter itu dan menjatuhkan tubuhnya di kasur. Perlahan namun pasti. Napas Kathleen menjadi tenang dan teratur.

Paginya dia terbangun pukul 11.

"Ah, sial aku kesiangan," umpatnya pelan.

Dia bangun dan menatap ponselnya yang berserakan. Menghela napas. Setelah tahu dia telat untuk bekerja, dia memilih membereskan kamarnya. Tidak lupa menyembunyikan kembali cutter miliknya.

Setelah membersihkan diri, Kathleen memutuskan untuk pergi ke psikiater pribadinya. Dia membutuhkan obat-obat itu untuk menenangkan pikirannya. Menatap lengan kirinya dan tersenyum pahit.

"Yah, aku harus memakai baju panjang lagi ke depannya."

Malam harinya saat dia hendak meminum obatnya untuk tidur lebih cepat, pintu kamarnya diketuk kencang. Lengkap dengan suara melengking yang memanggilnya.
"KATH! BUKA PINTUNYA, AKU INGIN MENGINAP!"

Kathleen segera meminum obat dan menyembunyikannya. Menuju pintu dan mendapati wajah Avril yang merengut kesal. Dia menyelonong masuk begitu saja sembari mengomel.

"Kau seharian ke mana, hah?! Pesan-pesanku tidak dibalas dan ponselnya tidak aktif saat ku—" Avril menghentikan ucapannya saat melihat bangkai ponsel Kathleen di meja samping kasurnya.

"ASTAGA, KATHLEEN! KAU HARUS MENGUBAH KEBIASAAN MEMBANTING PONSELMU SAAT MARAH," pekik Avril.

Kathlen menutup kedua telinganya. "Ayolah, Avril. Kalau kau hanya ingin membuat ribut di kamarku lebih baik kau pulang saja. Aku sedang pusing."

Tidak tersindir dengan usiran halus Kathleen. Avril malah mendekatin dan menyentuh dahinya.

"Panas."

Dia menarik Kathleen sampai terduduk di kasurnya. "Hari ini kau sudah makan berapa kali? Jangan bilang belum sama sekali," tanya Avril.

"Aku tidak selera un—"

Avril melenggang pergi sebelum Kathleen menyelesaikan ucapannya. Dia kembali dengan dua porsi makanan dan obat setelah membelinya. Oh, jangan kira dia membuatnya. Bahkan air yang dia masak pun akan menguap dan hanya menyisakan panci yang gosong.

"Kita makan bersama. Setelah itu kau harus minum obatnya."

"Aku tidak mau."

"Bukan tawaran. Aku memerintah."

Kathleen hanya bisa menuruti gadis itu jika sudah berkata mutlak tidak bisa dibantah. Mereka makan malam bersama sembari menonton film di televisi. Avril langsung mengganti salurannya saat terpampang berita tentang pembunuhan itu. Wajahnya kentara muak dan memilih untuk menonton film komedi-romantis.

Sementara Kathleen tertidur dengan piringnya yang masih tersisa setengah makanan. Avril yang sadar segera membereskan bekas makan mereka dan kembali memerintah Kathleen untuk tidur dengan posisi yang benar.

Saat kembali dari menaruh piring dan gelas. Kathleen sudah tertidur lelap. Avril menatap obat di meja kecil. "Sial, dia belum meminum obatnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top