7. Jeon Jungkook: Just Different


A Jeon Jungkook's Fanfiction
Written by: @sthrynnara

°°°

Sudah miskin, bisu juga.”

“Dasar idiot! Hahaha!”

“Jangan mencari Ibumu, Jungkook! Dia tidak menginginkan anak sepertimu!”

“Lebih baik kau mati saja.”

“Kau menyebalkan!”

Menjejaki trotoar lenggang pinggir kota, Jungkook berusaha menahan mati-matian gelegak dalam relungnya. Ngengat masih berdendangan mengiringi pekikan mentari di atas sana; tak musim panas, tak ujian dalam hidupnya, keduanya sama-sama belum usai. Dan seolah belum cukup, deretan kalimat tersebut masih berkeliaran di dalam rongga kepalanya; membuat gaduh; membekaskan rasa sakit serta pening yang teramat sangat. Padahal pria delapan belas tahun itu hanya ingin bertemu dengan Sang Ibu, saat teman-temannya mendapat masalah pun ia hanya ingin sekadar membantu, tetapi kenapa timbal balik yang diterimanya malah seperti itu?

Apa salahnya, memang?

Tak terasa, likuid menerjang pipinya begitu saja. Tangan yang semula menyampir tas kini ia gunakan untuk menyeka gesit. Jungkook sebenarnya tak cengeng, ia hanya tak begitu mengerti bagaimana dunia bisa sekejam ini. Usianya baru sembilan saat Sang Ibu menghilang; di sekolah bukannya mendapat pembelajaran, ia malah mendapat penindasan; di sepetak apartemen kecil ia hidup sendirian; lantas predestinasi sepahit apalagi yang harus ia teguk?

Beberapa menit berjalan, akhirnya Jungkook tiba di tempatnya berteduh kendati itu bukan rumah. Ini sudah pukul tiga siang, maka membersihkan diri dengan segera, ia bersiap-siap pergi untuk mencari pundi-pundi; gaji dari menjadi pencuci piring di salah satu kedai makan memang tak seberapa, tetapi setidaknya cukup untuk menyambung nyawa. Hanya saja, kembali, mengapa Tuhan menjatuhkan cobaan untuknya dalam waktu yang bertubi?

“Astaga, idiot, jadi kau bekerja jadi tukang cuci piring untuk bertahan hidup, huh?”

Kalimat itu dilontarkan sehari kemudian, bersama pendar cahaya senja yang menyelusup lewat jendela lantas membubuhkan kesan oranye di seluruh penjuru kelas. Sumbernya tak lain adalah Kim Eunwoo; pemuda berjaket denim, tetapi ketiga teman-teman setianya ikut melayangkan senyum miring. Mereka menyeret Jungkook begitu saja tanpa alasan yang jelas, maka atas intimidasi yang kentara begini, pemuda itu tak dapat mencerna apa gerangan yang sebenarnya terjadi.

“Sejak awal aku sudah membencimu, Sialan,” Eunwoo mendesis pongah. Tangannya menyilang angkuh di dada tatkala melanjutkan, “Kau naif! Kau hanya mencari perhatian agar orang-orang kasihan padamu, bukan? Bahkan hampir semua guru disini saja memperilakukanmu dengan cara yang istimewa daripada anak-anak lainnya. Apa kau tak cukup puas selama ini, hah?”

Jungkook mengernyit. Dalam hati ia bersenandika, “Kenapa keterbatasan dan perbedaan masih saja menabur kebencian? Sehina itukah aku?”

Namun seolah belum cukup, para pengikut Eunwoo lantas perlahan mengikis jarak selagi membubuhkan kalimat-kalimat tak kalah menyakitkan. Bahkan parahnya, mereka kini berani melayangkan gangguan di fisik: mendorong, menendang, mendegungkan kepala.

“Kau menjadikan latar belakang hidupmu sebagai alasan agar kau mendapat lebih banyak perhatian, ’kan?”

“Sudah miskin, sendirian, tak punya orang tua, kau masih banyak maunya ternyata, hah? Dasar anak bisu idiot.”

“Kau berpura-pura ramah pada orang hanya untuk cari muka, ’kan?”

Jeon Jungkook berakhir meringkuk di lantai; perih menjalar, sakit mengakar. Sementara Eunwoo serta kawanannya justru mematrikan seringai puas selagi berkacak pinggang sarat keangkuhan. Mereka tak hentinya menendang, namun si Jeon tak dapat melakukan apapun selain tangannya mencoba menggapai tangan-tangannya—mengisyaratkan mereka untuk berhenti, kendati yang didapat hanya kenihilan semata. Apalah daya tak dapat mengatakan sepatah kata, ia hanya bisa menangis dalam kepedihan saja.

“Lihat! Si Idiot ini menangis! Hahaha!”

Sejemang, si Kim tertawa puas mendapati kondisi Jungkook sebelum akhirnya mereka lenyap di balik pintu. Sedangkan, disana, pemuda bersurai kelam itu tengah meratapi predestinasi pahitnya sembari disirami lembayung senja. Hening benar-benar merengkuh seisi ruangan; kendati tangis pilu belum juga reda menganak-sungai di pipi. Mendapatkan beberapa pukulan serta caci maki sepulang sekolah bak sudah menjadi makanan sehari-hari, memang. Tetapi nyaris tiga tahun dan hal demikian tak kunjung berhenti, sabar macam apa lagi yang harus ia tanamkan dalam relung?

Sangkala terus berevolusi, menjadikan si Jeon pribadi tangguh yang enggan bila diperlakukan keji lagi. Penyiksaan itu memang masih berjalan, tetapi sesekali ia berhasil melayangkan serangan balik atau sekadar bertahan. Tentunya hal tersebut kian memancing emosi Eunwoo dan kawannya; pertikaian di antara mereka semakin intens. Hanya saja atas dasar muak yang bergejolak ...

“Apa yang akan kaulakukan sekarang, Jungkook Idiot? Kaupikir kau bisa membalasku, hah?”

... tangan yang sering diulurkannya untuk membantu sekitar, tangan yang dipakainya untuk bekerja, tangan yang digerakannya untuk merapikan apartemen serta berkutat dengan pelajaran sekolah, kini tengah dikendalikan amarah hingga secara tak sadar dipergunakannya untuk mencengkeram leher si lawan bicara dengan begitu kerasnya. Kawan-kawan Eunwoo berusaha memisahkan; mereka kembali memukul, bahkan menjambak surai si Jeon panik. Tetapi telanjur, jiwa Jungkook sudah sepenuhnya dikepung emosi: marah, muak, kecewa, sedih, tak tahan. Maka dalam sepersekon kedua tangan yang semula suci itu menekan kuat, seluruh inchi tubuh di hadapannya perlahan membiru; kaku.

Beberapa pasang mata menatap terkejut sekaligus tak percaya. Terlebih lagi pada saat Jungkook tiba-tiba membuka mulut selagi dada masih kembang-kempis beringas, para presensi yang masih berdiri disana dihantam fakta mencengangkan nan tak diduga sebelumnya bahwa—

“A ... u ha ... a be ... be—a!” *)

—Jeon Jungkook sebenarnya mampu berbicara kendati nampak kepayahan saat melontarkannya. [ ]




Sumedang, 12 Mei 2019 | 7.54 PM
[ F.I.N ]




*) : Aku hanya berbeda!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top