3 - Kasus Pembunuhan Baru

playlist:
lost it all - black veil brides

•••

"Oh, ayolah."

Kathleen menggeleng untuk yang kesekian kalinya. Telinganya panas mendengar Avril berceloteh untuk membujuknya.

"Kumohon. Aku sedang ingin menyegarkan pikiranku dari tugas kuliah, Kath. Kau harus menemaniku. Kau enak sudah lulus tahun kemarin, Kath. Sedangkan aku harus mengulang," ucap seorang gadis yang sedang duduk di sampingnya sambil menggoyangkan tangan Kathleen. Ya, Avril memang mengulang kuliahnya karena tahun lalu dia sakit dan dirawat selama sebulan. Padahal dia sudah di ujung semester akhir. Akibatnya, mau tidak mau Kathleen lulus seorang diri sedangkan Avril mengulang kuliahnya.

"Kau ingin pergi malam-malam begini? Aku malas, Av. Belum lagi nanti kalau hujan turun," jawab Kathleen lugas. Mata hijaunya tidak teralihkan dari buku novel yang sedang dia baca.

"Kumohon, kumohon, kumohon, kumohon. Aku janji akan membelikanmu dua novel yang paling kau inginkan sekarang, jika kau mau menemaniku." Gadis bersurai dan bermanik jelaga itu masih belum menyerah untuk mencoba membujuk sahabatnya itu. Pantang menyerah adalah sikap yang selalu ditunjukkan Avril. Sayangnya, itu hanya digunakan saat sedang ada maunya. Seperti saat ini.

Kathleen menghela napas dan menutup novel yang berada di pahanya. Dia mengangkat tangannya, tanda menyerah. Kemudian mengusap telinganya yang panas.

"Baiklah, Avril. Aku ikut."

"Aaa, sungguh?!" pekik Avril dengan senyum merekah.

Kathleen menganggukkan kepalanya. Avril langsung berteriak kegirangan dan memeluk Kathleen yang berada di sampingnya. "Kau memang sahabat terbaikku, Kath."

"Dan kau satu-satunya sahabat yang kumiliki," balas Kathleen sambil membalas pelukan Avril. "Baiklah. Aku akan bersiap-siap, jadi lepaskan pelukan mautmu, Av."

Avril langsung melepaskan pelukannya. Dia menyengir. "Baiklah, cepat. Jangan terlalu lama, ya, sahabatku tercinta."

Kathleen memutar matanya saat beranjak menuju kamarnya, "Memangnya kau pernah melihatku berdandan lama?"

Avril tidak menjawabnya. Dia masih duduk di sofa sambil sibuk tersenyum. Kathleen mencari baju yang nyaman dia pakai untuk pergi ke kafe milik ibunya, yang juga dia urus saat ini. Alasan mengapa dia malas pergi ke tempat itu hanya satu, bosan. Betapa seringnya dia berkunjung ke sana? Ah, sudahlah.

Gadis bermanik hijau itu menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memakai sweater panjang berwarna abu-abu polos dengan jeans. Kathleen memoleskan sedikit make up pada wajahnya, lalu mengambil tas hitam selempang kecil miliknya. Mengisinya dengan ponsel, dompet, dan hal kecil lainnya. Ia tidak ingin membawa barang yang merepotkan. Sekiranya sudah cukup, dia kembali ke tempat Avril berada.

"Ayo, kita pergi sebelum larut," ajaknya dengan datar.

Avril menengok ke arahnya. Dia langsung tersenyum sumringah dan mengangguk cepat. "Ayo." Dia menarik tangan Kathleen dan segera pergi.

Perjalanan menuju kafe tidak memakan waktu yang lama. Mengingat dia juga sudah pindah dari rumahnya ke sebuah apartemen. Alasannya sederhana, dia hanya ingin merasa bebas. Lagi pula, apa bedanya rumahnya yang lama dan baru itu, Kathleen sama-sama sering merasa kesepian.

Kathleen menghela napas. Ia merasa agak kesal saat ini. Pantas saja Avril sedari tadi selalu tersenyum. Inilah sebabnya. Kathleen hanya memainkan ponselnya sambil sesekali menyesap cokelat panas miliknya.

Avril? Gadis itu sedang bergurau bersama seorang pria. Avril sudah memperkenalkan pria bernama Lucas itu pada Kathleen yang sekarang sudah menjadi kekasihnya itu, entah sejak kapan. Mereka duduk di meja yang sama dengan satu kursi kosong. Avril dan Lucas sedang mengobrol bersama tanpa peduli kehadiran Kathleen.

Pada akhirnya Kathleen memasangkan earphone pada telinganya. Dia lebih memilih mendengarkan lagu-lagu kesukaannya dengan volume keras dibandingkan harus ikut mengobrol dengan sepasang kekasih di hadapannya.

"I held the key to the kingdom lions guarding castle walls. Hail the king of death." Kathleen bergumam pelan mengikuti iringan lagu yang sedang ia dengarkan.

G

adis itu melirik ke arah depan. Dahinya sedikit berkerut. Lucas terlihat sedang menyapa dan berpelukan khas pria dengan seorang lelaki. Kathleen tidak bisa melihat wajah lelaki tersebut karena posisinya yang membelakanginya. Dia mengangkat bahu, tangan kirinya diletakkan di atas meja sebagai tumpuan untuk kepalanya. Sementara tangan kanannya memegang sendok dan mengaduk-aduk cokelat panas miliknya.

"I'm just trying to breathe, just trying to figure it out. Because I built these walls to watch them crumbling down."
Kathleen memejamkan matanya. Mencoba menikmati lirik lagu yang sedang ia dengarkan, dengan sesekali bergumam mengikuti liriknya.

Dia terkejut dan langsung menegakkan badannya ketika ada seseorang yang menarik salah satu earphone yang ada di telinganya. Pandangannya mendapati seorang pria yang sedang duduk di sampingnya sambil tersenyum lebar.

"Lagu apa yang sedang kau dengarkan sehingga tidak menyadari kehadiranku, Kath?" kata pria itu sambil memasang earphone yang tadi dia cabut dari telinga Kathleen. Sedangkan Kathleen hanya terdiam, dia menolehkan pandangan ke depan. Avril dan Lucas sedang menertawakannya.

"Ah, kau masih suka mendengarkan lagu ini ternyata."

Kathleen kembali menoleh ke samping. William menatapnya sambil melepaskan earphone miliknya itu. Avril kembali terbahak, "Kau harusnya melihat wajahmu, Kath. Ya Tuhan! Ekspresi terkejutmu itu, haha."

William ikut terkekeh mendegar ucapan Avril, bahkan Lucas juga. Kathleen menatap mereka satu per satu dengan tatapan datar dan mendengus. Dia memasukkan earphone miliknya ke dalam tas, setelah itu dia kembali mengaduk coklat panasnya—yang sudah tidak panas—itu dengan malas.

"Kau tak pernah bilang padaku jika kau kenal dengan William, Kath," ujar Avril.

"Memangnya itu penting, kah?" Kathleen berkata dengan malas.

"Tentu saja! William itu sahabat kecilku, Kath."

Kathleen terdiam sejenak, kemudian dia mengangguk. Oh, jadi Avril sudah lebih dulu mengenal Liam? batinnya.

"Sepertinya Kathleen sedang ada tamu bulanan," celetuk Lucas asal. Avril terkekeh dan memukul pelan lengan Lucas.

Kathleen memutar bola matanya. Mereka bercakap-cakap. Membahas sesuatu yang membosankan menurut Kathleen. Dia lebih memilih untuk menikmati cokelat panasnya sambil menonton acara di televisi.

"—wanita malang itu ditemukan tewas dengan banyak tusukan dan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya. Ditambah dengan mulutnya yang terluka, seperti bekas guntingan. Sungguh tragis. Polisi masih menye—"

"Mengerikan," ujar Avril sambil bergidik ngeri. Lucas yang berada di sebelahnya mengangguk setuju.
"Memang apa yang dilakukan wanita malang itu sehingga harus mati secara tragis seperti itu?" tanyanya.

"Sesuatu yang fatal tentu saja. Dia pasti melakukan sesuatu pada orang yang salah," ungkap William santai.

"—benar-benar cerdas. Bahkan para polisi tidak menemukan barang bukti sama sekali setelah menelusuri tempat kejadian perkara. Masyarakat diharapkan un—"

"Tapi bagaimana kalau dia tidak bersalah? Justru pembunuh itu yang tidak ingin kesalahannya diketahui? Bisa saja pembunuh itu memang seorang psikopat gila," Lucas menimpali.

Kathleen berdecak lidah, "Setiap sebab pasti ada akibat. Itu sudah jalannya. Orang yang bersalah akan mendapatkan ganjarannya."

"Hm, aku setuju denganmu, Kath," Avril membuka mulut, kepalanya manggut-manggut, "wanita itu ditemukan di sekitar klub. Mungkin saja dia itu jalang. Dan dia dibunuh karena menolak seorang pria gila."

William terkekeh, "Pembunuh itu sangat cerdas, polisi tidak menemukan bukti pembunuhan. Ini menarik."

"Kau gila! Apa yang menarik dari sebuah pembunuhan, eh?" tukas Lucas melirik William aneh.

"Entahlah. Darah?" William menatap Avril sambil menaik-turunkan alisnya.

"Cukup, Will. Kau membuatku mual," ujar Avril dengan raut muak. William terbahak.

"Ah. Aku tidak peduli tentang psikopat gila itu."

"Tidak, Av, kau salah. Seorang psikopat tidak gila karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Hanya karena arti dari psikopat yang artinya gangguan kejiwaan, bukan berarti dia gila, " William menjelaskan santai.

"Wah, wah, bung. Kau membela pembunuh itu seperti saling kenal saja," ungkap Lucas.

"Tidak-tidak. Aku tidak membela, hanya meluruskan perkataan Avril saja."

Kathleen hanya menyimak pembicaraan. Dia melirik arloji miliknya dan menghembuskan napas asal. Gadis itu beranjak dari duduknya dan bergegas, "Aku harus pulang. Sampai jumpa."

William menahan lengan Kathleen, "Aku akan mengantarmu, sudah malam."

"Akan merep—"
"Kau ingat perkataanku yang waktu itu, 'kan?" tanya William, "lagi pula aku tidak ingin mengambil resiko jika nantinya kau tidak sampai rumah dan malah berakhir seperti wanita di TV itu."

Kathleen hanya mengangkat sebelah alisnya setelah mendengar ucapan William.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top