SATU MALAM DI KLOROFIL
Gamma menarik napas dalam sementara pandangannya tidak lepas dari rintik di luar jendela. Saat dia memasuki Klorofil lebih dari sejam lalu, langit serasa menumpahkan seluruh isinya tanpa ampun. Sekarang, yang tersisa hanyalah gerimis. Memangku tangan, Gamma tidak mampu menahan gelengan herannya menyaksikan beberapa gelintir manusia nekat berlari kecil, menembus genangan air hingga memercik dan membasahi sepatu dan pakaian mereka. Apa susahnya membawa payung? tanyanya tanpa mampu bisa mendapatkan jawaban. Mereka akan tetap basah, batinnya. Setelah mendengus pelan, kedua mata Gamma beredar ke atas meja yang sudah menyangga kedua lengannya sejak memasuki Klorofil. Dipandanginya satu cangkir teh hijau, satu piring datar kecil berisi sisa remahan strawberry cheesecake dan blueberry muffin, satu gelas sedang berisi air putih yang isinya sudah tandas setengah, beberapa puluh origami burung bangau, serta tumpukan kertas lipat bermotif, berdesakan menempati permukaan mejanya.
Gamma meraih satu lagi kertas lipat yang masih utuh dan dengan segera, jemarinya mulai terampil membentuk lipatan demi lipatan hingga menjadi satu lagi origami berbentuk burung bangau. Sejak putus dari Raphael sebulan lalu, Gamma berusaha menjadikan Klorofil bagian dari usahanya menyembuhkan luka hati. Di sinilah dia menghabiskan sebagian malam-malamnya sepulang dari kantor. Dia memasuki kafe tidak lebih dari pukul 6 sore begitu jam kerja usai, duduk di meja paling pojok setelah memesan satu cangkir teh—meski jenisnya bervariasi setiap hari—dan dua potong cake yang pertama kali tertangkap penglihatannya, meletakkan tas setelah dirinya duduk, mengeluarkan kertas lipat, dan mulai membuat origami yang sama. Jika meja favoritnya sudah ditempati, Gamma akan mengurangi dua porsi kue yang dipesannya menjadi satu dan hanya membuat 5 buah burung bangau. Origami selalu menjadi guilty pleasure sekaligus pelarian setiap kali dirinya putus cinta. Gamma tidak pernah mampu memberikan jawaban tepat jika ada yang bertanya sejak kapan dia menumpahkan seluruh sakit hatinya dengan melipat kertas. Dia tidak ingin susah payah menggali ingatan dan sejujurnya, tidak peduli dengan kebiasaannya itu. Jika suasana hatinya sedang baik, dia akan membawa origami yang sudah dibuatnya ke apartemen, tetapi tidak jarang, meski hatinya sedang tidak dijejali ingatan akan kisah cintanya yang berakhir, dia membuangnya ke tempat sampah, atau meninggalkannya begitu saja di atas meja. Semuanya tergantung suasana hati yang sedang menyelimutinya saat itu.
Ketika seorang pramusaji datang untuk menarik piring, cangkir kotor, serta menanyakan apakah ada yang ingin dipesannya lagi, Gamma mengangguk.
"Saya mau satu crème brûlée, Mbak."
Setelah pramusaji itu berlalu—membuat mejanya sedikit lebih lapang—Gamma iseng menghitung berapa origami yang suda dibuatnya malam ini. Limabelas. Sebuah tawa sinis keluar dari mulutnya, menyadari apa yang dilakukannya—menghitung origami—sebelum meraih lagi kertas lipat ke-16. Ketika baru melipat kertas menjadi dua bagian secara diagonal, sebuah suara membuat wajahnya menengadah.
"Saya tidak tahu apakah kamu ingin diganggu atau tidak, tapi sudah lima hari saya perhatikan, kamu selalu melakukan hal yang sama. Dan saya sangat khawatir dengan kadar gula yang masuk ke tubuh kamu melalui kue-kue yang kamu pesan. Kamu tidak ingin kena diabetes, kan? Atau jangan-jangan, kamu memang berniat mengakhiri hidup kamu pelan-pelan? What a waste!"
Rentetan kalimat dalam satu tarikan napas itu membuat Gamma menegakkan tubuh. Dipandanginya pria yang berdiri tidak jauh dari mejanya dengan kerutan di kening. Matanya menyelidik, berusaha mengingat wajah pria bertubuh tinggi dengan kamera yang dikalungkan di leher. Namun, ingatannya sedang mogok saat ini. Setelah gagal memanggil memori tentang pria bermabut setengah gondrong ini, Gamma menyerah.
"Apakah kita saling kenal?"
"Belum, tapi saya tidak keberatan memperkenalkan diri." Pria itu kemudian mengulurkan tangannya dibarengi dengan seulas senyum tipis. "Alta."
Tatapan Gamma justru tertumbuk pada pergelangan tangan dan lengan pria itu. Jari-jari tangannya panjang, kokoh—meski sudah saatnya dia memotong kuku, batin Gamma—sedangkan rambut-rambut yang cukup lebat memenuhi lengannya. Ragu menyusupi Gamma, berimpitan dengan pertanyaan yang tanpa henti berkecamuk dalam benaknya. Dengan satu helaan napas—setelah menimbang cukup lama—Gamma menerima uluran tangan itu dan menyebutkan namanya, "Gamma."
"Boleh saya duduk di sini?"
Gamma mengangguk, lantas meneruskan kembali kegiatannya melipat kertas yang sempat tertunda. Pun, saat pramusaji membawakan satu porsi crème brûlée pesanannya, dia sekadar mengucapkan terima kasih dan menelantarkan makanan penutup yang biasanya langsung dia lahap. Minatnya seperti ikut luntur bersamaan dengan rintik yang masih belum saja berhenti.
"Kenapa tidak dimakan?"
"Tanggung," jawab Gamma singkat.
Setelah menyelesaikan dua origami, Gamma dengan enggan menarik ramekin* di hadapannya mendekat. Begitu tangannya memegang sendok, dia mulai memukul pelan permukaan crème brûlée sebelum menyendok dan menyuapkannya ke mulut. Gamma sepertinya lupa, ada pria lain yang duduk di seberangnya, memperhatikan aksinya dengan saksama. Apa yang dilakukannya menimbulkan senyum simpul pada bibir Alta.
"Kenapa tersenyum?" tanyanya sedikit galak saat tiga suapan sudah berpindah ke dalam mulutnya. Dia memergoki Alta menyunggingkan bibir ketika mukanya terangkat.
"Saya hanya tidak bisa menentukan apakah kamu sedang kesal, bosan, atau keduanya. Apakah kehadiran saya mengganggu? Saya bisa pergi kalau memang itu yang kamu inginkan."
Gamma mengedikkan bahu sebelum berujar, "Keduanya. Plus emosi lainnya. Emosi yang cuma bisa kamu rasakan setiap kali kisah cintamu berakhir. Aku yakin kamu pasti tahu apa yang aku maksud."
Gamma sengaja mengalihkan tatapannya dari Alta saat mengutarakan serentetan kalimat itu. Dia sendiri tidak tahu kenapa harus menjelaskan kepada pria yang baru dikenalnya tentang situasi hatinya. Bahkan, belum genap setengah jam mereka bertukar nama. Dengan cepat, Gamma meletakkan sendoknya sebelum kembali meraih satu lagi kertas lipat.
"Keberatan kalau saya ambil foto beberapa origami ini?"
Pertanyaan Alta berhasil membuat Gamma mengangkat wajah. Dia sudah berancang untuk mengeluarkan uneg-uneg yang dipendamnya jika Alta menyambut ucapannya tentang patah hati dengan nasehat atau pertanyaan lain. Ketika yang dimintanya justru izin untuk mengambil foto origami buatannya, Gamma tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
"Pilih sendiri mana yang menurut kamu bagus," jawabnya setelah terdiam sekian detik.
"Terima kasih."
Pandangan Gamma kemudian dipenuhi Alta yang memilih empat origami dengan empat motif kertas lipat yang berbeda—ada tujuh motif kertas origami yang dipakainya—dan memperhatikan pria di hadapannya mengatur dan menatanya sedemikian rupa. Tangan Gamma yang sedang memegang kertas untuk membuat origami ke-18, terdiam begitu menyaksikan Alta membuka lensa kamera. Selama beberapa menit, Gamma terdiam.
Mata Gamma mengamati Alta. Kata tampan sepertinya terlalu berlebihan untuk menggambarkan sosoknya, tetapi menggunakan biasa-biasa saja terdengar sangat merendahkan. Keningnya lebar, rambutnya sedikit panjang, tetapi kulitnya bersih. Tampilan Alta mengingatkan Gamma pada satu vokalis salah satu band terkenal pada dekade 90-an. Di sela-sela pengambilan foto, Alta beberapa kali mengangkat wajah demi menatap Gamma dan tersenyum tipis. Sayangnya, Gamma masih belum mampu membalas aksi Alta dengan senyuman yang sama lebarnya. Setelah cukup lama, Gamma menyaksikan Alta melepaskan kamera yang lumayan besar itu dari lehernya dan meletakkannya di atas meja.
"Kamu berniat membuat seribu origami ini?" tanyanya begitu tatapan mereka kembali bertemu.
"Seribu? Aku tidak pernah menghitung berapa yang sudah aku buat sejak sebulan lalu."
"Pernah mendengar mitos tentang seribu origami?" Anggukan Gamma tidak mampu menahan Alta melanjutkan kalimatnya, "Konon, jika dalam waktu satu tahun kamu berhasil membuat seribu origami seperti ini, maka keinginan kamu akan tercapai. Beberapa kepercayaan di Jepang bahkan mengatakan, bukan hanya satu permintaan yang akan terkabul, tapi kamu akan diberkahi keberuntungan sepanjang hidup."
Gamma jelas pernah mendengar—atau membaca—mitos itu sekilas, tapi untuk percaya? Yang dipercayai Gmma adalah hanya dengan usaha, keinginannya akan terkabul. Baginya, tidak ada bedanya jika dia membuat origami burung bangau atau bentuk lainnya, tujuannya bukan demi mendapatkan keberuntungan seumur hidup, terlebih demi sebuah mitos. Dia menjadikan origami sebagai pelampiasan atas kegagalannya mempertahankan sebuah hubungan. Sebuah terapi.
"Apakah ada jaminan jika aku mampu menyelesaikan seribu origami, kesialanku dalam menjalin hubungan akan hilang?" Begitu menyadari pertanyaannya justru membuat Alta tertegun, Gamma kembali berujar, "Thanks for the info, anyway."
Laki-laki di hadapan Gamma menyandarkan punggung sementara satu origami yang tadi dipotretnya masih dia mainkan di tangan. "Siapa pun yang membuat kamu patah hati, dia adalah orang paling tolol seisi bumi," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan ke arah Gamma.
"Dari mana kamu mendapat kesimpulan itu?"
Alta memainkan bibirnya sebelum mengembuskan napas. "Kebanyakan pria yang patah hati akan pergi ke bar, getting themselves drunk, ada juga yang memilih pergi bersama teman-temannya untuk melihat pertandingan sepak bola, basket ... or whatever sport they're interested at, atau menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Pilihan kamu untuk duduk sendiri di pojok sebuah kafe kecil dan membuat origami jelas bukan pilihan yang biasa." Dengan gerakan pelan, Alta menegakkan kembali tubuhnya dan mencondongkannya sedikit hingga matanya sejajar dengan mata Gamma. "Apa yang kamu lakukan, secara tidak langsung memberitahu saya sedikit tentang kepribadian kamu. That you're one ... may I say, of a kind? Kalau saya menjadi wanita yang menjadi alasan kamu melakukan ini, saya tidak akan pernah berpikir untuk memutuskan hubungan. Saya akan mengusahakan berbagai cara untuk mempertahankan kamu."
"Kenapa?"
Gamma memutuskan untuk mengajukan satu pertanyaan singkat tanpa berniat mengoreksi perkataan Alta—bahwa hubungan romantisnya tidak akan pernah bersinggungan dengan wanita.
"Kenapa apanya?"
"Belum genap satu jam kita berkenalan dan kamu tidak cukup mengenalku untuk bisa mengatakan ingin mempertahankan orang sepertiku. Bagaimana justru aku yang memutuskan hubungan itu?" Gamma menelengkan kepala, berusaha mengamati sisi lain wajah Alta.
"Saya tidak tahu apakah kamu menganggap ini sebagai sebuah seni," ucap Alta seraya mengangkat origami yang ada di tangannya, memastikan pandangan Gamma mengikuti gerakan tangannya, "tapi bagi saya, tidak banyak pria, bahkan wanita, yang mampu menghadapi patah hati setenang kamu dan menyalurkannya menjadi sesuatu seperti ini. In my eyes, this is beautiful, this is art. Berdasarkan pengalaman, pihak yang memutuskan tidak akan pernah memilih duduk seorang diri di sudut kafe setiap malam dan menciptakan sesuatu seindah ini. It's always been the victims." Dengan pelan, Alta meletakkan kembali origami bermotif polkadot itu sebelum melipat lengannya. "Beauty never escapes me, Gamma. Berapa banyak orang yang sedang dikuasi bermacam emosi—yang semuanya negatif, menurut saya—karena hubungannya berakhir tetap bisa melihat keindahan?" Alta menggelengkan kepala. "Not many. Jika patah hati saja mampu membuat kamu menghasilkan sesuatu seperti ini, apa yang bisa kamu berikan ketika hati kamu tidak terluka?"
Berbagai jenis ungkapan dan kalimat—bahkan tuduhan—berkeliaran di benak Gamma. Bagaimana bisa pria yang duduk di depanku ini mampu menganalisisku dengan begitu gampangnya? Hubungannya dengan Raphael memang hanya berlangsung empat bulan, meski tidak ada ragu dalam dirinya bahwa Raphael akan jadi pria yang mampu bertahan dalam kehidupannya dalam jangka waktu lama. Meski tidak sedramatis ketika hubungan dua tahunnya bersama Diran harus menemui kata putus, Gamma tetap merasa terpuruk. Harapannya dikandaskan oleh kenyataan bahwa fondasi hubungan mereka masih terlalu rapuh untuk diuji dengan sekadar tuduhan selingkuh. Tuduhan, yang bertubi-tubi dilontarkannya kepada Raphael hingga kata putus itu akhirnya terucap. Dia bukan pria yang memutuskan, tetapi andilnya begitu besar saat hubungan mereka pupus.
"Pendapat kamu akan berbeda jika melihatku satu bulan lalu."
Sebuah tawa kecil lolos dari bibir Alta. Hampir tanpa suara, tetapi deretan gigi putihnya terlihat jelas. "Apakah kamu ingin meyakinkan diri bahwa emosi kamu sudah stabil sekarang? Karena kalau memang iya, kamu tidak akan menghabiskan waktu duduk di tempat yang sama dan hanya melakukan satu hal, Gamma. Ucapan kamu justru meyakinkan saya, kamu masih berjuang menerima fakta tentang berakhirnya hubungan kamu. I think you're still in the state of denial. Of course, I can be wrong."
"Kamu salah tempat," sergah Gamma. "Seharusnya kamu berada di ruangan ber-AC, dikelilingi perabot mahal, mungkin kursi dari kulit, mendengarkan keluhan pasien yang membuang uang demi mendengarkan ocehan kamu, berharap kamu bisa membantu mereka mencari solusi atas problematik hidup mereka selama satu jam daripada duduk di sini."
"Maksud kamu menjadi psikolog?" tebak Alta begitu Gamma menyelesaikan kalimatnya.
"Kalau memang itu istilah yang cocok."
Alta kembali tertawa, kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya. "Tidak perlu jadi psikolog untuk memahami manusia, Gamma." Pandangan Alta lants beralih ke kameranya sebelum menepuk benda itu pelan. "Saya belajar banyak melalui lensa kamera ini. Bagi sebagian besar orang, fotografi hanyalah berupa hobi, tidak lebih. Parahnya, sebagian besar mereka menganggap apa yang kami lakukan hanyalah mengambil foto. Beberapa menjadikan fotografi sebagai mata pencaharian. Fotografi bagi saya adalah universitas untuk belajar tentang manusia dan alam. Ada terlalu banyak hal di dunia ini yang tidak bisa didapatkan lewat bangku kuliah, sebaik apa pun universitas tempat menimba ilmu."
Gamma menghela napas sebelum melempar pelan satu origami yang baru saja diselesaikannya. Kepalanya menoleh ke jalanan di luar yang sudah terlihat lebih sepi. Dia bahkan tidak menyadari gerimis sudah sepenuhnya berhenti, meninggalkan genangan di beberapa tempat, dan memantulkan cahaya temaram lampu-lampu jalanan yang sudah dihidupkan. Kata hatinya memintanya tetap tinggal, tetapi logika menyuruhnya agar lekas kembali ke apartemen.
"Aku harus pulang. Kecuali kamu tidak keberatan mendengarkan celotehku tentang patah hati, kita bisa melanjutkan obrolan dengan keluar dari sini."
Tawaran itu terlontar begitu saja dari Gamma. Dia bahkan tidak memikirkan konsekuensi yang akan dihadapinya. Semua kekhawatirannya akan orang asing seperti luruh. Namun, ada bagian kecil darinya yang menjerit untuk memperpanjang percakapannya dengan Alta. Penolakan pria itu adalah kemungkinan—yang anehnya—tidak akan dia permasalahkan.
"Tawaran yang tidak bisa saya tolak," jawab Alta sambil kembali tersenyum.
Setelah membersihkan meja serta memasukkan semua origami yang dibuatnya malam ini ke dalam tas, Gamma segera bangkit menuju ke kasir dengan Alta mengekor di belakang.
Begitu keluar dari Klorofil, Gamma tersadar bahwa tinggi tubuh Alta ternyata lebih dari yang dikiranya. Berjalan berdampingan membuat dirinya sedikit canggung karena tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mengalihkan perhatian. Tidak ada kertas lipat yang bisa digunakannya membuat origami atau menyendok porsi crème brûlée sebelum menyuapkannya ke mulut. Salah satu yang bisa dilakukan Gamma adalah menyimpan kedua tangannya di saku celana. Dan itulah yang sepuluh detik lalu dipilihnya.
"Sudah lama kamu menekuni fotografi?" tanya Gamma demi memecah kebekuan.
"Sepuluh tahun, professionally. Namun saya sudah tertarik dengan fotografi sejak berusia 15 tahun."
"Kamu pasti sering bepergian."
Senyum Alta mengembang. "Bagian dari pekerjaan ini yang selalu saya tunggu. Saya bukan orang yang suka disetir oleh pekerjaan atau tenggat waktu. I do what I want to do and if people interested at my work, then they can go to my website and buy the photographs. Saya hanya mengambil pekerjaan kalau memang hati saya mengatakan kesempatan itu akan punya efek bagi kehidupan saya."
"Termasuk jika bayarannya besar?"
"Akan jadi pertimbangan, tapi memuaskan jiwa saya jauh lebih penting daripada mengerjakan sesuatu hanya demi uang."
"Idealis."
Alta tergelak pelan. "Some people think so, but it's their rights to have that view about what I think is right. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengejar materi. Banyak yang tidak bisa terwakili di dunia ini oleh apa pun kecuali melihat, mendengar, atau menciumnya langsung." Dia menatap Gamma sesaat sebelum mengarahkan pandangannya pada jalanan basah di depannya. "Pengalaman seperti itu yang saya kejar dalam hidup."
"Bagaimana dengan cinta? Itu sesuatu yang tidak bisa kamu lihat, dengar, atau cium. Cinta jelas bukan benda."
Ada erangan pelan keluar dari mulut Alta. "Kamu tidak ingin mendengar ceramah saya tentang cinta, Gamma." Dia menghentikan langkah dan menyimpan kedua tangannya di saku jaket kulit cokelat yang dikenakannya. "Saya yakin kamu akan menyetop taksi pertama yang lewat setelah mengatakan harus segera sampai di rumah karena ada laporan dari kantor yang harus kamu kerjakan malam ini. People use that excuse before when I started talking about love. I better save that one, maybe for another time. IF there is another time," tegasnya.
Mereka terus berjalan dalam diam dan ketika sadar ayunan langkah membawa ke dermaga, Gamma berhenti. Kedua tangannya masih tersimpan di saku celana.
"Hubunganku dengan Raphael berakhir karena dia tidak tahan aku menjadikannya nomor dua setelah pekerjaan dan juga ... kecurigaanku bahwa dia berselingkuh. Tidak seharusnya hubungan itu terjadi ketika pekerjaan menuntut perhatianku lebih dari sebelumnya. I should've known how challenging it would be. Emosiku begitu mudah terpancing." Gamma lantas membiarkan pagar pembatas yang masih cukup basah—dan dingin—menjadi tempatnya menumpukan lengan. Seraya menatap deretan kapal-kapal kecil yang sedang bersandar tidak jauh dari tempat mereka, Gamma melanjutkan ceritanya, "Aku masih ingin percaya bahwa semua tuduhan dan pertengkaran kami akan reda, tapi ternyata aku salah besar."
"Raphael, hmm?"
Gamma menunduk untuk menyembunyikan tawa kecilnya. "Kaget mengetahui bahwa seorang prialah yang melepasku, bukan seorang wanita?" ungkapnya sambil menatap Alta.
Tatapan mereka bertemu, dan setelah cukup lama, Alta menggeleng. "Sama sekali tidak. Kita berada di sisi yang sama, Gamma."
"Jangan bilang kamu tahu sewaktu menyapaku di Klorofil tadi."
Alta mengangkat bahu. "Seksualitas seseorang tidak pernah menjadi hal penting bagi saya, Gamma. Satu pelajaran sangat penting yang selalu saya pegang dalam pekerjaan adalah respek. Tempat-tempat yang saya kunjungi beserta orang-orang, latar belakang, dan kebudayaan mereka, menempa toleransi dan rasa hormat saya kepada sesama manusia dan alam. Jika saya bersikeras dengan prinsip saya dan memaksakannya, maka saya kehilangan nilai dari apa yang ingin saya tuju. Perbedaan yang saya saksikan justru melatih tombol toleransi saya secara otomatis. Setiap perlakuan atas seksualitas serta gender yang saya dapatkan dan saksikan membuat saya mampu memahami manusia beserta alasan dibalik sikap mereka terhadap kaum seperti kita."
"Sekarang kamu bicara seperti seorang filsuf."
Deru angin tidak mampu menenggelamkan tawa Alta. "Bukankah kita semua filsuf pada dasarnya? Setiap orang pasti punya pandangan mengenai hidup dan itu menjadikan kita filsuf. At least, in a way."
Gamma menegakkan tubuh. Kalimat yang akan diutarakannya sudah dia pikirkan masak-masak, demi memuaskan rasa ingin tahunya. "Kenapa kamu tadi menghampiriku di Klorofil? Apakah karena aku seorang diri dan gaydar kamu mengatakan bahwa aku mungkin target yang tepat untuk kamu taklukkan?"
Setelah mendengar cerita Alta, pertanyaannya terdengar logis dan sangat wajar.
"Apa yang saya lakukan di Klorofil tadi, murni karena saya ingin mendapat jawaban atas satu pertanyaan: Kenapa pria seperti kamu harus menghabiskan berjam-jam duduk sendirian di pojok, sibuk dengan origami, memesan lebih dari satu makanan penutup, dan terkadang meninggalkan beberapa origami yang dibuatnya di meja, atau bahkan membuangnya ke tempat sampah? Tidak ada keinginan untuk menaklukkan seperti yang kamu katakan, kecuali memang itu yang kamu harapkan." Alta mengikuti kalimat itu dengan sebuah senyum tipis.
Kalimat bantahan sudah hampir diucapkannya, tetapi kelu tiba-tiba menyergap Gamma. Mustahil baginya memungkiri kelebihan Alta yang mampu menebak dengan tepat beberapa hal terlepas dari fakta pertemuan mereka bahkan belum genap berumur dua jam. Bahkan, saat ini, Gamma masih berjuang menemukan kalimat yang harus dia ucapkan demi menanggapi Alta.
"Bagaimana kamu tahu aku membuang beberapa origami ke tempat sampah?" Pertanyaan itu pun terlontas begitu Gamma menyadari Alta menyebut soal tempat sampah.
"Saya memperhatikan kamu selama 5 hari, Gamma. Tidak ada yang terlewat dari pandangan saya, terlebih jika sesuatu itu berupa seni."
"You and your photographic eyes."
Mereka terdiam begitu tawa kecil Alta mereda.
Cepat atau lambat, Gamma sadar harus kembali ke apartemen dan mengakhiri intermesonya malam ini. Tubuhnya lelah, masih ada hari panjang yang harus dihadapinya esok, belum lagi usaha yang masih harus dilanjutkannya demi mengusir Raphael dari hati dan pikirannya. Dengan berat, Gamma mengembuskan napas, berharap dengan melakukannya, semua beban emosinya menguap ditelan malam.
"Kamu harus pulang?"
"Aku perlu istirahat." Gamma memilih kalimat singkat itu daripada penjelasan panjang lebar yang mengisi pikirannya.
"Mungkin kamu harus menyimpan ini." Gamma memandang Alta yang sedang membuka tas yang dia selempangkan dan terkejut saat pria itu mengeluarkan satu map tembus pandang berisi origami burung bangau. "Sudah saatnya kamu percaya pada mitos seribu origami itu, Gamma. Saya mengembalikannya meski kamu sudah membuangnya ke tempat sampah atau sengaja meninggalkannya di Klorofil. Ketika mencapai seribu origami, mungkin kamu bisa memohon supaya hubungan kamu bisa bertahan lama. Dan pria itu memang pantas mendapatkan kesempatan untuk bersama kamu," ujar Alta seraya menyerahkan map itu ke Gamma.
Pandangan Gamma lama terpaku pada map berwarna biru muda itu sebelum mampu berkata, "Kamu bisa menyimpannya."
Alta menggeleng. "Saya tidak bisa dan tidak berhak. Kamu lebih membutuhkan keberuntungan itu daripada saya."
Meski dipenuhi ragu, Gamma akhirnya meraih map itu. "Haruskah aku bilang terima kasih?"
"Hanya jika kamu merasa perlu."
"Terima kasih."
Alta hanya tersenyum dan mengangguk. "It's been a pleasure meeting you, Gamma," ucap Alta sambil mengulurkan tangan.
Now or never, batin Gamma. "Kamu masih berutang penjelasan tentang cinta. Keberatan kalau aku ingin mendengarnya besok pukul 6, di meja dan tempat yang sama? Mungkin aku bisa mengajarimu membuat origami." Gamma sengaja menatap dalam-dalam sepasang mata Alta ketika mengajukan kalimat itu. Dia tidak ingin melewatkan perubahan ekspresi yang ditunjukkan Alta atas tawarannya. "So you can create your own luck," tambahnya saat Alta masih diam.
Alta melebarkan senyum sebelum menarik uluran tangannya. "Kamu akan menemukan saya duduk di meja pojok Klorofil, besok pukul 6."
Untuk pertama kalinya, ada kepastian dalam hidupnya selain pekerjaannya. Meskipun kepastian yang didapatnya akan dipenuhi keraguan. "Kalau begitu, sampai besok, Alta."
Alta tidak menanggapinya dengan sebuah kalimat, melainkan menahan senyum yang masih belum sepenuhnya pudar dari bibirnya.
*Ramekin: pinggan keramik tahan panas berbentuk bulat kecil, biasa dipakai sebagai tempat untuk crème brûlée.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top