4 - Wanita di Sebuah Gang
playlist:
devil's choir - black veil brides
•••
Seorang wanita berjalan ke kanan dan kiri, tidak tentu arah. Malam yang telah larut, wanita itu berjalan ditemani dengan lampu temaram jalanan dan sebuah botol di tangan kanannya. Jalanan begitu sepi, hanya terdengar suara gemerisik angin dan daun yang beradu.
"Seharusnya aku tidak membiarkan pria itu pergi dulu," wanita itu meracau, "aku akan jatuh miskin jika begini terus."
Wanita itu terdiam sambil bersender di tiang lampu jalan dan terkekeh, "Kau bodoh, Em."
Wanita itu bersender sambil memejamkan matanya. Angin malam berhembus menusuk ke dalam kulit. Seseorang tiba-tiba menarik tangannya dengan kencang, membuatnya membuka mata dan tersentak kaget.
"Hei, kau ini siapa?" pekik wanita itu.
Dia yang menarik tangan wanita itu hanya diam.
"Kau ingin membawaku kemana?" wanita itu kembali bertanya.
Seseorang misterius itu tetap diam dan berjalan cepat sambil terus menarik tangan wanita itu dengan kasar. Ketika tiba di sebuah gang yang temaram, dia berhenti berjalan dan memojokkan wanita di dinding gang. Mengunci wanita itu dengan kedua tangannya. Tatapan mereka berdua bertemu. Dia menatap wanita itu dengan tajam.
"Warna matamu indah," ungkap wanita itu, "sayang sekali, wajahmu tertutup dengan topeng jelek itu."
Wanita itu membelai rahangnya. Dia langsung menepis tangan wanita itu dengan kasar, "Kau masih tetap banyak bicara seperti dulu, Emma."
Wanita yang setengah sadar itu memiringkan kepalanya, "Kau tahu namaku? Siapa kau?"
Dia merebut botol yang berada di tangan Emma, lalu membenturkannya di kepala wanita itu.
"Akh!" Emma merjerit tertahan sambil memegang kepalanya.
Keningnya yang robek karena pecahan botol mengeluarkan cairan merah. Saat Emma masih sibuk dengan rasa sakitnya, dia segera mengikat kaki dan tangan Emma menggunakan tali dengan kuat, membuat wanita itu merintih sakit. Setelah selesai, dia menutup mulut Emma dengan kain putih yang diikatkan di kepala wanita itu.
Emma terduduk pasrah dengan luka di kepalanya. Wanita itu menatap dia. Matanya menunjukkan rasa sakit dan binggung yanh sangat kentara. Dia merogoh saku celananya mengeluarkan dua buah pisau lipat. Lalu, menggesekkan kedua bilah pisau itu. Membuat suara berdesing yang mengerikan, menambah kesan mencekam yang sedang terjadi. Dia kemudian berjongkok di depan Emma, "Kau akan mendapatkan balasan atas apa yang telah kau perbuat dulu."
Emma berseru panik tertahan, mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan yang menjeratnya. Dia tekekeh suram dan menusukkan salah satu pisaunya ke paha wanita itu. Wanita itu memekik tertahan, matanya berkaca-kaca menatap dia.
"Kau seharusnya menjaga tubuh mulusmu ini dengan baik. Bukan malah menggunakannya untuk merebut pria milik orang lain," ucap dia sambil menyeringai.
Kedua pisau itu lalu mendarat di kedua lengan atas Emma. Dia menancapkannya dengan dalam, lalu menariknya dengan kasar sampai siku. Membuat luka yang cukup panjang. Wanita itu mengerang dan menangis tersedu tanpa suara. Matanya menatap dia dengan pandangan tersiksa. "Kau ingin mengatakan pesan terakhirmu?" tanya dia.
Emma terdiam, lalu hanya mengangguk lemah, dia membuka kain yang menutup mulut wanita itu.
"A-apa salahku?" tanya Emma lirih.
Dia menyeringai dan tangannya menyatukan bibir atas dan bawah Emma dengan kuat. Lalu, memotong bibirnya itu dengan cepat. Wanita itu memekik kesakitan. Apa kesalahanku padanya. Kenapa dia tidak langsung membunuhku saja, batin Emma tersiksa.
"Kau, wanita perebut pria orang lain."
Mata Emma membelalak mendengar kalimat yang dia lontarkan, dan sebelum wanita itu mengucapkan sepatah kata dia telah lebih dulu menutup kembali mulutnya dengan kain. Kain putih itu menjadi bewarna merah ketika dipakaikan karena bercampur dengan darah yang mengalir dari mulut Emma yang terpotong.
Sial, apakah dia adalah ... ah tidak! wanita itu membatin. Emma menggeliat dengan resah, mencoba melepaskan dirinya sekuat tenaga.
Wanita itu mencoba menjerit untuk mencari bantuan, namun suara teredam oleh kain yang menutupi mulutnya. Apalah daya, seluruh energinya telah terkuras seiring dengan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya itu. Dia terkekeh dengan sinis, "Ini adalah akibat dari kesalahanmu sendiri, bodoh."
Dia menyeringai, tepat di depan wajah Emma yang kotor dan pucat. Emma menatapnya dengan tatapan memohon yang justru malah membuat dia tertawa dengan puas. Wanita itu menarik napasnya, bersamaan dengan sebuah pisau yang menghunus tepat di jantungnya.
Dia masih mempertahankan seringainya itu, "Goodbye, bitch."
Tepat setelah dia selesai mengatakan kalimat itu, dia memutar pisau yang masih tertancap di jantung Emma, menariknya lalu menusuknya lagi. Wanita itu terkapar di tanah dengan lemah. Dikelilingi oleh cairan merah dan amis.
Lega. Itu yang dia rasakan. Melepaskan monster dalam dirinya untuk menghilangkan sakit yang dirasakannya. Di dunia ini entah kau suci atau pendosa, kau pasti memiliki ranah dengan dirimu sendiri yang bahkan orang lain tidak ketahui.
Munafik jika kau terlalu naif berbuat kebajikan. Orang-orang yang terlihat baik di mata awam pun pasti mempunyai dosanya sendiri. Dia berdecih. Pikirannya kembali terasa penuh.
Muak dengan hidupnya. Dia memutuskan untuk mengambil hidup orang lain. Menjadikan dirinya malaikat kematian. Merenggut sisa hidup para pendosa dan pengusik di hidupnya.
***
Pagi itu, beberapa tugas kepolisian terlihat berada di sekitar gang tempat pembunuhan terjadi. Wanita bernama Emma ditemukan tewas mengenaskan saat ditemukan oleh seorang pria pejalan kaki. Pria itu langsung saja ketakutan dan memanggil polisi.
Meski jasadnya sudah tidak berada di sana. Polisi masih mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti atau petunjuk. Sayangnya, si pembunuh ini begitu cerdas. Dia tidak meninggalkan jejak apa-apa. Tidak ada sidik jari. Tidak ada helaian rambut. Tidak ada apapun yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengungkap identitas si pembunuh.
Kepolisian mendapatkan jalan buntu. Sedangkan keluarga dari korban menuntut agar bagaimana pun caranya pelaku harus ditemukan. Akhirnya mereka membuat tim penyelidik khusus untuk kasus ini. Dikepalai oleh seorang pria bernama Jacob dan belasan anggota lainnya.
"Pembunuh ini unik dan pintar," ujar Jacob pada rapat yang entah untuk ke berapa kalinya. "Kita sudah berminggu-minggu mencari titik terang tetapi belum juga ada hasil."
Jacob merasa begitu bersemangat. Bukan hanya karena dia adalah anggota kepolisian yang masih muda dan cemerlang. Dia merasa kasus ini begitu menantang dirinya juga keadilan. Dia bersumpah akan mencari pembunuh itu sampai dapat dan memberikannya hukuman seadil-adilnya dengan perbuatan sadis yang telah dilakukan pembunuh itu.
Setelah autopsi dilakukan. Jacob memutuskan untuk melihat mayat wanita itu sendiri. Dia melihat luka-luka di sekujur tubuhnya. Ada yang aneh. Beberapa helai rambut di beberapa bagian tertentu terlihat terpotong juga terkoyak.
Jacob memerintahkan untuk menggunduli mayat itu agar melihatnya lebih jelas.
Jacob tersenyum penuh kemenangan. "Petunjuk!"
Di kulit kepala wanita itu selain ada luka dari beling-beling yang menancap. Terdapat sebuah angka yang juga sengaja tertulis di kulit kepala itu.
5|1 9|1 0|1 3|1 6|3 5|2
Entah apa maknanya. Dia akan segera membahasnya dengan anggota yang lain. Jacob mengumpulkan mereka satu jam kemudian untuk mendiskusikan tentang hal yang ditemukannya.
"Apa itu sebuah kode, Tuan Jacob?" tanya seorang anggotanya.
Jacob mengangguk. "Kita harus segera memecahkan kode ini sebelum ada korban selanjutnya." Dan mulai saat itulah seluruh anggota kepolisian kota itu disibukkan untuk mencari makna dari kode tersebut.
Sehari, dua hari, seminggu. Sudah seminggu namun belum ada juga yang berhasil memecahkannya. Jacob memijat pangkal hidungnya. Dia bahkan sudah menyewa detektif swasta yang memang ahli dalam hal ini. Namun sampai saat ini hasilnya masih nihil.
"Sialan," Jacob berdesis kesal menatap kode yang sebelumnya telah ia salin di komputernya itu. Pintu ruangannya diketuk sebelum akhirnya seorang petugas datang dengan seorang gadis.
"Tuan Jacob. Aku membawa seseorang yang berguna untuk penyelidikan kasus kita. Dia Lily, saksi mata pembunuhan yang akhirnya berani melapor siang ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top