TS_6
Halooooooo
Gimana kabarnya sobat-sobat Fay?
Semoga sehat selalu aamiin yra🤲
Jaga kesehatan ya, ingat 3M patuhi prokes agar pandemi ini segera berlalu aamiin yra🤲
Kalian ada ide nggak buat visualnya Fay dkk? Rekomen ya😘😘😘
.
.
.
Aku berhenti dibawah sebuah pohon yang cukup rindang. Di sebelahnya ada got kecil dengan air yang mengalir. Perutku mual dan aku pun muntah disana.
Setelah memuntahkan isi perut, aku bersandar pada batang pohon. Napasku tidak beraturan, sirene mobil polisi dan ambulan sahut menyahut. Ait mataku terus saja mengalir tanpa mau berhenti. Ponselku berdering, aku mengambilnya dari dalam saku rok.
Cane is calling ...
"Fay, kamu dimana?"
Aku bahkan tidak bisa menjawab Cane, hanya isak tangis saja yang keluar dari bibirku.
"Fay, kamu kenapa? Kamu dimana?"
Kekhawatiran terdengar jelas dalam suara Cane.
"Kenapa ada suara ambulan? Sial, Fay jawab aku."
Isak tangisku semakin besar.
"A ... aku." Suaraku tercekat ditenggorokan.
"Tunggu disana, jangan kemana-mana."
Sepertinya Cane berhasil mengetahui dimana aku, mungkin dari gerbang sekolah ia mendengar suara ambulan itu.
"Fay, Fay,"
Aku mendengar suara Cane memanggil.
"Fay,"
Cane melihatku, ia langsung berlari ke arahku. Berjongkok, ia melihat keadaanku yang kacau. Dipegangnya kedua bahuku, lalu ia bertanya dengan nada khawatir.
"Apa yang terjadi? Kamu nggak apa-apa?"
Aku menggeleng.
Cane berdiri melihat ke sekelilingku, lalu kulihat ia melihat ke arah tempat kecelakaan itu terjadi.
"Disana sepertinya sudah terjadi kecelakaan, kamu ... melihatnya?"
Aku mengangguk.
"Aku, nggak bisa bantu nenek itu, harusnya tadi aku menahan nenek itu agar nggak menyebrang." Jelasku sambil terisak.
"Bukan salahmu, kita kembali ke sekolah." Ajak Cane. Dan sekali lagi aku mengangguk.
Cane mengajakku ke ruang kesehatan, ia membelikanku sebotol air mineral agar aku lebih tenang. Dia sendiri nggak kembali ke kelas.
"Sebenarnya tadi kamu kenapa?" Cane kembali menanyakannya. Dan aku sekarang sudah lebih tenang dari sebelumnya.
Kulihat manik mata Cane, tatapannya benar-benar mengkhawatirkanku. Aku masih ragu Cane memiliki perasaan sebesar itu padaku.
"Tadi ... aku datang terlambat, saat akan memasuki gerbang sekolah aku melihat seorang nenek-nenek yang akan menyebrang. Kejadiannya begitu cepat, motor melaju seperti lepas kendali," aku menjeda ucapan untuk menarik napas beberapa kali, Cane memegang tanganku, membuatku merasa lebih nyaman.
"Harusnya aku menahan nenek itu sebentar saja tapi ...."
"Sudah, sudah. Ini bukan salah kamu, kamu nggak bisa melawan takdir. Kamu juga nggak bisa mencegah kejadian itu, kamu bukan pahlawan super."
Benar, Cane benar. Aku nggak bisa merubah takdir seseorang, aku bukan pahlawan apalagi malaikat. Iya, kan?
"Jangan dipikirkan lagi."
Kelembutan suara Cane memberi rasa nyaman padaku. Namun, entah kenapa tidak membuat hatiku bergetar seperti saat aku berada didekat Faruq.
"Maaf, kamu jadi bolos karena aku." Ujarku begitu ingat bahwa kami bolos mata pelajaran pertama.
Cane tertawa pelan, "nggak apa-apa, lagipula aku nggak suka bahasa inggris." Ucapnya.
"Bahasa inggris bagus, siapa tahu suatu saat nanti kamu pergi ke luar negeri." Balasku.
"Kalau memang suatu saat aku ke luar negeri, kan, bisa nanya lewat ini." ujar Cane sembari menunjukkan ponselnya.
"Dasar." Aku memukul lengannya cukup keras tapi ia tidak merasa sakit.
Aku kembali menarik napas pelan, nggak mungkin aku mengatakan pada Cane hal yang sebenarnya.
***
Dua bulan berlalu sejak kejadian nenek tertabrak di dekat sekolah. Dan dalam dua bulan itu aku mengalami hal yang sama. Namun sekarang aku bisa mengatasinya dengan lebih baik, aku hanya bisa memperingatkan orang yang ku 'lihat.' agar lebih berhati-hati. Siapalah aku yang bisa merubah takdir kematian seseorang.
Aku mengurangi waktu jalan-jalan bersama sahabat-sahabatku. Mengurangi waktu untuk berada di tempat-tempat ramai selain sekolah.
Dan sekarang aku tengah berada di salah satu pojok ruang perpustakaan, sendirian dengan beberapa buku berjudul tidak biasa, mencari buku ini selama hampir tiga hari membuatku hampir putus asa, buku-buku tentang tanda kematian yang telah usang. Aku menemukannya terselip diantara buku-buku sejarah.
Salah satu buku berwarna merah tua berjudul 'Tanda Kematian' berada ditangan. Aku membacanya dengan seksama, berharap menemukam sedikit informasi tentang apa yang kualami.
Setelah hampir empat puluh menit aku membaca, aku belum menemukan apapun. Kebanyakan isinya tentang tafsir-tafsir mimpi.
"Wah wah tumben sendirian?"
Aku menoleh ke arah suara, Adel, Maya dan Riana tengah menatap sinis ke arahku. Iya, mereka memang tidak suka padaku terutama Adel. Sebelumnya Adel dan Gia bersahabat tapi entah kenapa Gia menjauhinya. Lalu, aku dan Gia mulai dekat, kami cocok dan menjadi sahabat baik. Hal inilah yang membuat Adel membenciku, ia menganggap aku telah merebut sahabatnya. Sedangkan Maya dan Riana sebagai sahabat baru Adel, ikut-ikutan membenciku. Selama ada kesempatan Adel akan terus menindasku, melampiaskan sakit hati yang salah tempat itu.
"Aku nggak mau ribut, ini perpustakaan." Jawabku acuh lalu kembali membaca buku. Aku harus bisa membaca sebanyak mungkin sebelum bel masuk berbunyi. Aku takut penjaga perpustakaan akan menganggapku aneh jika aku meminjam buku-buku ini untuk kubawa pulang.
"Berarti kalo diluar perpustakaan dia mau dong ribut sama kamu." Ucapan Maya terdengar memprovokasi. Gadis berbehel ini memang selalu senang memanas-manasi keadaan. Kulihat Adel melirik ke arah buku yang ada ditanganku.
Aku mengabaikan mereka, aku memasang headseat ditelinga dan memutar lagu. Sikapku ini ternyata menyulut emosi Adel. Lalu dengan beraninya dia menarik headseatku dengan kasar membuatku marah dan menggebrak meja seketika.
"Adel," teriakku dengan suara lantang, membuat seluruh pengunjung perpustakaan terkejut, mereka menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah kami.
"Woah, kamu berani ya." Kata Adel tak kalah keras.
Mata kami saling menatap tajam. "Berhenti menggangguku atau kamu akan menyesal." Kataku bernada ancaman.
"Siapa takut?" Balas Adel, lalu mereka tertawa. Aku melihat ke sekeliling, mata-mata siswa lain tidak beralih dari kami. Mereka berbisik-bisik tidak jelas.
"Ada apa ini?"
Pak Yanto muncul dibelakang Adel, kedatangan Pak Yanto_penjaga perpustakaan membuat tawa Adel dan teman-temannya terhenti.
"Kalian tahu peraturan perpustakaan tapi masih saja ribut." Kata Pak Yanto sembari menatap ke arahku lalu ke arah Adel.
"Maaf, Pak. Mereka duluan yang menggangguku." Ucapku pada Pak Yanto.
"Ih, ngapain juga ganggu kamu. Memangnya kami nggak ada kerjaan apa. Ya, kan teman-teman." Adel berusaha membela diri.
"Bener, Pak." Sahut Maya dan Riana.
"Kalian sama-sama membuat keributan. Sebagai hukumannya kalian harus membersihkan perpustakaan selama tiga hari. Setelah bel pulang berbunyi kalian harus sudah ada disini. Masing-masing punya waktu satu jam setiap harinya."
"Aduh jangan dong, Pak. Kami nggak salah." Seru Adel, Maya dan Riana.
Pak Yanto mendelik tajam pada ketiganya. "Kalian kerjakan atau Bapak akan menghubungi orang tua kalian."
Kali ini mereka semua diam, mana berani mereka ketahuan orang tua bahwa mereka kena hukuman. Terutama Adel, didepan orang tuanya dia selalu bersikap manis dan membanggakan. Dengar-dengar Ibunya seorang yang perfeksionis.
"Hukumannya dimulai hari ini." Lanjut Pak Yanto lalu beliau kembali ke mejanya.
Adel, Maya dan Riana menatapku tajam. Jelas sekali mereka menyalahkanku atas hukuman ini.
"Awas ya, Kamu." Ancam Adel sebelum keluar dari perpustakaan.
Ku hempaskan pantatku ke atas kursi, menghela napas berat mendorong buku-buku didepanku tanpa minat. Hilang sudah semangatku untuk membaca.
***
Didalam kelas Gia terburu-buru menghampiriku, ia pasti sudah mendengar apa yang terjadi. Terlihat dari wajahnya yang cemas.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Gia setelah mengambil duduk disebelahku.
"Aku baik-baik aja."
"Adel itu ngapain sih nggak berenti ganggu kamu." Gerutu Gia.
Aku mengangkat bahu, Adel tidak harus kupikirkan, ada hal lain yang lebih penting.
"Lagian kamu ngapain ke perpustakaan sendiri? Biasanya juga ngajakin aku."
"Aku nggak mau jadi obat nyamuk." Jawabku membuat Gia tersenyum malu.
"Maaf." Kata Gia dengan raut wajah menyesal.
"Sebenarnya kamu sama Adel kenapa sih? Adel ganggu aku karena deket sama kamu." Akhirnya aku menanyakan juga hal ini pada Gia.
Gia menghela napas, "dulu waktu di SMP aku dan Adel sahabat karib. Kami udah kayak saudara, akrab banget. Lalu, ada murid baru cowok, cakep dan anak basket. Cowok baru itu suka sama aku dan ternyata Adel juga suka. Adel diem-diem ngerebut cowok itu dengan ngejelek-jelekin aku dibelakang, aku benci pengkhianat Fay. Makanya sampai sekarang aku nggak mau berteman dengan dia lagi."
Fay menelan ludah, ia mirip dengan Adel. Ia menyukai Faruq, pacar Gia sekarang bedanya ia tidak berusaha merebut Faruq. Ia menyimpan perasaannya untuk dirinya sendiri.
"Jadi seperti itu."
Aku menatap Gia dengan perasaan nyalang, aku berharap Gia atau siapapun tidak mengetahui perasaanku ini.
"Oya, nanti dan tiga hari kedepan kamu pulang duluan aja ya nggak usah tunggu aku." Kataku.
"Kenapa?" Tanya Gia.
Aku mendesah, "aku kena hukuman buat bersihin perpustakaan."
"Gara-gara ribut sama Adel?"
Aku megangguk, hukuman ini seperti angin segar buatku, aku bisa membaca lebih banyak lagi diperpustakaan.
Aku mulai merapikan buku-buku yang belum tertata rapi dirak-rak buku. Adel dan yang lain nampaknya belum datang. Aku merapikan dua lorong rak buku dalam waktu tiga puluh menit, aku juga merapikan letak kursi.
Aku mengambil satu buku yang kusimpan tadi, mencari tempat paling pojok diruangan itu lalu mulai membaca. Aku nggak peduli tentang Adel dan teman-temannya yang belum juga datang.
Aku bersemangat ketika menemukan salah satu bab yang bertuliskan tentang "Mata yang melihat kematian."
Dadaku berdebar, lama kutatap tulisan itu. Aku tidak bisa membayangkan penjelasan apa yang tertulis disana. Dengan tangan gemetar aku memegang kedua sisi buku, mengangkatnya hingga berjarak beberapa senti dari mataku. Namun, baru beberapa baris yang sempat kubaca, buku ditanganku terampas begitu cepat.
Aku terkejut, dadaku semakin berdetak tak karuan. Dihadapanku Adel berdiri angkuh dengan bukuku berada disalah satu tangannya.
"Kembalikan bukuku." Seruku pada Adel.
Adel mendelik, ia membaca halaman buku yang tadi kubaca.
"Mata yang melihat kematian." Ia membaca dengan suara yang cukup keras. Sepertinya Pak Yanto tidak ada ditempatnya sampai Adel berani bersuara keras. Aku mengepalkan tangan dikedua sisi.
"Aku bilang kembalikan."
Tenang dan penuh ancaman aku memperingati Adel.
"Ih, kok aku merinding ya." Seru Riana.
"Dasar aneh, bacaannya kok begitu." Sahut Maya.
"Tahu." Jawab Adel. "Dasar orang aneh, nih." Adel melempar buku itu keras hingga mengenai dadaku. Sigap aku memeluk buku itu agar tidak jatuh ke lantai.
"Jangan menggangguku atau kamu akan menyesal." Ancamku pada Adel.
"Siapa takut. Yuk ah, kita beres-beres sedikit terus pulang. Panas aku satu ruangan sama dia." Kata Adel sebelum meninggalkanku.
Aku menghembuskan napas berkali-kali agar bisa tenang. Sungguh Adel dan teman-temannya sangat kurang ajar, suatu saat nanti Aku pasti akan membalasnya.
Aku bangun dari duduk, mengintip ke meja Pak Yanto sebentar. Kosong. Sepertinya beliau belun kembali. Adel dan yang lain juga sudah pulang. Aku memutuskan untuk meminjam buku ini jadi aku menunggu Pak Yanto kembali.
Sepuluh menit kemudian Pak Yanto datang.
"Aku sudah selesai, Pak." Ucapku.
Pak Yanto mendongak.
"Kamu boleh pulang." Jawabnya singkat. Beliau terlihat seperti sedang menahan sakit.
"Aku mau meminjam beberapa buku." Kuperlihatkan tiga buah buku ditangaku.
Pak Yanto memegang perutnya. "Aduh, Bapak lagi sakit perut. Kamu tulis sendiri aja, isi yang betul." Ucapnya sebelum berlari keluar dari perpustakaan.
"Terima kasih, Tuhan." Ucapku lalu segera menulis kertas berisi batas waktu peminjaman yang ada dibalik buku.
***
☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top