10 - Jeritan di Tengah Hujan Deras
playlist:
let him burn - the relentless
•••
William melihat Lucas dengan seorang gadis di jalanan tak jauh dari rumahnya berada, lebih tepatnya di depan mobil. Pria itu sedang merokok dengan gadis yang bergelayut di sebelahnya. William menggeram dan segera keluar dari mobilnya. Dia jauh-jauh pergi ke pinggiran kota hanya untuk melihatnya bermain dengan wanita lain. William berdecih.
"Hey, bajingan."
Lucas menatapnya dengan senyum sinis. "Ada perlu apa, Bung?"
William menyerahkan ponsel pria itu yang dititipkan Avril. Lucas menerimanya dan memasukkan itu ke sakunya sebelum rahangnya terkena hantaman dari William. Gadis di sebelahnya menjerit dan berlarian pergi.
"What the fuck, Will?!" seru Lucas dan hendak memukul balik. Namun, William sigap menangkisnya.
"Apa yang kau lakukan pada Avril, hah?!" bentak William. Dia semakin brutal memukuli tubuh Lucas. Tidak memberi luang untuk lawannya membalas. Lucas tumbang setelah tulang keringnya ditendang.
"Bangun, bajingan! Apa yang kau lakukan pada Avril, hah?! Jawab!" William menarik kerah jaket yang Lucas pakai.
Lucas berdecih. "Dia jalang bodoh."
Semakin geram. William membanting kepala pria itu ke trotoar. Membuat Lucas tidak sadarkan diri. Dan sekali lagi menendang perut pria itu.
"Brengsek," desis William dengan tangan yang terkepal kuat sekali. Dia menatap tubuh Lucas yang tergeletak dan berdecak kesal.
***
Lucas terbangun dengan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya meneliti sekitarnya. Sudah malam dan gemuruh terdengar bersahutan. Sepertinya akan turun hujan. Dan dia masih tergeletak di jalanan. Angin mulai berdesir kencang menerpa kulit.
Dia berdecih. Apa tidak ada orang yang melihatnya? Ah, mereka juga tidak akan peduli. Tidak akan pernah ada yang peduli dan tulus padanya.
Mencoba bangkit. Lucas semakin merasakan tubuhnya yang lemas dan remuk. Dia harus segera masuk ke mobilnya pulang sebelum hujan.
Sebelum dia berhasil mencapai pintu mobilnya, seseorang memukul kepala belakangnya. Lucas mengumpat keras. Tidak sampai pingsan tapi kepalanya pusing dan sakit sekali.
Seseorang menariknya dan memasukkanya ke dalam kursi penumpang mobil. Membantingnya begitu saja. Lucas merutuk tentang kesialan apa lagi sekarang yang didapatkannya.
Dia akhirnya bisa duduk dengan benar di kursi mobil. Matanya kabur. Dia melihat ke kursi pengemudi. Seseorang dengan jaket bertudung hitam dan topeng yang tidak menutupi setengah bagian mulut ke bawah.
Mereka memasuki hutan yang gelap. Menerobosnya begitu saja. Hujan sudah mulai turun dan menderas. Lucas bisa melihat orang itu menyeringai dari cermin mobil sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Dan kemudian, yang dilihatnya kembali adalah kegelapan total.
Lucas terbangun di sebuah gudang tua yang lembab. Ditambah dengan derasnya suara hujan dan dinginnya angin malam terasa begitu menusuk kulit. Dia baru sadar kalau tangan dan kakinya terikat beberapa saat kemudian. Bersamaan dengan luka-luka yang entah sejak kapan ada disekujur tubuhnya itu. Jaket yang tadi dikenakannya entah berada di mana. Luka-luka itu merobek baju juga kulitnya. Mengeluarkan darah yang masih segar.
Merintih. Sepertinya kesadaran sudah sepenuhnya kembali padanya sebab dia sekarang telah merasakan rasa sakit yang berlipat ganda. Perih, panas, dan sakit. Angin malam memperburuk kondisi luka-lukanya yang menganga.
Lucas mendengar langkah seseorang dari balik pintu. Orang yang sama saat memukul kepalanya dan membawanya ke dalam mobil. Mengenakan jaket hitam bertudung, topeng hitam, dan sarung tangan hitam. Orang itu menyeringai padanya. Sebelum menuangkan air pada sekujur tubuh Lucas.
Mengerang dan menjerit parau. Itu air panas. Lucas menangis. Sial, rasanya sakit sekali, pikirnya. Lukanya terasa meleleh. Kulitnya memerah dan melepuh. Belum selesai sampai di situ. Orang itu menaburkan garam pada titik-titik lukanya.
Sesak dengan rasa perih yang semakin menjadi-jadi. Lucas pingsan meninggalkan rasa sakit itu.
Dia berdecih. "Dasar pria lemah."
Lucas terbangun beberapa menit kemudian. Napasnya memberat dan terengah. Lucas menutup matanya, menahan rasa sakit dan perih. Tubuhnya tergolek lemah dengan tangan dan kaki terikat. Badan dan wajahnya penuh luka yang menganga dan cairan merah yang terus mengalir. Kelopak mata itu terbuka dan menampakkan maniknya yang kelam.
"Si-siapa sebenarnya k-kau?" cicit Lucas lirih dan pelan. Tenaganya sungguh telah terkuras. Bahkan untuk berbicara pun dia harus berusaha setengah mati menahan sakit yang pedih luar biasa. Dan yah, kondisinya memang sudah setengah mati. Mungkin lebih.
Dia berhenti menggesekkan dua pisau di tangannya-yang terbalut sapu tangan kulit berwarna hitam. Dan pandangannya beralih menatap Lucas di balik tudung jaket kelam yang dikenakannya. Terdiam beberapa saat, hanya untuk mengamati kondisi pria itu. Terkekeh puas, dia menyeringai dan melangkah mendekati pria yang sudah lemah itu.
"Apa salahku?" tanyanya lagi. Dia berjongkok di depannya. Dan memiringkan sedikit kepalanya ke arah kanan. Menatap sekaligus mengintimidasi.
"Salahmu adalah kau telah menyakiti seseorang yang kusayangi."
Hening. Lucas tidak menjawab dan terdiam mendegar jawaban yang baru saja dia lontarkan dan tetap melihatnya dengan mata kelamnya itu. Tatapan tidak mengerti atas ucapan barusan.
"Kau. Menyakiti. Sahabatku," ucapnya penuh tekanan, "kau akan dapat balasannya."
Mata Lucas sedikit terbelalak dengan dahi berkerut, "Ti-tidak. Ini tidak mungkin. Siapa sahabatmu? Tidak-tidak. Si-siapa kau ini?"
Dia menyeringai dan menaruh pisau yang berada di tangan kirinya. Setelah menaruhnya di lantai dia melepas topeng hitamnya yang sedang dipakai itu secara perlahan. Ingin tahu bagaimana ekspresi pria itu ketika tahu siapa dirinya yang sebenarnya sebelum ajal berbaik hati menjemputnya.
Mata Lucas terbuka lebar. "K-kau?!" pekiknya tertahan disusul oleh geraman yang terpicu oleh rasa sakit yang menyerangnya. Panas dan perih. Dia terkekeh di balik hoodie yang sedang kenakannya dan memasang kembali topeng itu.
Tangan kanannya yang masih memegang pisau langsung menggores bibir bawah hingga pipinya, membuat sebuah lengkung senyuman yang nyaris sempurna, "Stt, jangan memekik seperti itu. Kau akan mengundang para anjing liar kemari."
"Argh." Lucas tertunduk dan merintih kesakitan. Lukanya bertambah lagi. Dengan tenaganya yang makin menipis dia menginginkan semua ini segera berakhir. Pria itu sempat terpikir untuk meminta bantuan Tuhan, namun urung mengingat dosa-dosanya.
Dia menusukkan pisaunya tepat di titik jantung pria itu. Dihadiahi langsung jeritan kencang. Jeritan khas seorang pria yang sedang frustasi dan pasrah. Sayangnya, tidak bisa mengalahkan suara lebatnya hujan di luar sana.
Ah, melodi tambahan yang indah untuk melengkapi malam yang sudah larut bersama hujan ini. Dia memutar pisaunya ke kanan dan kiri secara dramatis. Darah mengalir membasahi baju pria itu. Napasnya melemah seiring darah yang perlahan pergi meninggalkan raganya, begitu juga nyawanya. Dia menatapnya dengan tatapan sendunya. Tatapan memohon dan merasa bersalah. Namun terlambat, lagi pula dia yang memercik api. Lantas dia juga seharusnya siap untuk terbakar.
"Good bye, jerk."
Pisaunya menusuk kembali jantung itu. Bertubi-tubi. Merobek dan memutarkannya. Dan pria itu akhirnya berhenti bernapas dengan tubuhnya yang penuh darah dan luka.
Bibirnya tersenyum puas dan mengamati tubuh yang tergolek itu. Dia berdiri tegap dan melangkah menjauhi mayat malang itu. Tidak, untuk apa mengasihaninya? Dia sangat pantas mendapatkannya. Hukuman baginya, karena telah menyakiti orang yang dia sayangi.
Dia bersenandung pelan sembari menyiramkan cairan ke sekitar mayat itu.
"Let him burn, he's better off dead."
Tangannya memantik api dan membuangnya begitu saja. Membuat api cepat menyala dan menyebar di sekitar tubuh mati di hadapnnya. "Ah, sebaiknya aku segera pulang dan membersihkan diriku."
Tubuhnya sedikit menengok ke belakang, "Aku akan membiarkan mayat itu di sana. Para anjing liar akan senang mendapatkan makanan tulang belulang secara gratis. Oh, atau jika pria itu beruntung, dia akan ditemukan oleh para warga atau polisi, mungkin."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top