Tamu Tidak Diundang
Apa mataku menipuku?
Atau memang pria itu tidak tampak menua sama sekali sejak tiga tahun lalu? Ma-maksudku, dia memang tampak lebih tinggi, bahunya lebih bidang, tubuhnya lebih berotot dan berisi dibanding tusuk gigi hidup yang aku temukan sekarat entah habis diserang siapa tiga tahun lalu.
Tapi penuaannya jelas berhenti di tengah-tengah jalan satu tahun.
Rambut hitam itu masih sama. Wajah itu masih sama. Tapi alih-alih memakai baju katun sederhana bekas salah satu pelayan di mansion Arcantrina, sekarang ia memakai setelan resmi khas bangsawan. Setelan putih dengan jubah hitam dengan lambang keluarga Verita tercetak tebal di jubahnya.
Lambang ular kembar.
Seperti ular yang harus diwaspadai.
Mata itu menatap ke depan, tapi aku tidak memandangnya. Alih-alih aku terfokus pada dahinya saja.
Aku langsung merebut penglihatannya saat pria itu membuka mata, jadi aku tidak tahu apa warna mata aslinya. Rupanya, matanya violet. Warna mata yang cukup langka. Dan ... mengingat ia datang dari Laumaji ... warna mata Violet yang biasanya menandakan adanya gejolak sihir abnormal dalam darah ... mengingat Laumaji bukan negara yang bergantung pada sihir, tapi ilmu pengetahuan dan teknologi, mata itu jadi sebuah misteri tersendiri.
Dan tampaknya pesona yang tidak bisa ditolak oleh para wanita di sini, karena aku beberapa kali melihat para waniwa senyum-senyum sendiri saat sang Arcduke muda lewat.
Muda, menawan, dan banyak yang mau itu memang beda, ya.
Sementara di sini aku harus menghadapi stigma masyarakat karena belum menikah padahal sudah menginjak usia dua puluh dan wajahku sudah semakin seperti ibu-ibu daripada gadis muda.
Ugh, ketidak adilan itu memang nyata adanya dan benar-benar menjengkelkan.
Sama seperti takdir yang mempertemukan kami malam ini, di tempat ini.
Maksudku, ada berbagai kemungkinan, ada berbagai tempat di seluruh kekaisaran ini, kenapa harus kediaman keluarga Arcantrina, di malam Soiree untuk merayakan kelulusanku sebagai Enchantress ketiga belas keluarga ini?!
Tidak bisakah ia memilih tanggal lain?
Eh, tidak, tunggu, jangan-jangan Ardentius memilih tempat ini karena dia sudah tahu?
Tidak, tidak, itu tidak mungkin, kan? Aku sudah menyembunyikannya dengan rapih. Tidak ada bau, jejak, atau sihir yang tersisa. Dia juga tidak melihat tampangku sampai aku pergi dari sana dan melepas sihir yang merenggut penglihatan dan pendengarannya.
Ya, kan?
Ugh, kenapa aku jadi meragukan sihirku sendiri?
Tidak, sudah jelas tidak ada kecacatan dalam sihirku. Semua penyamaran itu sudah sempurna.
Tidak mungkin pria ini sudah tahu. Tidak, ia pasti hanya sedang menyelidiki. Secara kebetulan dan sialnya, rumah ini ada di target selanjutnya dari pria ini. Jika ia sedang mencari bukti, aku akan memberikan satu bukti untuknya.
Bukti bahwa dugaannya salah.
Ardentius Veritas mengangguk hormat di depan nenekku sang matriarki keluarga ini. "Saya ucapkan salam kepada Matriarki Arcantrina dan...." Aku merasakan lirikan Ardentius kepadaku. "Nona Arcantrina muda yang tidak lain adalah bintang utama jamuan ini."
Aku tidak menengok reaksi Nenek, tapi aku bisa merasakan rasa jijik dan mualnya juga menular kepadaku. Aku heran bagaimana ia bisa menikah dengan suaminya dulu.
"Salam saya sampaikan kepada Arcduke Veritas, tombak Utama kekaisaran Laumaji, Paladin kebanggaan Matahari dari Utara," Aku menunduk, melakukan courtsy selayaknya seorang lady terhormat. "Madeleine Arcantrina menyapa Anda dengan rendah hati di kesempatan yang istimewa ini."
Aku berdiri tegap kembali setelah selesai memperkenalkan diri. Masih tidak berani menatap matanya langsung. Hanya ke dahinya.
Berbeda denganku, pria di depanku ini malah memandangku dengan intensitas yang tidak biasa. Meski dia hanya memandangku sepersekian detik, rasanya sepuluh detik sudah berlalu.
"Senang berkenalan dengan Anda." Ardentius mengulurkan tangan dan aku pun menyambutnya, membiarkan dia menyentuh dan mencium jari jemariku. Untung aku mengenakan sarung tangan panjang malam ini. "Nona Madeleine."
"Senang bisa berjumpa lagi dengan Anda."
Aku membelalak dan langsung melihat ke belakang, merasa yakin ada yang baru saja berbisik di sana. Tapi tidak ada. Tidak ada siapa pun di belakangku atau di sampingku. Tidak pula ada orang lain di depanku selain sang Arcduke.
Siapa yang tadi bicara?
Rasanya seperti dekat sekali ... hampir seperti....
"Apa anugrah yang kiranya tercurah malam ini kepada kami sekeluarga sampai orang sepenting Anda berkenan datang ke pesta yang kecil ini, Tuan Arcduke?"
Ardentius tersenyum. "Matriarki, Anda terlalu membesarkan. Saya tidak sebegitu istimewa dibanding keluarga Arcantrina yang telah mengabdi dengan setia pada kekaisaran Norvan selama puluhan generasi," ujarnya mencoba merendah. "Saya ke sini hanya untuk menyapa Anda."
"Dan untuk mengucapkan salam."
Aku tersentak lagi. Suara itu sekali lagi datang. Kali ini aku yakin bukan sekadar perasaanku saja. Suara itu benar-benar ada.
Dan yang membuat jantungku mencelus adalah, suara itu datang dari dalam kepalaku.
Telepati?
Aku dengar ini bentuk sihir abstrak paling sulit digunakan dan dikendalikan. Tapi dia bisa menggunakannya? Dia yang berasal dari negeri yang menganggap sihir itu pelanggaran ciptaan Tuhan?
Kemudian aku menatpa mata violet itu. Mata yang berpendar dan berputar seperti pusaran angin topan liar.
Ah, mana yang tidak stabil di dalam tubuhnya. Pergolakan sihir.
Telepati inikah kekuatan sihirnya? Karena itu matanya memperlihatkan pergolakan sihir yang tidak stabil?
Kemudian, di depan Nenek, Ardentius mengangat tangannya, menaruhnya di depan dada. Terlihat seperti sebuah gestur biasa, tapi di mataku, ketika ia mengangkat tangan yang memiliki cincin keluarga Veritas melingkar di jarinya, gestur biasa nan sederhana itu menjadi bermakna ... lebih dari sekadar sikap hormat.
"Sesuai janji saya tadi siang." Ujarnya. "Bukankah saya orang yang menepati janji?"
Dan di saat yang sama, ada suara lain yang bergema di kepalaku. Suara yang aku sadari, persis seperti suara sang Arcduke.
"Jika kau ingin menyembunyikan identitasmu, pastikan kau tidak menolong orang sembarangan lain kali."
Cincin di tangan Ardentius berpendar. Bukan dalam cahaya yang biasa, tapi dalam pendar asap yang berkilau. Merah. Aku merasakan bagian atas dadaku menghangat. Tepat di jantung. Aku menunduk, melihat asap itu berakhir di sana.
Tempat aku menaruh orb yang pernah aku pakai kepadanya dulu.
Sial, padahal orb-orb itu sudah aku musnahkan semua.
Ternyata cincin itu menyimpan jejak sihir?! Cincin itu bersentuhan dengan orb yang aku kenakan dan jejaknya tersisa di tubuhku karena sempat memakainya lagi di perjalanan pulang?
Ah, sial. Sial. Sial. Kenapa aku tidak mempertimbangkannya?
Dia, kan, bisa saja keluar dan mengacak-acak orb yang aku tinggalkan selama aku tidak ada! Biar bagaimanapun, aku bukannya mengawasi setiap pergerakannya! Aku tidak sekuat itu tiga tahun lalu!
"Ya, ternyata kau memang tidak mengingkati kata-katamu sendiri, Tuan Arcduke," Nenek berkata. "Dan aku harap akan terus seperti itu di masa depan."
"Tentu, saya tidak akan mengingkari kata-kata saya."
Senyum yang tampak percaya diri dan ramah itu, di mataku, tidak lebih baik dari seringai licik seekor ular.
"Dan saya tidak akan melepaskan mangsa yang sudah saya incar sejak lama."
Bersamaan dengan kata-kata itu, Ardentius menjatuhkan pandangannya kepadaku. Sekujur tubuhku merinding seketika. Dan akhirnya aku pun menundukkan pandangan. Kalah darinya. Kalah dengan memalukan.
Aku menggertakkan gigi, menyimpan marah itu dalam hati. Tidak mau merusak jamuan ini. Tidak ketika matriarki ada di sampingku.
"Kalau begitu saya permisi. Saya akan menikmati jamuan ini sepenuh hati."
Setelah pamit demikian, tanpa ada suara apa pun di dalam kepalaku sebagai suara dobel, Sang Arcduke Veritas berpamit pergi menuju pesta. Itu pun tidak tanpa melakukan gestur yang sangat terlihat bahkan dari belakang seperti ini.
Ia mengecup cincin di jarinya. Cincin keluarganya.
Aargh, aku jadi semakin merinding! Masalah apa yang sudah aku masuki dengan tololnya ini?!
Urusan dengan Arcduke?! Mana aku tahu dia Arcduke?! Kalau tahu dia calon Arcduke, aku sekalian jatuhkan dia ke jurang agar mayatnya tidak ketemu!
Inginnnya bilang begitu.
Sayangnya, sebagai aib, aku lahir dengan kecacatan yang jelas-jelas tidak dimiliki oleh anggota keluarga mana pun selain aku: hati nurani yang terlampau besar untuk tubuh yang terlampau kecil.
Belas kasihanku terlalu besar.
Jadi mau dia Arcduke maupun kaisar negara barbar itu, aku tidak akan bisa membunuhnya semudah itu.
Tidak tanpa dihantui rasa bersalah menahun yang tidak akan hilang sampai mati.
"Kau kenal dengan Arcduke itu?"
"Tidak, Matriarki," jawabku dengan Bahasa formal. Sebisa mungkin, aku ingin diijinkan lenyap dari pesta ini secepat mungkin.
Nenek mendengkus. "Tapi kelihatannya dia tertarik padamu."
Aku hanya bisa tertawa pada kata-kata itu. Tertawa untuk menyembunyikan ketakutanku.
Nenek, demi negara ini dan demi kesehatan mentalku, semoga kata-katamu tidak benar adanya.
***
A/N:
Dan ini chapter terakhirnya, YEAY!
Mau kalian anggap ini katarsis saya atau emang gabut, sesuka hati kalian aja
Cumaaa kalau diminta suruh lanjutin kisah ini jadi full length, saya mungkin belum sanggup
Dan nggak akan sanggup di platform gratisan begini
Mungkin akan saya upload buat yang mau bayar aja di platform berbayar tentunya. Muehehehehe
Untuk saat ini doakan saja semuanya lancar dan saya bisa menamatkan karya-karya yang belum tamat lainnya.
Akhir kata, See you on next story!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top