Tiga Tahun Kemudian
"Selamat atas kelulusanmu sebagai Enchantress keluarga Arcantrina yang baru, Madeleine."
Ucapan itu setidaknya sudah aku dengar lima belas kali dalam satu kesempatan jamuan makan kali ini saja. Dan karena ini adalah Soiree untuk merayakan kelulusanku dari akademi dan tes menjadi Enchantress resmi dengan sertifikat resmi dari kekaisaran Norvan, aku resmi menjadi Enchantress ke-tiga belas dari keluarga Arcantrina. Kelima di generasiku.
Tiga belas, ya? Bukan angka yang buruk juga.
"Terima kasih, Paman." Aku menyahuti ucapan selamat itu.
Entah dia paman dari anak yang mana, kakak yang mana, adik yang mana, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menyapa kepala keluarga Arcantrina dan lalu pergi dari sini. Sekadar untuk meyakinkan pada nenek tua itu bahwa aku juga bisa berguna.
Aku juga bisa merebut takhta dari tangannya yang katanya abadi itu.
Segera setelah mengucapkan salam formalitas itu, paman yang tidak aku kenali itu pergi. Dari lambang keluarga yang ia kenakan dengan bangga di dada kiri, memang kami adalah satu keluarga. Tapi aku tidak kenal dia dan sepertinya dia juga tidak ingin mengenalku.
Langkahnya buru-buru sekali meninggalkanku sampai jubah di belakang tubuhnya agak mengayun terbang seperti itu.
Aku memutuskan untuk mengabaikannya dan menunggu sampai seluruh tamu undangan hadir dan menyapa. Setelah itu, aku akan minggat dari sini. Secepat mungkin. Setransparan mungkin. Kalau perlu, pakai sihir agar tidak ada yang sadar! Masa bodo Nenek akan mengira aku meludahi wajahnya dengan tingkah kurang ajarku ini!
Aku melirik sinis ke arah wanita tua yang sedang duduk di singgasana dengan tampang yang sangat lelah.
Dia enak bisa duduk di sana. Aku, di sini harus menderita, berdiri selama hampir dua jam dengan sepatu hak tinggi yang tidak akan membantu sama sekali di kondisi darurat.
Yah, tapi....
Aku melirik gaun biru lazuardi yang mengembang, membungkus badanku sekarang ini. Rendanya tidak berlebihan seperti yang akum au. Tidak begitu mengembang juga, alih-alih, gaunnya mengayun bebas dan lepas, jadi aku tidak terbebani oleh semua crinoline dan kelengkapan merepotkan dari gaun-gaun lady keluarga terpandang lainnya.
"Gaun yang simpel." Aku ingat meminta ini pada designer yang dikirim oleh Nenek ke kamarku. Designer perempuan yang jelas-jelas menerima tawaran ini dengan setengah hati setelah aku bilang aku ingin gaun tanpa crinoline. "Masih bisa membuatku bergerak, tapi juga anggun."
Mendengar kata anggun, untungnya, membakar kembali semangat perempuan itu dan akhirnya jadilah gaun indah ini. Dan jika jujur boleh mengakui, aku suka mawar kelabu dengan aksen hitam dan biru ini.
Abu-abu, hitam, dan biru. Semuanya adalah warna keluarga Arcantrina.
Aku tersenyum tipis.
Tapi senyum itu segera memudar saat sadar, mungkin semua ini adalah bayaran atas permintaanku yang mungkin kelewat merepotkan keluarga inti itu. Termasuk sang kepala keluarga sendiri.
Aku menggenggam gelas lebih erat saat nenek itu dengan jelas mengabaikanku.
Aku harap encoknya kambuh lagi besok pagi!
Aku meneguk minuman di gelas sampai tandas. Sepertinya ini cider biasa. Bukan minuman alkohol yang akan langsung membuat mabuk.
Aku menengok jam. Sudah hampir jam sembilan malam. Satu menit lagi pintu kedatangan akan ditutup, kan? Tidak akan ada tamu yang bisa datang setelah ini.
Ah, akhirnya jam istirahat! Aku bisa tidur! Setelah tiga hari tidak tidur untuk persiapan ujian dan baru tidur empat jam kemarin malam, akhirnya aku bisa mendapatkan tidur yang layak!
"Kau dengar rumor di kekaisaran Laumaji?"
Telingaku berjingkat. Para bangsawan yang diundang dan berdiri di sekelilingku, bergosip ria. Suara bisik-bisik mereka terdengar jelas di telingaku yang memang sudah terlatih mendengarkan dan memilah suara-suara senyap. Aku pun mendengarkan dengan seksama.
Biar bagaimanapun, pekerjaanku di departemen pertahanan sihir Kekaisaran akan dimulai lusa.
"Arcduke yang baru itu, rumornya dia dijadikan utusan ke mari. Ke kekaisaran Norvan ini."
"Ah, soal perjanjian damai itu? Bukannya itu hanya gosip? Perbatasan kita masih bersitegang dengan mereka di berbagai sisi."
Mungkin hanya sebuah iktikad baik. Pertemuan antar negara untuk mencegah perang. Bukan berarti akan menghentikan konflik yang ada.
Jadi utusan dari kekaisaran sebelah adalah Arcduke. Dan di generasi ini, yang mendapat gelar Arcduke adalah House of Veritas. Duchy Veritas. Sang tombak utama kekaisaran Laumaji, menggantikan posisi Arcduke sebelumnya yang dipegang oleh House of Derjev, keluarga Thaumaturge andalan kekaisaran Laumaji. Aku dengar ada sedikit perselisihan dari pemilihan Arcduke kali ini, tapi karena Arcduke kali ini benar-benar kuat, konflik itu bisa diredam dengan cepat.
Sang binatang buas di medan pertempuran, Ardentius Veritas.
Sang Arcduke termuda yang berhasil menggantikan Arcduke dari generasi sebelumnya. Rumor yang beredar soalnya bahkan sampai menembus garis belakang tempat para Enchantre berada.
Sang binatang buas.
Sang monster dalam peperangan.
Paladin Kematian.
Banyak julukan untuk sang Arcduke muda itu.
Didengar saja sudah bikin merinding. Tidak ada dari pasukan Enchantre yang inign bertemu dengan beliau, bahkan di saat-saat damai begini.
Haha, jangan sampai. Tolong. Aku mohon.
Jangan sampai aku berurusan dengan Arcduke itu. Sudah cukup satu kali saja aku berurusan dengan Duchy Veritas. Aku tidak mau berurusan dengan anggota lain-lain lagi. Duh, kalau sampai yang aku tolong waktu itu benar adalah orang gadungan, bagaimana?
Apa diam-diam sudah ada harga kepalaku di kediaman Veritas?
Apa orang yang aku tolong itu sudah mati sebagai kriminal? Kalau memang tidak, siapa dia? Kenapa ia bisa memegang cincin Veritas bersamanya?
Semua rahasia itu terkubur bersama waktu dan aku harap akan terus begitu.
"Arcduke Veritas, memasuki aula!"
Kepalaku langsung memelesat ke arah pintu masuk di depan sana. Terpisah oleh karpet merah yang membentang dari pintu ganda depan sampai singgasana nenekku sebagai penyelenggara acara. Aku buru-buru berjalan ke arah singgasana, meletakkan gelas kosong itu ke nampan pelayan terdekat.
Sang bintang acara dan penyelenggara harus ada di sisi yang sama. Itu etiket resmi dan kalau sampai aku melanggarnya, habis aku diceramahi sampai besok pagi.
Untungnya, ketika pintu terbuka, aku sudah ada di sisi Nenek sekali algi. Nenek sudah berdiri tegap di sebelahku, siap menyambut kedatangan tamu tidak diduga ini.
"Dia tidak melanggar kata-katanya," Aku mendengar Nenek bicara begitu di sebelahku.
Aku menaikkan sebelah alis. "Nenek bilang sesuatu?" Sengaja pura-pura tolol, aku membeo seperti burung bodoh.
"Aku menantang Arcduke muda itu." Eh? HAH?!
"A-apa maksud Nenek menantang?" Demi Dewai-Dewi, aku merasakan setetes keringat meluncur turun di belakang leherku. Aku mencoba tertawa untuk mencairkan wajah serius sang matriarki Arcantrina. "Nenek bercanda, ya?"
"Aku mana mungkin bercanda." Sang Matriarki Arcantrina itu bahkan tidak menoleh kepadaku. "Aku menantangnya sebagai utusan Laumaji untuk menembus semua barikade yang aku pasang di sekitar kediaman ini jika memang ia ingin hadir tanpa niat buruk."
Tidak, tidak, malahan kalau dia berhasil menembus semua barikade ini, bukannya itu malah membuktikan sebaliknya? "Menembus ... secara paksa, maksudnya?"
"Menurutmu?"
Aku melihat setetes keringat meluncur dari pelipis Nenek. Sepertinya memang sengaja disamarkan. Nenek sedang menahan diri dari gempuran. Dan dari bagaimana Nenek sampai meneteskan keringat, ini bukan gempuran biasa. Tapi anehnya aku tidak merasakan apa pun. Tamu-tamu lain juga tidak bereaksi aneh. Seolah Nenek hanya membual dan tidak benar-benar ada gempuran di luar.
Tapi jika Nenek sudah serius, aku tahu Nenek memang serius.
Lagipula, jika aku saja sampai tidak sadar kediaman ini di barikade, artinya barikade itu hanya terkhusus untuk sang Arcduke, kan?
Sekarang pertanyaannya, kenapa Nenek mau berbuat sejauh itu?
Dan satu petanyaan lagi: "Kenapa sang Arcduke utusan yang seharusnya tinggal main saja ke kediaman kaisar, malah mampir ke tempat ini?"
"Dia bilang ingin menyambut kelahiran baru Enchantress di kerajaan ini, karena sedang ada di sini, dia berniat mampir," terang Nenek.
"Beliau bilang sendiri seperti itu?"
"Setelah rapat dengan Yang Mulia ... Benar."
Apa? Setelah rapat? Telingaku tidak salah dengar, kan?
Itu artinya urusan Arcduke Veritas sudah selesai di sini, kan? Kenapa dia malah mampir ke sini?
Kenapa dia malah menggempur Nenek habis-habisan hanya untuk mampir ke sini?
Ugh, aura permusuhan apa ini yang aku rasakan? Firasat buruk apa ini?
Kemudian langkah kaki itu bergema. Aula utama yang tadi ramai oleh interaksi banyak orang, mendadak sepi, dan sebagai gantinya, bisik-bisik mulai terdengar saat sosok gagah seorang kesatria masuk dengan anggun dan penuh wibawa, melangkah di sepanjang karpet merah menuju singgasana matriarki Arcantrina.
Aku membelalak kaget sejadi-jadinya. Aku merasa sudah melongo dan menganga saking kagetnya, meski pada kenyataannya, hanya kedua mataku yang membuka lebar, sementar amulutku tertutup rapat. Aneh sekali bagaimana tubuhku masih tetap tegap berdiri saat jiwaku rasanya sudah separuh meninggalkan raga.
Pria itu, sang Paladin Kematian yang membabat banyak sekali prajurit lawan Laumaji di medan tempur, sang Arcduke Veritas yang banyak dibicarakan, Sang Ardentius Veritas yang dirumorkan itu....
TIdak lain dan tidak bukan adalah pria yang aku selamatkan dulu.
***
//Insert emoticon kaget penuh drama cetar badai membahana di sini!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top