TS - 1
Nampaknya musim hujan mulai datang. Seperti pagi ini, hujan turun lumayan lebat membuatku malas untuk bangun dan mandi. Aku masih bergelung dalam selimut, memeluk boneka doraemon yang hampir seukuran denganku.
'Fay, bangun.'
Samar terdengar seperti suara mama yang berusaha membangunkankanku. Tubuhku serasa bergoyang.
'FAY.'
Akhirnya suara mama bak petir menyambar mau tidak mau membuatku terbangun.
"Ya, Ma." Kataku malas-malasan.
Mama berdecak, "kamu ini sudah besar masih aja susah di bangunin. Lekas mandi, nanti kamu terkambat."
Aku menebgok ke arah jendela, hujan masih turun meski tidak selebat subuh tadi.
"Hujan."
"Jangan malas, nanti kamu ketinggalan angkot." Mama menarik selimutku lalu boneka doraemonku, matanya menatap tajam ke arahku.
"Iya, iya aku mandi." Aku melangkah ke arah kamar mandi. Aku menyalakan keran air agar segera terisi penuh. Aku berhayal alangkah enaknya kalau sekarang aku punya keran air hangat seperti yang ada di rumah Gia. Kapanpun aku mandi nggak akan kedinginan.
Sepuluh menit kemudian aku selesai mandi, segera aku mengeringkan badan dan mengenakan seragam putih abuku. Ku oleskan bedak dan sedikit pelembab bibir diwajahku. Aku paling suka melihat mataku, teman-temanku juga banyak yang megatakannya, mataku seperti mata kucing katanya. Setelah selesai aku mengenakan jaket berwarna kuning, cukup kontras dengan kulit putihku. Tas ransel kesayanganku tersampir di punggung.
"Pagi, Mama." Aku memeluk mama dari belakang. Kebiasaanku setiap pagi.
"Pagi. Ayo sarapan dulu, hujan mulai reda. Payungnya udah mama letakkan di meja depan kamu tinggal ambil."
"Siap." Kataku dengan tegas. Ku santap nasi goreng telur buatan mama yang sangat enak. Kami berdua sarapan dalam diam, aku tidak memiliki saudara, Papa meninggal lima tahun lalu dalam sebuah kecelakaan. Mama bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan, tapi kami harus berhemat. Kata mama banyak biaya tidak terduga lainnya, selain itu mama juga sudah menyiapkan tabungan dari uang pensiunan papa untuk biaya kuliahku nanti.
"Aku berangkat dulu, assalamualaikum." Pamitku setelah mencium tangan mama. Aku berjalan kurang lebih lima menit dari rumahku hingga aku sampai di jalan raya. Angkot langgananku sudah ada di sana, kebanyakan isinya anak-anak sekolah yang satu arah. Ku lipat payungku sebelum naik ke dalam angkot.
Perjalanan dari rumah menuju sekolahku sekitar lima belas menit. Namun karena hujan dan jalanan licin angkot yang ku tumpangi berjalan sedikit lambat. Dan sepertinya terlambat datang ke sekolah pada saat hujan merupakan hal lumrah.
Aku sampai di depan sekolahku, benar kan tidak seperti hari biasa jika, jam tujuh lima belas menit gerbang sudah dikunci tapi hari ini gerbang masih terbuka. Aku melihat sebuah mobil merek terkenal berhenti tepat di gerbang sekolah. Seorang gadis cantik turun dari dalam mobil dengan payung berwarna pink polos. Aku memperhatikannya dari seberang jalan, angkot yang kutumpangi sudah berlalu. Lalu gadis itu menoleh ke arahku, ia tersenyum dan melambaikan tangan. Aku membalas senyum dan lambaian tangannya. Segera aku menyebrang dan menghampirinya.
"Gia, siapa yang anter?" Tanyaku.
"Papa, tadi kebetulan papa jalannya agak telat jadi aku ikut. Yuk."
Gia menggandeng tanganku dan payungnya yang besar melindungi kami berdua dari sisa-sisa hujan. Payungku terlipat rapi karena aku mengenakan tudung jaketku tadi.
"Sebentar lagi kamu ulang tahun, di rayain nggak?" Gia bertanya ketika kami baru saja duduk dalam kelas.
Biasanya setiap ulang tahun ibu merayakannya secara sederhana di rumah, mengadakan pengajian dengan anak-anak yatim piatu. Tidak ada yang namanya pesta-pesta khas ulang tahun.
"Seperti biasa, di rumah akan ada pengajian kecil-kecilan. Kamu datang ya." Kataku.
"Tentu saja, apa anak-anak yang lain diundang?"
"Beberapa saja, teman-teman dekat."
"Faruq juga kan?" Gia nampak begitu bersemangat. Ia memang sudah lama menyukai Faruq diam-diam. Ketua kelas yang juga ketua osis di sekolah kami. Anaknya baik, ganteng, pinter dan tajir. Selama ini Faruq juga sepertinya menyukai Gia, mereka cocoklah menurutku.
"Iya."
Gia berteriak girang dan memelukku erat sambil mengucapkan terima kasih.
"Makasi ya Fay,"
"Iya, sama-sama."
Kelas perlahan mulai penuh, semua sudah datang termasuk Faruq dan dua orang sahabatnya. Cane dan Haris. Kulihat Faruq melirik sekilas ke arah Gia, ia tersenyum ketika Gia menoleh ke arahnya. Lalu tak sengaja tatapanku bersirobok dengan Cane, dan demi apa anak itu mengedipkan matanya padaku. Aku memutar bola mata malas, memilih mengeluarkan buku catatan dari dalam tas.
***
Suasana kantin ramai, beruntung aku dan Gia keluar lebih cepat tadi dan langsung menuju kantin sehingga kami tidak perlu mengantri terlalu lama.
"Mamamu masak apa besok?" Tanya Gia.
Gia memang sangat menyukai masakan mama, terutama rendangnya.
"Masak rendang juga kan?"
Tuh bener kan kataku. "Iya, mama pasti masakin buat kamu."
"Terima kasih sayang?" Balas Gia, ia kemudian menyantap bakso bening tanpa saus kecap apalagi sambal.
Faruq, Cane dan Haris mendatangi meja kami. Masing-masing mereka membawa semangkuk bakso dan juga teh botol di tangannya.
"Kalian cepet juga ya." Kata Haris.
"Laper apa doyan?" Sahut Cane.
"Dua-duanya." Aku membalas ucapan Cane. Ia duduk tepat di samping kananku.
"Kalau kamu masih laper, kamu ambil punyaku aja lagi." Tawarnya .
"Bener?" Aku meyakinkannya, dan dia terlihat ragu. Aku tidak menunggu jawabannya aku langsung mengambil alih bakso ditangannya. Bahkan mangkok baksonya menyentuh meja. Biarin aja, siapa suruh kerjaannya cuma ngegombalin aku aja.
"Eh," serunya terkejut.
"Kenapa? Kamu nggak jadi ngasi aku, ya udah ini aku bal..."
"Jadi dong sayang, cuma bakso doang mah kecil. Sini aku kecapin." Cane membantuku menuangkan kecap dan yang lainnya, tidak lupa ia mengambilkan aku sambalnya satu sendok.
"Silahkan di nikmati, abang Cane mau beli lagi." Cane kembali mengantri.
"Kamu iseng banget sih Fay." Kata Gia.
Aku mengedikkan bahu, melanjutkan menikmati bakso gratisku.
"Biarin aja, Cane seneng kok." Sahut Faruq.
"Jadi Cane beneran suka sama Fay?"
Aku melotot pada Gia, dan dia pura-pura nggak liat.
"Beneran, masa bo'ongan. Fay, menurutmu gimana?" Kali ini Haris bersuara.
"Kalian ini kenapa sih? Gak jelas banget." Aku mulai gugup, mereka bertiga memandangiku dengan wajah-wajah penasaran. Aku mulai memainkan ujung rambutku dengan memutar-mutarnya menggunakan jemari. Kebiasaan yang aku lakukan jika aku gugup.
"Kami menunggu jawabanmu." Kata Faruq.
"Kalian ini...ah," aku menutup telingaku cepat, menekannya sekuat tenaga agar suara berdenging itu menghilang. Tapi percuma, dengingan nya makin kuat, kini dadaku terasa sesak, aku merasakan keringat dingin mengucur di dahiku.
"Fay kamu kenapa?"
Gia terdengar panik, ia memelukku sembari kadang menggoyangkan bahuku pelan.
"Faruq lakukan sesuatu." Perintah Gia.
"Aku nggak tahu harus gimana." Faruq pun tidak kalah panik.
"Fay, kamu kenapa? Ada yang bisa kami lakuin buat kamu nggak?" Suara Haris terdengar putus asa di telingaku.
Aku juga nggak tahu kenapa. Telingaku berdenging kuat lalu yang ku lihat gelap dan aku tidak mendengar suara apapun.
***
Perlahan aku membuka mata, kepalaku terasa berat, ku lihat seragamku sudah berganti dengan kaos berwarna merah muda milikku. Setelah berhasil mengembalikan kesadaran, ku lihat ke sekelilingku. Aku sudah berada di kamar tidur rumahku, seingatku tadi aku sedang berada di kantin sekolah. Saat mengobrol dengan teman-temanku tiba-tiba telingaku berdenging kencang hingga aku tidak sadarkan diri. Mataku terpaku pada jam dinding dengan karakter doraemon di dinding kamar, pukul dua siang. Aku melongo, selama itukah aku pingsan?
Desau angin terdengar cukup kencang diluar, di halaman depan rumah ada sebuah pohon mangga yang cukup besar. Ranting-rantingnya cukup panjang hingga mencapai jendela kamarku. Mama seorang single parent. Sejak saat itu, mama bekerja keras untuk mencukupi kehidupan kami berdua. Dengan langkah gontai aku mencari mama ke dapur.
"Sayang, kamu sudah siuman? Mama sedang membuatkanmu teh manis."
Mama bergerak cepat menghampiriku, dengan telaten ia membantuku duduk.
"Aku ambilkan tehnya dulu." Dengan langkah gesit mama mengambil teh manis yang ada di dekat kompor.
"Minumlah."
Aku meminum teh manis buatan mama sampai habis.
"Kamu lapar? Mau makan?" Tanyanya.
Aku menggeleng, "aku pingsan selama itu ya, Ma?"
Kekhawatiran itu masih terlihat jelas di wajah mama.
"Iya sayang, tadi Gia telpon Mama, bilang kalau kamu pingsan di sekolah. Mama langsung ke sekolah menjemputmu, sekalian minta izin pulang duluan. Kamu belum makan siang ya tadi? Atau ada sesuatu yang kamu rasakan?"
Aku nggak tahu harus memberi tahu mama atau nggak tentang kejadian tadi, tapi melihat wajah mama aku jadi nggak tega. "Iya ma, tadi badanku agak lemas mungkin telat makan siang jadi pingsan."
Mama berdecak, "tunggu sebentar mama ambilkan makanannya." Begitulah mama sangat perhatian padaku. Pasti sulit baginya meminta izin pulang terlebih dahulu di saat akhir bulan seperti ini. Pekerjaannya sebagai seorang akuntan membuatnya sangat sibuk. Aku menyantap sup ayam jagung yang mama buatkan sampai habis.
"Maaf ya, Ma, Mama jadi izin pulang cepat."
"Kamu ini bicara apa sih. Kamu itu prioritas Mama, jadi nggak mungkin Mama nggak pulang saat kamu sakit."
"Makasi, Ma." Aku memeluk mama erat.
Mama menepuk punggungku lembut. "Habiskan makananmu, setelah itu kamu istirahat lagi."
Aku melanjutkan makanku dengan lahap, setelah selesai aku pamit ke kamar.
"Aku kembali ke kamar. Makasi supnya." Kataku.
"Sama-sama sayang, istirahat aja lagi dikamar. Oh ya, ponselmu ada di dalam laci. Temen-temenmu nunggu kabar dari kamu."
"Iya, Ma."
Kamarku berada di bagian depan rumah, tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali ke dalam kamar ataupun ke luar rumah. Rumah kami terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga dengan sebuah televisi di atas meja, dapur, kamar mandi dan gazebo kecil-kecilan di belakang rumah. Tanganku sudah memegang gagang pintu kamar ketika tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan hitam di teras rumah. Gorden jendela melambai ditiup angin, tanganku urung membuka pintu kamar.
Kakiku melangkah ke arah pintu, setelah menengok kiri kanan dan tidak apa-apa aku memutuskan kembali ke dalam rumah. Baru saja pintu tertutup terdengar suara berdebum di luar. Mama muncul dari dalam rumah dengan setengah berlari.
"Suara apa itu Fay?" Mama terlihat kaget dan penasaran.
"Aku nggak tahu ma." Aku mulai memilin rambutku, memutarnya nggak jelas.
"Ayo kita lihat sama-sama." Mama membuka pintu depan, kami keluar bersama, mama menyisir depan rumah hingga ke samping bahkan mama keluar gerbang, melihatke tengah jalanan yang tampak lengang.
"Nggak ada yang jatuh Fay, suara apa ya tadi?" Mama terlihat bingung.
"Nggak tahu, Ma." Jawabku.
"Mungkin tetangga sebelah." Mama hampir bergumam mengatakannya. Terlihat kepalanya yang melihat kesana kemari, masih berusaha mencari sumber suara. "Kamu masuk aja dulu, istirahat."
Aku mengangguk, mengikuti perintah mama untuk kembali ke kamar. Ku intip dari balik jendela, mama masih berdiri di gerbang sembari menatap jalanan. Mulutnya tidak berhenti bergerak, seperti sedang mengatakan sesuatu, tapi aku sama sekali tidak bisa mendengarnya.
***
Tbc
Folow IG dewie_sofia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top