SETENGAH JIWA
Mataku tidak beranjak dari patung Euterpe (1) yang sedang menunduk sedih, sementara tangannya memegang lira (2) yang sudah patah. Melewatkan sarapan di hotel, merapatkan mantel Burberry-ku, membawa payung hitam besar yang aku minta dari Front Office, serta yang paling utama, beranjak dari tempat tidur ketika alarm yang aku pasang pukul setengah enam pagi membangunkanku adalah hal yang sangat jarang aku lakukan dalam tiga tahun terakhir. Namun aku membuat pengecualian setiap kali menginjakkan kaki di Paris. Ini akan jadi perjalanan bisnis terakhirku tahun ini. Setidaknya selama dua bulan ke depan aku harus terkungkung dalam rutinitas lain yang mengikatku. Rutinitas yang tidak bisa aku hindari sekalipun hari Minggu atau hari libur tiba.
Tidak ada yang aku rindukan dari Paris selain tempat ini. Tidak naik menara Eiffel bersama dengan ratusan turis lainnya, antri berjam-jam agar bisa masuk ke Louvre, atau melewatkan kesempatan menumpuk utang dengan menggesek kartu kredit tanpa ampun di sepanjang Avenue Montaigne atau Galeries Lafayette, memenuhi koperku dengan koleksi terbaru Fendi atau Givenchy yang harganya hampir setara dengan dua motor keluaran paling gres. Jika ada yang aku bawa dari Paris adalah titipan Keke, sahabatku, yang tidak pernah absen merongrongku dengan pertanyaan tentang kapan aku akan ke Paris lagi. Alasannya? Memaksaku pergi ke 31 Rue Cambon—tempat Coco Chanel membuka butik pertamanya dan juga merupakan flagship store rumah mode tersebut—dan membelikannya satu aksesoris yang sudah dia kirim gambarnya jauh-jauh hari. Jika ingin mengejutkannya, aku biasa membawa satu scarf milik Hèrmes yang dikoleksinya. Untuk Amara ... dia tidak pernah meminta apa-apa selain aku cepat pulang. Namun aku selalu membawakannya satu parfum dari Maître Parfumeur et Gantier meski koleksinya sudah cukup banyak.
Jika benci terdengar terlalu kasar menggambarkan perasaanku setiap mengunjungi Paris, enggan mungkin kata yang tepat untuk setiap kunjunganku ke sini. Hanya ada satu tempat yang membuatku tersenyum jika mendengar kata Paris: Père Lachaise, tempatku berada saat ini.
Pemakaman terbesar di Paris—yang konon menjadi pemakaman paling sering dikunjungi seantero jagad—adalah satu-satunya bagian dari kota mode ini yang sering memanggilku. Menyusuri berbagai bentuk pahatan batu nisan yang tidak hanya cantik, tapi juga menceritakan sejarah panjang yang menjadi bagiannya, selalu berhasil menyusupkan kedamaian yang begitu sulit aku temukan, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di rumahku sendiri. Aku pun tidak pernah membuang waktu dengan mengunjungi makam Jim Morrisson atau Oscar Wilde—dua makam paling populer di Père Lachaise—karena aku tidak punya ikatan batin apa pun dengan karya-karya mereka. Aku lebih suka mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Edith Piaf dan meletakkan buket kecil sambil berulang-ulang membaca tulisan Dieu réunit ceux qui s'aiment yang tertulis di plakat setengah lingkaran di ujung batu nisannya. Tuhan akan mempertemukan kembali mereka yang pernah mencintai ... setidaknya itulah arti yang aku tahu, kalimat yang diambil dari lirik terakhir Hymne A L'amour, lagu yang ditulis Edith Piaf saat Marcel Cedan, pria yang dicintainya, meninggal dalam kecelakaan pesawat dalam penerbangan ke Paris untuk menemuinya.
Namun tujuan utamaku berada di Père Lachaise adalah makam yang sedari tadi menyita pandanganku: Fredric Chopin.
Patung Euterpe yang terbuat dari marmer putih seperti punya magis yang tidak mampu aku tangkis. Menyenandungkan Prelude in E Minor dalam benak—satu-satunya komposisi Chopin yang aku hafal karena tidak pernah ada malam yang terlewat tanpa mendengarkannya—membiarkan mataku terpejam, lantas meliarkan imajinasiku, dan membayangkan riuh saat komposer besar itu dimakamkan tanpa jantungnya di tempat ini. Aku bisa saja bercerita panjang lebar kenapa Chopin minta jantungya diambil dan dibawa ke Polandia, tapi aku sudah terlalu banyak bercerita tentang pemakaman ini dan menunda untuk memberitahukan alasan yang membawaku ke sini pada pukul tujuh pagi di penghujung bulan November.
Dari mana aku harus memulainya? Tentang hujan yang masih belum reda, angin yang berembus menggerakkan ranting hingga menimbulkan derak atau menggugurkan dedaunan dari pohon-pohon besar yang memenuhi tempat berusia lebih dari dua ratus tahun ini, atau tanganku yang mulai terlihat pucat karena menahan kuat-kuat agar payung yang melindungiku dari basah, tidak terbang dan membiarkan dingin di penghujung November membuatku menggigil? Tidak, lebih baik aku mulai dengan memperkenalkan diri.
Namun ... pentingkah menyebutkan namaku? Tidak. Akan lebih baik jika aku tetap tidak bernama. Aku bisa memberitahukan usiaku yang baru melewati angka tiga puluh tepat dua bulan lalu, pekerjaanku di sebuah consulting firm dan selama lebih dari enam tahun, memberikan semua tenaga, dedikasi, dan loyalistasku hingga mencapai posisi yang justru sering dijadikan bahan candaan teman-teman kuliah dan SMA-ku. Posisi yang memungkinkanku sering bepergian—bagian yang tidak pernah gagal menimbulkan kekaguman pada orang lain, tapi tidak henti aku rutuki karena harus menghabiskan waktu di antara bandara dan ruang tunggu—dan berbagai fasilitas lain bersamaan dengan tanggung jawab yang juga semakin besar. Maaf, lagi-lagi aku melantur. Masih perlukah aku jelaskan alasan keberadaanku di Paris?
Aku mengembuskan napas panjang, memindah gagang payung ke tangan kiri agar tangan kananku bisa mendapatkan kesempatan merasakan hangat di balik saku mantelku. Jika tugas membawaku ke tempat yang belum pernah aku kunjungi, pemakaman adalah tempat pertama yang mampu mengalihkan perhatianku dari rapat tanpa henti dengan klien atau kebosanan harus menghabiskan puluhan jam di udara.
Aku tidak tahu apakah banyak orang sepertiku—yang lebih menyukai pergi ke pemakaman daripada ke pusat perbelanjaan atau museum—tetapi berada di antara mereka yang jasadnya mungkin sudah menyatu dengan tanah justru membuat senyumku melebar. Aku menyambut pertemuan dengan setengah jiwa milikku yang sengaja aku kubur begitu Amara menjadi istriku tiga tahun lalu dan kelahiran Anan setahun kemudian.
Sejak saat itu, tiada hari yang aku lewati tanpa bersembunyi di balik tawa, perhatian, sentuhan, serta kasih sayang yang dianggap Amara dan Anan—melalui gelak dan senyumnya setiap melihatku—adalah kewajibanku sebagai suami dan ayah. Aku tidak berhenti membayangkan reaksi Amara jika tahu yang selama ini aku lakukan dalam pernikahan kami sekadar melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Tidak ada cinta yang sesungguhnya atau rasa sayang sepenuh hati. Akankah dia marah dan mengancam akan membawa Anan jauh dariku? Aku pun tidak peduli jika memang itu yang akan dilakukannya.
Jika pemakaman adalah peristirahatan terakhir manusia—kecuali mereka yang minta dikremasi tentu saja—maka bagiku, tempat yang sering dianggap angker ini justru satu-satunya tempat bernostalgia dengan sebagian jiwa yang telah kupendam tanpa nisan. Jiwa yang sengaja aku kubur hidup-hidup setelah Patria meninggal ketika kapal yang ditumpanginya terbalik dan jasadnya tidak ditemukan.
Jiwa yang aku kubur sedalam mungkin saat cinta yang dulu aku agung-agungkan hanya memberikan rentetan kecewa setelahnya. Jadi aku membunuhnya, menimbunnya dengan tumpukan pekerjaan, mengontrol pikiran, hati, dan nafsuku untuk pria lain hingga Amara hadir dalam hidupku. Menikahinya adalah menutup peti matiku, dan kehadiran Anan menguruknya dengan tanah setinggi mungkin hingga jiwaku tak mungkin lagi merangkak naik.
Hanya di tempat seperti Père Lachaise aku bisa mengunjungi jiwaku dan selama dua jam, aku menghabiskan waktu dengan memanggil semua kenangan yang pernah menjadikanku pria paling optimis dengan Patria sebagai bagian dari masa depan. Aku tidak ingin menua bersama pria selain dirinya. Aku menjunjung tinggi konsep happy ending saat masih bersamanya. Semua keruwetan dan perkara hidup pantang membuatku menyerah atau mengeluh karena genggaman tangan dan senyumnya mampu menyingkirkan semua khawatir dan serapah dalam diriku, menjadikanku tetap berdiri tegak, bahkan tak jarang menantang hidup dengan lantang. Tidak ada yang kutakuti dengan Patria di sampingku. Dia tanpa lelah menegurku agar bersikap rendah hati terhadap semesta, atau aku akan menangis, menyurukkan tubuh di ujung kaki takdir, mengemis ampunan.
Dan sebagai pria baik, semesta mengabulkan permintaan Patria. Kematian menjemputnya dengan paksa, bahkan merenggut kesempatanku melihat tubuhnya, mengucapkan selamat tinggal dengan layak, membiarkan air mataku membasahi pipinya, atau menggenggam tangannya yang dingin. Semesta menyebatku dengan cambuknya yang paling utama, memastikan lukanya akan aku bawa hingga waktuku bertemu Patria nanti, menjadikan setiap hari yang aku lewati dengan penyesalan akan kesombonganku terhadap hidup saat kecupannya masih bisa aku minta.
Aku tidak sempat membeli bunga sebelum menaiki metro yang menurunkanku di stasiun di dekat pemakaman, jadi yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah mengulurkan lengan dan menyentuh beberapa karangan bunga yang diletakkan di sana. Ada bendera Polandia, mawar berbagai warna, serta lilin yang diletakkan di dalam tabung kotak. Semuanya diletakkan di sekeliling pagar hitam yang membatasi batu nisannya. Sejak kepergian Patria, aku ingin Prelude in E Minor mengiringiku saat jiwaku yang tersisa bergabung dengan jiwaku yang lain. Namaku memang tidak sebesar Chopin, tetapi aku ingin diiringi musik yang dimainkan saat mereka mengubur salah satu komposer terbesar itu. Patria tidak bisa mendapatkan kesempatan agar komposisi favoritnya dimainkan saat dia menuju peristirahatan terakhir. Aku ... ingin memastikan hal yang sama tidak terjadi padaku. Aku sudah menyebutkan dalam surat wasiatku agar Prelude in E Minor tidak dipisahkan dari prosesi pemakamanku nanti.
Patria, Prelude in E Minor, Père Lachaise, dan Chopin.
Empat hal yang tidak akan pernah mendapatkan serapah atau caci dariku.
Hujan masih turun dengan deras dan dedaunan yang berganti warna tidak lelah berjatuhan dari pohon di sekitarku. Saat menyingsingkan lengan mantel demi melihat arlojiku, setengah jam waktu yang tersisa sebelum aku harus beranjak dari tempat ini dan kembali ke hotel. Kembali menjalani kehidupanku dengan setengah jiwa, membiarkan pekerjaan menjadikanku budaknya, dan menghubungi Amara, mendengar celoteh Anan, melengkapi ritual yang selalu aku lakukan setiap kali berhasil mencuri waktu untuk bertemu dengan jiwaku yang lain.
Jika orang lain tahu tentang kisah hidupku, apa yang kira-kira akan mereka katakan? Bahwa aku sudah kembali ke jalan yang benar, meninggalkan homoseksualitasku dengan menikahi Amara dan menjadi ayah dari Anan? Atau mengasihaniku karena memilih jalan bebas hambatan atas nama karir, penilaian orang lain, keluarga, atau masyarakat dan menjadikan jati diriku sebagai tumbalnya? Atau justru mereka tidak peduli sama sekali, dan malah tertawa, sebelum beralih ke topik pembicaraan yang lain dan menganggap ceritaku tak ubahnya sebagai plot sebuah novel roman picisan?
Jawaban dari semua pertanyaan itu selamanya akan jadi misteri. Aku tidak berniat membiarkan siapa pun mengintip alur hidupku karena tidak ingin pendapat mereka—yang baik maupun buruk—menodai apa yang aku miliki bersama Patria dan segala bentuk kebahagiaan yang dulu menjadi milikku. Jika kepergian Patria adalah cara semesta menghukumku, maka aku berhak menjatuhkan vonis demi memenjarakan sejarah hidupku sampai jasadku terpendam di balik gundukan tanah basah. Biarkan Amara mengingatku sebagai sosok yang selama ini dikenalnya, begitu pun dengan Anan.
Ini adalah jalan yang tidak ingin diambil siapa pun yang punya pikiran waras, tapi kewarasanku sudah pergi bersama Patria. Begitu juga dengan semua kecewa dan marahku, hingga yang tersisa hanyalah apa yang dimiliki Amara, Anan, dan semua yang mengenalku sejak membunuh jiwaku yang lain. Akan jadi munafik jika mengaku seluruh pilihan yang aku injak tidak diikuti bayangan sesal. Namun sesal lebih sering menyeret kecewa bersamanya, sedangkan aku bersumpah tidak ingin merasakannya lagi. Satu-satunya sesal yang sulit aku tepis adalah mewujudkan impian kecilku bersama Patria.
Aku berjalan mundur, dan sekali lagi, memuaskan pandanganku pada setiap sudut batu nisan Fredric Chopin dan sekelilingku, merekam pagi ini dalam memoriku agar bisa memutarnya kembali nanti. Setiap dedaunan yang jatuh atas keinginannya sendiri atau dipaksa oleh angin yang bertiup, setiap tetes air yang membentur payung hitam besar, sepatu bot, ranting pohon dan dengan lantang, mereka menimbulkan riuh, bahkan dingin yang sangat aku benci. Aku memejamkan mata, membasahi tenggorokan, menghidu setiap aroma yang bisa ditangkap oleh indra penciumanku, menajamkan telinga, dan merasakan embusan angin menyentuh pori-pori kulitku.
Dan aku tersenyum.
Karena jiwaku yang lain berhasil meminta Patria datang. Berdiri di sampingku, melebarkan senyumannya, merasakan jemarinya meremas pergelangan tanganku, membelai pipiku dan suaranya ... berbisik di telingaku, mengucapkan terima kasih karena tidak mengusirnya dari hidupku dengan paksa—meski aku mampu dan berhak—dan pesannya agar aku tetap hidup, menunggu maut menjemput karena dia akan selalu menungguku.
Aku mengangguk saat merasakan bibirnya mengecup pipiku.
Saat kembali membuka mata, tidak ada siapa-siapa di sampingku, aku masih sendiri. Namun siapa yang berhak menghakimi bahwa yang baru saja terjadi bukanlah sebuah kenyataan? Yang paling nyata adalah suara yang terus-menerus berseru dalam hatiku, menjadi navigasi yang tidak pernah mengkhianatiku, serta kemunculan Patria dalam pikiranku.
Aku mengembuskan napas panjang, sebelum berbalik dan meninggalkan pusara Chopin. Bergumam pelan akan mengunjunginya lagi jika aku punya kesempatan kembali ke Paris. Menyusuri jalanan berbatu dengan nisan-nisan yang mengiringi ayunan kakiku, batu-batu dingin yang menyimpan sejarah, cerita, rahasia, dan semua hasrat yang mungkin tidak akan pernah diketahui siapa pun kecuali jiwa mereka yang entah sedang ada di mana, sedangkan jasad mereka sudah membaur dengan tanah yang aku pijak, menjadi bagian dari setiap tetumbuhan yang memenuhi Père Lachaise. Suara sepatuku tidak cukup nyaring untuk menyelinap dalam paduan suara alam hingga aku semakin mempercepat langkah.
Aku berhenti, lantas sedikit memiringkan tubuh, menyapa satu keluarga—ayah, ibu, satu putri, dan satu putra yang masing-masing mengenakan mantel berwarna hitam, sang putri membawa satu buket mawar putih—yang berjalan dari arah berlawanan menuju tempat yang baru aku tinggalkan. Dari cara mereka berbicara bahasa Inggris, aku menebak mereka berasal dari daratan Amerika. Sapaan selamat pagi mereka aku balas dengan sebuah anggukan. Pandanganku mengikuti mereka, telingaku menangkap sang ayah menjelaskan singkat tentang Fredric Chopin, dan senyumku belum pudar saat sang putri bertanya tentang siapa yang lebih hebat, Mozart atau Chopin. Aku melanjutkan langkah saat mereka sudah berdiri tepat di depan nisan komposer itu, sementara sang ibu menunjukkan patung Euterpe dan alat musik yang dipegangnya.
Ponselku bergetar saat kakiku mendarat di permukaan salah satu jalan utama—apakah ada pemakaman lain di dunia ini yang memiliki nama jalan?— Père Lachaise, tapi mengabaikannya. Baru setelah mataku bisa menangkap pintu keluar, aku merogoh ponsel dari saku celana dan melihat lampu notifikasinya berkedip.
Amara.
Tanpa menunggu lebih lama, aku menekan tombol call dan dalam dua deringan, suaranya menyapaku. Menggunakan panggilan sayang yang diberikannya sejak kami bertunangan, dia menanyakan Paris, menu sarapanku, dan cerita singkatnya tentang Anan. Aku memilih diam, mendengarkan, sesekali menyahutnya dengan gumaman pelan. Ketika jawaban singkat tidak mampu lagi mewakili pertanyaannya, aku pun mulai membuka mulut.
"Aku sedang menunggu staf kantor di Paris menjemputku, jadi aku—oh, mereka sudah datang. Aku telepon lagi nanti ... Iya, pasti, aku tidak akan lupa ... talk later ... love you too, bye."
Begitu sambungan terputus, aku langsung memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Kebohongan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari hubungan kami, dan keberadaanku di pemakaman terbesar di Paris, sempurna untuk mengutarakan satu dusta kecil yang jarang dicurigainya. Aku masih ingin menikmati Père Lachaise, dan Amara tidak akan pernah aku izinkan menggunakan haknya sebagai istriku untuk memasuki satu ruang yang aku sembunyikan darinya.
Karena selamanya, hanya aku dan Patria yang memiliki ruang itu.
***
(1) Euterpe - salah satu dewi dalam mitologi Yunani yang menjadi lambang musik
(2) Lira - alat musik Yunani Kuno dengan rangka berbentuk U dan berdawai, dianggap sebagai pendahulu biola
***
Ini bentuk eksperimen saya menulis cerpen yang sepenuhnya terdiri dari narasi setelah membaca What Belongs To You milik Garth Greenwell yang isinya narasi semua. Susah memang membuat cerita dengan penuh narasi tanpa tahu apakah pembaca akn bosan atau enggak, tapi sekali lagi, saya bereksperimen, dan berharap eskperimen ini nggak sepenuhnya gagal, hehehe.
Medianya adalah Prelude in E Minor milik Chopin yang saya sebutkan di cerita ini. Idenya sendiri sebenarnya sederhana, saya ingin menulis cerita tentang seorang pria yang berada di pemakaman. Detail lainnya saya dapat setelah menemukan setting ceritanya. Saya sendiri suka banget dengan Père Lachaise, bahkan ngabisin 3 jam di sana buat sekadar lihat-lihat makam yang memang keren-keren. It's like an open gallery. Entah kenapa, pemakaman di Eropa itu punya magis tersendiri, mungkin juga karena sejarahnya.
Anyway, semoga cerita ini bisa sedikit menghibur dan saya sedikit keluar dari tema yang biasa saya tulis. Dan ini cerpen pertama saya setelah lebih dari setengah tahun saya nggak pernah nulis cerpen lagi.
And I hope you had a great Sunday, people!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top