1 - Sebuah Pertemuan
playlist:
i'm low on gas and you need a jacket - pierce the veil
•••
Seorang pria berambut cokelat terang dengan jaket hitam terlihat sedang duduk seorang diri di sebuah kafe. Kafe yang lumayan bagus dan besar dengan gaya kuno klasik ini terlihat ramai meskipun cuaca di luar sana sedang hujan deras.
Pria dengan manik biru yang terduduk di meja pojok itu terlihat sangat fokus mengetik di laptopnya. Terbukti dari dahinya yang sedikit berkerut. Dia memejamkan matanya dan menghela napas. Tangan kanan miliknya menutup laptop di hadapannya dan beralih mengambil cangkir kopi. Menyesapnya secara perlahan, mencoba menyegarkan pikirannya yang jenuh. Bahkan saat liburan pun dia tidak bisa dibiarkan menikmati waktu untuk bersantai barang sejenak.
Ponsel pria itu berdering dan dia segera menaruh cangkir kopinya untuk mengangkat telepon masuk itu.
"Halo?"
"...."
"Iya."
"...."
"Oke."
"...."
"Hmm."
"...."
"Ya."
Setelah sambungan telepon terputus, dia menatap ponselnya. Memandangnya lama dengan tatapan yang sangat menunjukkan perasaan rindu mendalam. Dia menghela napasnya lagi, lalu meletakkan ponselnya kembali di meja.
Bel pintu kafe berbunyi. Seorang gadis masuk ke dalam kafe. Napasnya terengah, dia meletakkan payungnya di tempat kumpulan payung berada. Matanya menelusuri isi kafe ini. Dia memutuskan untuk memesan minuman terlebih dahulu dan berbincang singkat dengan pelayan kafe sebelum membayar pesanannya. Seperti mereka sudah saling mengenal. Matanya kembali menelusuri kafe, mencari meja yang sekira bisa dia tempati.
Pria berambut cokelat itu kembali menyesap kopinya yang sudah mulai dingin sambil memainkan ponselnya.
"Boleh aku bergabung?" tanya seseorang kepada pria itu. Pria itu hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya itu.
"Kau sering berkunjung kemari?" tanyanya lagi. Berusaha untuk membuat suasana menjadi tidak canggung.
"Hmm."
"Oh, baiklah, tuan?"
"William. William Camson."
Hening. Dia mengerutkan dahinya setelah mendengar jawaban pria di hadapannya. "Aku seperti tidak asing dengan namanya," gumamnya pelan.
Pria di depannya masih saja sibuk berkutik dengan ponselnya. Gadis itu menggeleng, mungkin hanya perasaannya saja.
"Perkenalkan, namaku Kathleen Ziqfire," ucap gadis itu memperkenalkan diri sembari tersenyum tipis.
Pria yang duduk di depannya itu langsung menghentikan jarinya yang sedari tadi memainkan ponsel. Dia terdiam beberapa saat. Nama itu. Benar-benar tidak asing. Bahkan dia sangat mengenalnya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang telah memperkenalkan dirinya itu.
Gadis berambut cokelat kepirangan dengan manik hijau gelap menenangkan. William menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ujung bibirnya tertarik ke atas, membuat lengkung senyuman yang sangat indah dan menambah kesan tampan yang telah ia punya.
"Kath," ujar William, masih dengan senyumnya. Kathleen menatap William binggung, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Um, maaf. Apa kita saling mengenal? Aku memang merasa tidak asing dengan namamu."
William terkekeh, "Yah, mungkin kau melupakanku. Tapi, aku tidak mungkin melupakanmu. Gadis pendiam, cuek, dan sarkastis yang meski pun tomboy tetap menjadi idaman saat sekolah menengah atas."
Mata Kathleen sedikit terbelalak, "Bagaimana kau tahu?"
William kembali terkekeh. "Dan mungkin kau akan mengingatku jika kukatakan aku adalah seorang laki-laki yang pernah menyelamatkanmu saat masa orientasi dulu."
Kathleen mengalihkan pandangannya ke arah lain, tampak sedang berpikir untuk beberapa saat. Dan dia langsung menatap William dengan tatapan tidak percaya. "Liam?" ujarnya ragu.
William mengangguk, "Yap. Dan kau masih menjadi satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu."
"Wah, kau terlihat sangat ... berbeda. Aku sampai tidak mengenalimu. Kau lebih tampan sekarang," ungkap Kathleen dengan cepat.
William mengangkat alisnya. "Tampan? Kau menggodaku, eh?" kata William sambil tersenyum jahil.
Wajah Kathleen terlihat sedikit memerah. Dan langsung mengalihkan pandangannya. "Tidak."
William tertawa dengan ringan. Kathleen menatap William, lalu tersenyum dan ikut tertawa kecil. Perutnya seperti tergelitik. "Kau juga sudah banyak berubah, Kath. Dan sepertinya kau sudah tidak dingin lagi pada orang lain," ungkap William sambil menatap Kathleen dan menumpu dagu dengan tangan kirinya.
Kathleen tersenyum tipis, "Aku bersikap seperti itu hanya dengan orang yang aku tidak sukai."
William tersenyum jahil, "Oh, jadi kau menyukaiku, hm?"
Gadis itu mengangguk, "Iya, aku menyukaimu."
William tergelak, "Hei, kau menyukaiku? Sungguh?"
Kathleen terdiam dan lalu tersadar maksud dari William itu. Matanya melotot, "Maksudku bukan suka yang itu." William masih tertawa puas karena telah mengerjai gadis yang sangat ia rindukan itu. Kathleen hanya cemberut dan menatap masam ke arah William. Setelah puas tertawa, William mengusap ujung matanya yang berair. Lalu, tersenyum menatap Kathleen.
Kathleen merasa risih karena mendapatkan tatapan itu, "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
William terkekeh melihat tingkah gadis di depannya itu. Matanya mengerjap menatapnya dengan pipinya yang memerah. Menggemaskan sekali, batin William.
"Kath?" panggilnya.
Kathleen mendongak menatap William. "Kau sering berkunjung ke sini?"
"Tentu saja, Liam. Kafe ini adalah milik Ibuku. Dan aku sebenarnya yang mengurus kafe ini sekarang."
"Oh ya? Ah, aku baru mengingatnya. Sirius Ziqfire, Amanda Ziqfire, dan Kathleen Ziqfire. Bagaimana aku bisa tidak tahu? Bodohnya aku."
Kathleen tersenyum tipis. Dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Sudah gelap. Dan hujan pun telah berhenti entah sejak kapan.
"Aku turut berduka atas kepergian Ayahmu dua tahun lalu, Kath."
Kathleen menoleh dan terdiam. Lalu, mengangguk. "Tak apa, Liam. Semua yang hidup pasti akan menemui kematiannya. Kita hidup di dunia ini hanya sementara."
William mengangguk setuju, "Kau benar sekali. Ngomong-ngomong, kau ingin pulang sekarang?"
Kathleen menundukkan kepalanya. Dia memang berencana untuk segera pulang karena merasa tidak nyaman. Dia tidak terbiasa berada di situasi seperti ini seorang diri. "Sepertinya begitu."
"Mau aku antar? Aku membawa mobilku," tawar William tersenyum manis.
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Liam. Ak—"
"Tidak-tidak. Kau tidak pernah merepotkanku, Kath. Jika kau perlu sesuatu kau bisa menghubungiku kapan saja," ujar William memotong ucapan Kathleen. Gadis itu tersenyum samar mendengar perkataan pria di depannya.
"Pinjamkan aku ponselmu, Kath," kata William membuyarkan lamunan Kathleen. Dia mengerutkan dahinya.
"Untuk apa?"
"Berikan saja."
Kathleen merogoh saku celana dan mengambil ponselnya. Lalu, menyerahkannya pada William. William langsung menerimanya senang hati dan sumringah. Namun, wajahnya langsung tertekuk setelahnya.
"Apa password ponselnya?" tanyanya dengan nada sebal.
"Urutan hari beserta tanggal kelahiranku."
"Jumat, 'kan?" tanya William yang diberi anggukan oleh Kathleen.
"Baiklah. 0613," gumam William pelan. Setelah mengetik kode keamanan ponsel milik Kathleen, dia langsung tersenyum lebar. Dan segera mengotak-atik ponsel tersebut.
Kathleen mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di samping pintu masuk. Mengabaikan William yang sedang sibuk berkutik dengan ponselnya. Gadis itu memejamkan matanya. Dia menghela napas lelah.
"Selesai," ujar William. Dia mengembalikkan ponsel milik Kathleen. Dan gadis itu langsung menyimpannya di saku celananya.
"Ayo, kita pulang."
Kathleen mengangguk patuh dan menegakkan tubuhnya. Dia melangkah berdampingan dengan William. Tidak lupa mengambil payung milikinya. Mereka keluar dari kafe itu dan melangkah menuju tempat parkir. William melepaskan jaket yang ia kenakan lalu menyampirkannya di bahu Kathleen yang berada di sampingnya. Kathleen mendongak menatap pria di sampingnya itu.
"Kenakan itu. Malam ini dingin," ucap William sambil menaruh anak rambut yang menutupi wajah milik Kathleen ke belakang telinga gadis itu. "Tunggu di sini, aku akan segera kembali."
Kathleen hanya bisa mengangguk. William segera mengendarai mobilnya dan menuju ke tempat Kathleen berada. Dia melihat gadis bersurai cokelat pirang itu sedang memandang jalanan dengan tatapan kosong. Bahkan setelah mobil miliknya sudah berada di depannya, dia tetap terdiam. Entah apa yang menganggu pikirannya. Namun dia merasakan berkumpul menghantam-hantam dadanya. Sesak.
William keluar dari mobilnya dan menghampiri Kathleen sembari tersenyum. "Hei, ayo masuk."
Kathleen sedikit tersentak dan terdiam. William menggenggam tangannya dan menariknya untuk masuk ke mobil. Setelah mereka berdua memasuki mobil, William menancapkan gas mobilnya lalu berkendara menjauhi kafe. Hening melanda mereka. William sesekali melirik Kathleen yang sedang menatap ke arah jendela. Kathleen menengok ke arah William. Lalu, dia segera memberikan alamat rumahnya. William hanya mengangguk.
"Apa pekerjaanmu, Liam?" Kathleen memecahkan keheningan.
"Hm. Aku hanya meneruskan perusahaan-perusahaan milik Ayahku. Dia sudah tua dan menyerahkan seluruh pekerjaannya padaku."
"Pasti kau lelah memimpin banyak perusahaan seperti itu," komentar Kathleen yang sedang bersandar di jok mobil.
"Jika ada kau. Lelahku hilang begitu saja, pergi entah kemana," ujar William sambil tersenyum.
"Kau terlalu sering menggodaku, Liam."
Willliam tertawa. Kathleen memperhatikan tawa itu. Mata pria itu menyipit karena tertawa. Kathleen tersenyum.
"Jangan menatapku sambil tersenyum seperti itu, Kath. Aku tahu aku tampan."
Kathleen langsung mendelik sebal dan menghela napas. William merasa sangat senang hari ini. "Aku akan melakukan apapun untuk terus melihat senyummu yang barusan, Kath."
Kathleen menatap William yang sedang berkendara di sampingnya itu. "Apa? Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak."
"Oh, baiklah."
William menghentikan mobilnya tepat di depan rumah berwarna abu-abu yang luas dengan taman di sekitarnya. Pria itu segera keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Kathleen. Mereka berjalan menuju gerbang hitam rumah itu dan berhenti di depannya.
"Terima kasih, Liam. Kau ingin masuk dahulu?" tawar Kathleen dengan lembut.
William menggeleng, "Lain kali saja, Kath. Ini sudah malam."
Kathleen hanya mengangguk paham. William mengusap rambutnya, "Sampai jumpa, honey."
Pria itu mengecup cepat dahi Kathleen dan berlari menuju mobilnya. Kathleen hanya tersentak. Pipinya terasa panas, menjalar hingga telinganya.
Kathleen melihat ke sekitar. Mobil hitam yang tadi terparkir di hadapannya kini telah pergi. Menghilang dari pandangannya. Begitu juga dengan pengemudi mobil tersebut.
Gadis bermanik hijau itu melangkah memasuki rumahnya. Tangannya menekan bel dan muncul seorang wanita tua membuka kunci pintu dengan tergesa-gesa.
"Nona, sudah pulang?" ujar June. Kathleen hanya bergumam dan melangkah menuju kamarnya. June hanya menatap sendu ke arahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top