6 - Lily yang Malang

playlist:
little bastard - palaye royale

•••

"Kau sudah melakukan hal yang benar dengan melaporkan itu ke polisi, Lily."

Lily tersenyum tipis, "Aku harap begitu, Carol. Hanya saja aku merasa benar-benar tidak tenang."

Carol mengerutkan dahi, "Tenang saja, polisi pasti memberikan pelindungan padamu. Kau tidak perlu khawatir."

Lily menghela napas dan mengangguk. Dia dan Carol sedang dalam perjalanan pulang ke rumah saat ini. Lily merasa lelah karena sejak siang tadi para pemburu berita terus mengejarnya. Hal itu yang sebenarnya dia khawatirkan, wajahnya pasti sudah tersebar sebagai saksi pembunuhan. Dua pembunuhan sekaligus.

Dia bahkan ragu polisi memberikannya perlindungan. Resah karena tidak melaporkan sang pembunuh, dia dihantui rasa bersalah dan mimpi uruk pada korban-korbannya.

Pertama, dia kebetulan sedang menatap langit malam kala itu. Beruntungnya, dia menyaksikan sesuatu yang hebat di sebrang apartemennya. Terkejut dan takut. Lily masuk ke dalam dan tidur. Mencoba melupakan kejadian itu.

Kedua, setelah trauma atas apa yang dilihatnya dua bulan lalu, saat pulang bekerja dia kembali melihat sesuatu yang hebat lainnya. Dengan postur dan ciri pelaku yang sama. Dia melepas sepasang heels yang dikenakannya dan berlari sekencang mungkin sembari menangis.
Entah dosa apa yang diperbuatnya sampai harus menyaksikan semua itu. Membuatnya sulit tidur dan terbayang-bayang. Muak dan takut dengan pikiran dan perasannya. Dia memutuskan untuk melaporkan pada polisi.

Kiranya bisa mengangkat beban pikirannya. Polisi terang-terangan bangga karena menemukan saksi kasus yang hampir dingin karena nihilnya saksi dan bukti. Mempublikasikan wajah dan namanya terang-terangan.

Keputusan yang salah. Dia memang tak lagi merasakan rasa bersalah. Namun sekarang nyawalnya terancam. Lily tahu pasti, cepat atau lambat sang pembunuh akan mengeksekusinya juga. Pasrah pada keadaannya saat ini, Lily merasakan kekosongan dan kematian menyesakkan dadanya.

Setelah berpisah jalan dengan Carol, ponsel miliknya berdering. Nomor tidak diketahui. Lily menerimanya dengan ragu.

Hening. Karena bingung, dia hendak mematikan panggilan itu.

"Lily Enderson."

Jantung Lily berdentum layaknya tambur dipukul. Badannya mulai gemetar hebat seiring ketakukan menguasai tubuhnya.

"Aku tahu kau di sana, mendengarkan."

Lily mencoba memberanikan diri untuk menutup telepon.
"Aku akan membuatmu mati tersiksa jika kau berani menutup panggilanku. Dengarkan dan ikuti perintahku kalau kau ingin mati tanpa rasa sakit yang hebat. Atau aku akan membuatmu benar-benar kewalahan sehingga kau sendiri yang meminta kematian itu segera datang padamu."

Napas Lily tercekat. "A-apa yang h-harus kulakukan?"

"Temui aku di gang yang sama saat kau melihatku terakhir kali. Kutunggu lima menit dari sekarang. Aku tahu kau sudah dekat. Dan jangan berani-berani untuk kabur."

Panggilan terputus. Tubuhnya dibanjiri peluh dingin. Pucat di wajahnya menjalar hingga bibirnya. Tidak mungkin dia berani untuk kabur. Lily menangis dalam diamnya kemudian segera menuju gang itu.

Tubuhnya semakin menegang ketika melihat sosok itu bersandar pada dinding. Dengan segenap keberanian yang susah payah dikumpulkannya, perlahan dia mendekati sosok itu.

Dia menyeringai kecil, mengeluarkan botol kaca kecil dari saku celananya dan menyerahkan pada Lily. Penampilannya tidak berubah. Topeng hitam yang tidak menutupi mulut masih bertengger di wajahnya. Lengkap dengan jaket bertudung dan sarung tangan hitamnya.

Lily menerima botol itu dengan tangan yang berkeringat dingin dan gemetar.

"Kau gadis baik. Namun, nampaknya kesialan menimpamu karena harus melihatku beraksi, bukan?" Dia terkekeh dingin. Menyeramkan, bahkan kekehannya terasa begitu mengintimidasi.

"Minum itu. Kau hanya akan merasa sakit sebentar kemudian mati. Dan jangan berteriak," titahnya. Lily menunduk memandang tanah dan menangis tersedu. Dia mendekatinya dan memeluk gadis itu.

"Cepat selesaikan tangismu dan minum racun itu. Atau kau ingin kusuapi?" Dia berbisik rendah di telinga Lily dan melepaskan pelukan itu.

Lily menatap dia yang menyeringai. Dia membuka botol itu dan perlahan menengguk cairannya. Perutnya tiba-tiba terasa terbakar. Disusul dengan jantungnya yang berdetak terlalu cepat. Kejang. Dia terjatuh ke tanah dan menggeram. Reaksi cairan itu cepat sekali.

Darah perlahan keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Mata gadis itu memutih sempurna. Kejang tubuhnya berhenti. Begitu juga nyawanya.
Dia terkekeh menatap mayat itu.

"Gadis malang."

Keesokan paginya, kepolisian kembali dikejutkan, namun bukan karena cctv yang kembali mati di beberapa titik kota. Bahkan masyarakat yang melihatnya histeris, tak sedikit yang spontan muntah dan pingsan
Karena di tugu kota kesayangan mereka tergantung kepala gadis dengan darah berceceran. Otak menyembul keluar dari kepala juga satu bola mata yang menggantung keluar. Dan tubuh malangnya yang terpisah berada di depan gedung kepolisian. Dengan serangga yang mengelilinginya.

Paginya, Jacob menatap tubuh mayat di depan gedung kepolisian dengan horor. Itu adalah mayat gadis yang menjadi saksi pembunuhan ini.
Meski dia sudah mengenakan masker, bau bangkai dan amis dari mayat malang itu tetap menyeruak masuk ke hidungnya. Bangkai manusia benar-benar busuk dari hewan mana pun. Dan kali ini kondisinya lebih mengenaskan dari sebelumnya.

Di salah satu pilar gedung terdapat goresan-goresan yang mirip dengan kode sebelumnya. Kali ini kode itu tidak disembunyikan. Malahan dipaparkan secara gamblang sekali.

6|2 8|1 5|1 1|2 7|3

"Beberapa hari lalu, aku memerintahkan salah satu dari kalian untuk memasang kamera pengawas di sekitar gang tempat kejadian pembunuhan sebelumnya. Apakah sudah terpasang?" Jacob bertanya pada dua orang petugas lainnya.

"Sudah, Tuan. Kamera pengawas itu sudah bekerja sejak dua hari yang lalu."

Jacob mengangguk. "Bagus. Kita cek hasil rekamannya sekarang juga."

Mereka bertiga menuju ke ruangan kendali kamera pengawas di kota ini. Setelah mengurus beberapa perizinan, Jacob mulai mengutak-atik dan meneliti hasil kamera tersebut.

"Aku akan mengecek kamera pengawas di sekitaran gang itu. Kalian berdua cari dengan jangkauan yang lebih luas," titah Jacob.

Tidak ada yang aneh dari rekaman kemarin lusa. Jalanan lengang, hanya satu-dua orang lewat saat malam hari. Dia memutuskan untuk mengecek rekaman kemarin malam. Jacob menggeram saat tahu tidak ada yang terekam oleh dua kamera yang di pasang tepat di ujung-ujung gang itu karena sepertinya kamera itu sengaja dimatikan.

"Tuan Jacob, aku menemukan sesuatu."

Jacob menoleh dan beranjak mendekat.

"Lihat, orang ini terlihat mencurigakan. Dia mondar-mandir di jalan tidak jauh dari gang selama tujuh menit. Sebelum akhirnya dia pergi dan hilang dari pengawasan," tunjuk petugas itu. "Jaket bertudung hitam juga topeng hitam. Untuk apa dia mengenakan topeng dan pakaian serbahitam?"

Jacob tersenyum miring. "Gotcha."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top