LOVEABLE


Dia menatapku.

Seharusnya aku langsung pergi begitu melihatnya masuk. Enam tahun sudah berlalu, tapi aku tidak mungkin lupa. Bagaimana menghapus kenangan akan bocah berusia 23 tahun yang selalu tersenyum setiap kali melihatku? Pun kenapa senyum itu selalu terpasang di wajahnya meski tanpa alasan yang jelas. Tidak peduli berapa banyak pria yang sudah aku temui atau menjalin hubungan denganku, Farhan tidak pernah bisa tersisih.

Aku menundukkan wajah, berharap tatapannya tadi hanya sebuah kilasan hingga aku bisa menyelinap sebelum dia benar-benar menyadari kehadiranku. Enam tahun seharusnya cukup untuk membuatnya lupa tentangku. Dengan semua pencapaian hebatnya, untuk apa dia masih menyimpan kenangan akan pria yang membuatnya patah hati selain rasa marah?

"Pasti mau kabur, ya?"

Senyum tipisku mengembang ketika suara itu akhirnya terdengar jelas di telinga. Ketika akhirnya aku mengangkat wajah, Farhan sudah berdiri di depanku dengan senyum yang masih sama. Tidak ada yang berubah darinya kecuali kedewasaan yang justru membuatnya terlihat semakin memesona.

"Kalau kamu ada di posisiku, wajar kan kalau aku punya niat kayak gitu?"

Dia tertawa kecil. Tawa yang dulu sering membuatku gemas, hingga tidak jarang aku menghujani pipinya dengan kecupan-kecupan kecil sampai dia protes bahwa aku tidak ada bedanya dengan Pierre, puddle milikku yang selalu menyambutnya dengan jilatan setiap kali dia datang ke rumah.

"Apa kabar, Mas Genta?"

Sebuah pertanyaan wajar setelah kami berpisah sekian lama. Namun mendengar dia menyebut namaku, sedikit banyak mengundang kembali sesak yang membuatku sesaat kesulitan bernapas. Menutupinya dengan senyum, aku menjabat tangannya.

"Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?"

"Sibuk."

Aku mengangguk pelan. "Tapi nggak lupa buat sarapan, kan?"

Kali ini tawanya berderai. "Nggak. Aku nggak pernah lupa sarapan."

Satu hal yang membuatnya mengeluh setiap kali aku membangunkannya pukul enam pagi dan memaksanya bangkit dari tempat tidur untuk sarapan. Jika kami sedang berjauhan, aku tidak akan menutup video call sampai melihatnya duduk di meja makan dan menghabiskan makan paginya. Meski untuk itu, aku sering melihat cemberut serta gerutuannya bahwa aku lebih kejam dan tidak berperikepagian daripada Pak Bandi, dosen paling killer di kampusnya. Jika dia menginap di tempatku, aku tidak segan untuk melakukan apa pun sampai dia benar-benar bangun agar mau sarapan, termasuk menuruti keinginannya yang kadang-kadang justru membuatku telat ke kantor atau dia terlambat masuk kelas pagi. Tidak jarang Farhan membuatku tertawa terpingkal-pingkal setiap kali menyebutku 'alarm tanpa fitur snooze.' Muka masamnya itu justru membuatnya semakin menggemaskan. Aku mengulum senyum teringat semua rutinitas pagi yang sekarang hanya menjadi kenangan.

"Lagi ada tugas di Bali?"

Farhan mengangguk. "Biasa sih, Mas. Paling nggak sebulan dua kali aku pasti ke Bali buat meeting. Paling cuma dua-tiga hari, setelah itu balik ke Jakarta atau kalau ada jadwal lain, ke Singapura atau KL. Mas Genta sendiri, ada tugas juga di Bali?"

Aku menggeleng. "Aku tinggal di Bali sekarang."

"Hmmm, gitu ya? Tinggal di Bali tapi nggak pernah ngabarin."

"Aku nggak liat apa pentingnya ngasih tahu kamu setel—"

"I know," potongnya.

Aku hanya mampu menelan ludah. Tidak seharusnya aku mengangkat topik masa lalu dengannya, terlebih lagi aku tidak tahu statusnya saat ini.

"Ini pertama kalinya kamu ke sini?"

"Ke Prenjak maksudnya?"

"Iya."

Farhan mengangguk. "Aku ngecek Instagram abis lunch, eh ternyata Abdul bakal manggung di sini. So here I am. Mas Genta sendiri ke Prenjak jangan-jangan juga karena tahu Abdul & The Coffee Theory bakal main di sini?"

"Aku ke Prenjak setiap hari, Farhan."

Ketika melihat kerutan di keningnya, aku tertawa kecil. Melihat ekspresi bingung di wajahnya adalah satu yang aku rindukan dari Farhan. Dulu aku sering menggodanya kalau dia terlihat lebih tua setiap kali mengerutkan kening seperti itu, yang selalu dibalasnya dengan memutar bola mata sebelum merajuk. Dia tidak suka aku menyinggung masalah usia, karena baginya, itu isu yang super sensitif. Aku biasanya langsung minta maaf, dan seperti tahu bahwa aku akan melakukannya, Farhan justru sengaja merajuk lebih lama sampai aku benar-benar menyesal telah menyinggung masalah usia. Perbedaan 12 tahun memang menjadi momok terbesar dalam empat tahun hubungan kami.

"Kalau tahu Mas Genta yang punya Prenjak, aku pasti ke sini tiap kali ke Bali. Nggak perlu nunggu Abdul manggung."

Tidak heran jika dia bisa mengambil kesimpulan tentang Prenjak tanpa harus aku jelaskan. Fakta bahwa dia masih mampu menebak jalan pikiranku setelah hubungan kami berakhir, membuatku cukup tersanjung.

"Kamu mau ke pantai setelah Abdul manggung?"

"Boleh, Mas."

Setelah itu, aku mempersilakan Farhan untuk duduk dan meminta Janar—barista yang sudah bekerja untukku sejak mendirikan Prenjak—agar menemani Farhan sementara aku sibuk mengecek setiap detail sebelum Abdul & the Coffee Theory tampil. Beberapa kali kami bertukar pandang dan senyum, sebelum Janar kembali membuat perhatian Farhan teralih. Aku dengan sengaja menghindar dari Farhan begitu Abdul & the Coffee Theory menyanyikan lagu pertama.

Begitu sampai di ruangan, aku menyandarkan punggung ke kursi dan teringat satu kalimat yang diucapkan Rick Blaine—karakter yang diperankan Humphrey Bogart—ketika melihat Ilsa Lund, karakter yang diperankan Ingrid Bergman, memasuki kafenya di film Casablanca: "Of all the gin joints, in all towns, in all the world, she walks into mine ...." Namun aku tidak memungkiri percikan rasa senang bisa melihat Farhan lagi.

Aku tidak mampu menahan senyum ketika telingaku menangkap intro Loveable. Meski liriknya terasa begitu ringan, lagu itu tidak pernah gagal mengundang semua kenangan yang aku miliki bersama Farhan.

Meski ku sering mengeluh

Tentang semua tingkah lakumu

Maunya selalu mengatur aku

Tapi kau sangat perhatian

Apa pun yang aku lakukan

Kau ingatkanku jangan lupa makan

Kehadiran Farhan di Prenjak ketika Abdul & The Coffee Theory membawakan lagu itu secara langsung, membuatku bingung menandai perasaan mana yang mewakiliku sekarang. Dulu setiap kali lagu itu diputar atau aku dengan sengaja memutarnya, Farhan akan memandangku dan menggeleng sambil berkata dengan muka cemberut yang dibuat-buat, "Lagu ini tuh Mas Genta banget. Suka bawel sama hal-hal sepele." Namun setiap kali bertanya kenapa dia masih bertahan denganku jika aku sering membuatnya kesal, jawabannya selalu menghangatkan hatiku. "Meski bawelnya ngalah-ngalahin Ibuk, justru itu yang bikin Mas Genta loveable."

Aku memang sering membantu Farhan memadu-padankan pakaian, membuatnya berbaring sementara aku memotong kukunya karena dia selalu menggunakan alasan malas setiap kali aku mengingatkannya, atau mengomel setiap kali dia lupa menggantung kemejanya. Hal-hal kecil yang membuatku sempat kelabakan ketika hubungan kami berakhir karena aku merindukan gerutuannya.

Aku menggeleng pelan sebelum beranjak dari kursi begitu Abdul & The Coffee Theory selesai membawakan enam lagu. Keluar dari ruangan, aku langsung menuju bar untuk menghampiri Farhan, yang terlihat sumringah ketika aku sudah duduk di sebelahnya.

"Mas Genta denger nggak tadi Abdul nyanyi apa aja?"

Aku menggeleng. "Aku sibuk di kantor tadi, jadi nggak denger, tapi tahu set list mereka. Kenapa memangnya?" tanyaku.

"Sengaja minta mereka nyanyi Loveable, ya?"

"Rasanya wajar kan kalau mereka masukin lagu itu ke set list? Itu kan salah satu lagu mereka yang cukup populer."

Aku memang tidak menatap Farhan ketika menjawab pertanyaan itu karena dia akan bisa menangkap bahwa aku tidak sepenuhnya jujur dengan ucapanku. Ketika kami kembali bertatapan, dia hanya memberiku sebuah senyum tipis.

"Kamu mau ke pantai sekarang?"

"Boleh Mas, nanti aku langsung balik aja ke hotel."

Ketika dia berniat membayar minumannya, aku dengan tegas melarangnya. Meskipun dia sedikit memaksa, tetapi akhirnya dia menyerah. Begitu kami keluar dari Prenjak, aku menghampiri motor yang terparkir di tempat khusus karyawan. Tinggal di Bali membuatku cukup tahu untuk tidak memaksakan diri mengendarai mobil. Farhan sempat protes ketika aku memintanya untuk memakai helm, karena menurutnya, jarak pantai dan Prenjak tidak begitu jauh, tetapi aku bersikeras. Entah karena aku yang meminta atau dia sadar tidak akan pernah menang jika berdebat denganku, Farhan kembali menurut.

Kami tidak mengobrol banyak sepanjang perjalanan. Hanya hal-hal ringan tentang Bali. Betapa berkembangnya Bali dalam beberapa tahun terakhir hingga dia sempat mengemukakan sedikit kekhawatirannya kalau Bali akan kehilangan pesona karena terlalu sibuk berbenah demi menyenangkan turis, tetapi lupa mempertahankan apa yang membuat turis-turis itu datang ke Bali. Begitu kami sampai di Batu Belig—aku memang sengaja memilih pantai itu karena tahu kami akan bicara banyak dan membutuhkan tempat yang tidak begitu ramai—Farhan turun dan langsung melepas sandal dan meletakannya di dekat motor. Aku hanya bisa tertawa kecil saat melakukan hal yang sama.

"Harusnya tadi kita berhenti sebentar di Circle K, Mas. Beli minum."

"Selalu lupa bawa botol air minum," balasku sambil berdecak, yang diikuti oleh derai tawanya.

"Ya kali mau ke kafe bawa botol minum, Mas. Aku nggak pernah lupa kok, sampai sering dikira anak kecil karena selalu bawa botol air minum."

Aku kemudian mengambil botol air minum yang memang selalu aku letakkan di motor sebelum menyerahkannya ke Farhan.

"Mungkin kamu harus ceramahin mereka soal sampah plastik kalau ada yang masih menganggap kamu anak kecil karena membawa botol minum sendiri."

Farhan tersenyum sebelum menerima botol yang aku ulurkan sebelum menegak sedikit isinya yang tinggal separuh itu. "Makasih, Mas," ucapnya sambil menyerahkan kembali botol itu kepadaku. Aku tidak mengembalikannya ke motor untuk jaga-jaga kalau Farhan haus lagi nanti.

"Kamu nggak pernah ke sini malem-malem, kan?"

Farhan menggeleng. "Bisa sendirian di pantai sambil liat sunset aja udah untung, Mas, boro-boro dateng ke sini malem-malem. Dua atau tiga hari yang aku habiskan di Bali selalu padat. Everything is scheduled dan jam-jam segini selalu ada gala dinner. Kalaupun punya waktu kosong, biasanya aku pakai buat ke spa. Just to relax myself."

"Padahal dulu juga kalau ada waktu kosong maunya pergi ke bioskop. Udah nggak level ya sekarang pergi ke bioskop?" godaku.

Farhan lagi-lagi tergelak. "Mas Genta udah ah ngeledekinnya."

"Tapi kalau semuanya udah diatur, kenapa kamu malah ke Prenjak? Nggak akan ada yang nyari kalau kamu kabur?"

"Sengaja bilang ke sekretarisku tadi supaya ngosongin jadwal buat malam ini. Demi nonton Abdul," jawabnya sambil nyengir.

"I was right, Farhan."

Farhan hanya menatapku setelah kami berdua berjalan cukup jauh dari parkiran motor dan mulai menyusuri pantai meskipun cukup gelap. Hanya lampu dari beberapa hotel yang masih bisa memberi sedikit cahaya hingga kami tidak perlu khawatir akan tersesat, lagipula aku mengenal tempat ini dengan cukup baik.

"Benar soal apa, Mas?"

"Kalau kamu akan jadi orang hebat."

Aku melihat Farhan memasukkan kedua tangan ke saku celana. Gemuruh ombak tidak cukup keras untuk menenggelamkan helaan napasnya. Cepat atau lambat, kami akan sampai pada pembicaraan ini, tidak peduli jika enam tahun lalu tiada hari yang kami habiskan tanpa pertengkaran karena membahas hal yang sama. Namun Farhan bukan lagi pria yang baru lulus kuliah dan bimbang menentukan masa depan atau berjuang dengan uang pas-pasan. Aku berharap sekarang dia bisa memahami kenapa aku bersikeras untuk mengakhiri hubungan kami saat itu.

"Mas Genta masih belum berubah ya ternyata? Masih berpendapat kalau keputusan kita buat putus adalah keputusan terbaik dengan alasan yang sama."

"Bukankah memang itu keputusan terbaik buat kita?"

"Selama enam tahun, aku selalu pengen tahu alasan lain kenapa Mas Genta ngotot banget supaya kita putus padahal nggak pernah ada masalah serius selama empat tahun kita pacaran. Rasanya, aku ngebuang enam tahun dengan sia-sia karena alasan Mas Genta sepertinya masih sama."

"Apakah kamu pernah berpikir, misalnya kita masih jalan, kamu akan pergi ke Berlin buat ngelanjutin kuliah? Kamu udah jadi pria sukses sekarang, Farhan, dan itu yang aku inginkan dari kamu."

"Mas Genta nggak berpikir kalau kita bisa bertahan dengan hubungan jarak jauh? Atau Mas Genta terlalu takut aku nggak akan bisa jadi orang sukses kalau kita masih pacaran?"

"Aku nggak mau kamu fokus ke hal selain pendidikan dan mimpi kamu, Farhan. Hubungan kita, cepat atau lambat bisa jadi hal yang mengganggu kamu. It was the least thing I want."

"Buatku, Mas Genta justru besikap egois dan skeptis dengan nggak ngasih kita kesempatan buat mencoba. It could have worked."

"Or it could have runined your future," potongku.

Farhan diam.

Dalam sekejap, kami berdua seperti dilempar ke masa di mana kami berdebat tanpa henti ketika aku mengatakan ingin hubungan kami berakhir, setelah mengetahui dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 di Berlin. Jika bisa mengulang kembali, aku tidak akan mengubah sedikit pun keputusanku. Melepas Farhan dan mengakhiri hubungan kami memang bukan perkara mudah, tetapi 12 tahun perbedaan di antara kami mengajariku cukup banyak tentang apa yang belum diketahuinya saat itu. Termasuk kesempatan yang baru saja disebutkannya. Kesempatan untuk tetap menjalani hubungan meski kami terpisah jarak dan zona waktu.

"It wasn't easy for me, Farhan. Aku nggak mau ada yang membebani kamu ketika meninggalkan Indonesia. Kamu bisa mulai semuanya dari nol di Berlin. Fokus ke kuliah, nyusun mimpi dan kehidupan kamu, mungkin ketemu pria Jerman yang jauh lebih tampan, menarik, dan bisa kamu peluk atau cium. Seseorang yang ada di sana, bukan pria yang berada ribuan kilometer jauhnya. Aku tahu kamu nggak akan bisa bertahan dengan LDR. Ingat berapa kali kamu selalu keberatan setiap aku harus pergi untuk urusan kerja, bahkan hanya untuk tiga hari? Bagaimana kamu bisa bertahan selama berbulan-bulan, bahkan mungkin satu tahun tanpa bisa bertemu denganku?"

"Paling nggak, kita bisa mencobanya, Mas."

"Apa yang akan kamu lakukan kalau kita mencobanya dan gagal?" Farhan diam. "Then we will break up, things will get ugly, we will start blaming each other ...." Mengingat kembali semua yang terjadi di antara kami bukanlah sesuatu yang menyenangkan. "Kamu nggak boleh ngalamin semua itu, Farhan, itu janji yang aku bilang ke diri sendiri. Kalau hubungan kita atau aku sampai jadi penyebab kamu nggak bisa ngeraih mimpi yang selalu kamu ceritakan itu, aku nggak akan pernah bisa maafin diriku sendiri. See how it turned out? You've become someone you always wanted to be and it makes me happy seeing you achieved your dreams."

"Mas Genta nggak tahu apa yang terjadi sesudah kita putus."

"Kita sama-sama nggak tahu, Farhan. But we moved on, didn't we? We went on with life and now, nothing of it matters anymore because it has become a past for us."

Sejujurnya, aku tahu banyak tentang Farhan setelah kami putus. Aku selalu berusaha mendapatkan kabar terbaru tentangnya melalui beberapa teman. Aku tidak tahu apakah Farhan melakukan hal yang sama, tetapi pria mana pun tidak akan cukup bodoh untuk tetap mencari tahu tentang seseorang yang sudah melukai hatinya kan?

"Kamu masih ingin kita bicara tentang masa lalu?"

Aku sengaja mengajukan pertanyaan itu karena ini bisa jadi pertemuan terakhir kami. Atau kalaupun tidak, aku ingin menuntaskan apa yang masih mengganjal di hatinya selesai malam ini. Aku tidak mau kami masih membahas tentang apa yang bisa dan mungkin terjadi jika kami bertemu lagi. It will do us no good.

"Nggak ada gunanya kan, Mas? Kalaupun kita bicara semalaman, semuanya udah kejadian dan kita nggak bisa ngerubah itu semua. Mas Genta benar. We moved on and none of it matters anymore."

Aku sadar, masih ada yang ingin dibahasnya tentang keputusanku melepas hubungan kami. Namun apa gunanya?

Lenganku terulur sebelum mendarat di pundaknya. Aku meremasnya pelan. "Apakah kamu langsung kembali ke Indonesia begitu selesai S2?"

Farhan menggeleng. "Aku sempet di Jerman setahun, kemudian ke Sydney dua tahun sebelum balik ke Indonesia, Mas. Lumayan buat ngisi CV kalau punya pengalaman di luar."

"Ada rencana buat ninggalin Indonesia dan menetap di Eropa?"

Farhan tertawa mendengarku menanyakan itu. "Mas Genta sebenernya mau nanya apa sih? Tumben muter-muter kayak gitu."

"Siapa yang muter-muter? Aku memang pengen tahu, kok," jawabku di sela senyum yang aku kulum.

"Kontrakku masih sampai tahun depan, Mas. Setelah itu aku nggak tahu. Kalau memang ada tawaran di Eropa, kenapa nggak?"

"Asal jangan lupa sama kencur dan jeruk nipis kalau kamu batuk."

Kali ini, kami berdua tertawa. "Gara-gara Mas Genta sering buatin ramuan itu dulu, aku selalu sedia kencur sama jeruk nipis tiap kali musim gugur tiba. Untung Berlin kota gede, jadi nggak begitu susah buat nyari kencur."

Setiap kali Farhan batuk atau tenggorokannya terasa gatal, aku memang selalu membuatkannya ramuan kencur dan jeruk nipis. Memarut kencur sebelum mengambil sarinya, yang kemudian aku campur dengan perasan air jeruk nipis ditambah sedikit garam memang terasa asam. Farhan bahkan harus menutup hidung setiap kali aku memaksanya minum jika dia sudah mulai batuk. Dia terbiasa dengan ramuan itu hingga beberapa kali aku harus menyiapkannya di kulkas jika melihat dia mulai sedikit batuk tetapi aku harus pergi untuk urusan pekerjaan. Sifat manjanya yang enggan untuk mengupas kencur dan memarutnya aku harap sudah tidak ada lagi begitu dia meninggalkan Indonesia.

"Kamu nggak keberatan buat marut kencur?"

"Siapa lagi yang mau marutin kalau bukan aku sendiri, Mas?"

"Ya siapa tahu cowok kamu bersedia."

"Mereka justru bilang aneh setiap kali aku batuk dan bikin ramuan itu."

"Ngomong-ngomong soal cowok, kamu lagi sama seseorang?"

"Ha! Jadi itu yang pengen Mas Genta tahu?"

Aku tertawa. "Don't take it the wrong way, tapi wajar kalau aku nanya itu, kan?"

"None taken, Mas. Aku dan Gustaf udah dua tahun jalan."

"I'm glad to hear that. I bet he's a German?"

"Mas Genta nggak ada masalah sama orang Jerman, kan? Kok nadanya gitu banget."

Aku tahu Farhan tidak berniat menuduhku dengan kalimat itu. Aku kembali tergelak sebelum membalas kalimatnya. "Asal dia memperlakukan kamu dengan baik dan bisa ngertiin kamu, aku sama sekali nggak ada masalah sama pria mana pun yang jadi cowok kamu."

"Kalau aku bisa bertahan dua tahun sama dia, paling nggak, dia cukup sabar buat ngadepin mood-ku yang selalu berubah-ubah itu. Sebenernya dia minta aku buat menetap di Jerman setelah kontrak ini selesai, tapi aku belum tahu, Mas. Dia sendiri juga nggak maksa."

"Terus, hubungan kalian sekarang seperti apa memangnya?"

"Dia tinggal di Jakarta dan kami tinggal bareng, cuma kayaknya dia udah pengen balik ke Jerman. Mas Genta sendiri gimana? Udah punya gandengan?"

"Mau tahu atau mau tahu banget?"

"Nggak asik ah kalau aku dikasih pilihan kayak gitu semntara tadi aku langsung ngasih tahu soal Gustaf."

"We're not official, but I'm seeing someone at the moment."

"Aku bisa ngajak Gustaf next time dan kita bisa double date. Aku selalu pengen tahu gimana rasanya."

"Doain aja aku sama Sam bisa jadi. Kalau nggak ya ... nggak akan bisa double date."

Sam? Dari mana aku mendapatkan nama itu?

"Kalau sampai si Sam ini ngelepasin Mas Genta, suruh dia telepon aku, ya? Biar aku ceramahin kalau dia ngelewatin kesempatan buat pacaran sama satu pria paling luar biasa yang pernah aku kenal."

Aku diam sambil menggigit bibir bawahku. Jika Farhan bisa melihatku dengan jelas saat ini, dia pasti tahu ada yang aku sembunyikan darinya. He's always been that mind reader type of guy. Dia akan mendesakku untuk cerita lebih banyak tentang Sam dan ujung-ujungnya, dia akan tahu kalau Sam hanyalah nama yang muncul di kepalaku ketika dia bertanya apakah ada pria lain yang sedang dekat denganku sekarang.

The truth is, there is no Sam because I'm not seeing anyone at the moment.

"Thank you but no thanks, Farhan," gurauku. "Rasa-rasanya kamu berlebihan kalau nyebut aku pria paling luar biasa. Kamu pria luar biasa itu. Gustaf is a lucky one."

"Mas Genta masih aja nggak bisa ya nerima pujian?"

"Apa yang kamu bilang itu memangnya masuk pujian, ya? What have I done to deserve that compliment?"

Kali ini, langkah kami terhenti. Meski tidak berjalan jauh dari tempatku memarkir motor, tetapi kami sudah menuju tempat yang cukup gelap hingga aku tidak bisa lagi melihat ekspresi wajah Farhan dengan jelas.

"Mas Genta ngelepasin aku karena percaya aku bisa jadi seseorang yang hebat, istilah yang ... aku nggak terlalu suka karena apa yang aku jalani sekarang bukanlah usaha untuk mendamaikan dunia atau semacamnya. Apa yang Mas Genta lakuin, mutusin hubungan kita dulu mungkin punya pengaruh, mungkin juga nggak, but things could have ended differently. Aku nggak bilang Mas Genta bertanggung jawab atas apa yang aku punya karena aku kerja keras untuk sampai di posisiku sekarang. Mungkin aku masih nggak sepenuhnya ngerti alasan kenapa kita harus putus tanpa mencobanya lebih dulu, tapi Mas Genta udah ngajarin aku tentang manusia yang punya pilihan. And you chose to let me go."

Aku hanya mampu menundukkan wajah mendengar Farhan mengucapkan kalimat itu.

"Aku ngerasa udah ngambil keputusan yang tepat."

"Mungkin. Nggak ada yang sepenuhnya benar atau salah di dunia ini kecuali yang berhubungan dengan angka, Mas. Semuanya relatif dan subjektif."

Aku diam. Kamu benar, Farhan, semuanya relatif dan subjektif, apalagi yang berhubungan dengan hati.

Tanpa sadar, kami sudah sampai di area yang cukup gelap hingga aku kemudian menghentikan langkah.

"Kayaknya kita harus balik, daerah sini udah mulai gelap dan aku nggak mau ngambil risiko," usulku sambil membalikkan tubuh untuk berjalan kembali ke tempat aku memarkir motor.

"Mas Genta sering ke sini?"

"Nggak sering, tapi cukup hafal area ini. Aku nggak keberatan jalan sampai ke Echo beach kalau masih terang. Mungkin lain kali."

Kami kemudian berjalan dalam diam hingga akhirnya sampai di tempat aku memarkir motor. Ketika berusaha membersihkan telapak kakiku dari pasir sebelum kembali mengenakan sandal, Farhan membuatku mengangkat wajah ketika dia memanggilku.

"Kenapa? Kamu haus lagi?"

Farhan menggeleng. Namun ketika aku sudah tegak berdiri dan mengenakan sandal, tiba-tiba Farhan memelukku. Aku yang tidak siap dengan aksi spontannya itu, hampir kehilangan keseimbangan sebelum lenganku bersandar pada jok motor. Perlahan aku menyeimbangkan tubuh dan perasaan sebelum membalas pelukannya.

"Kamu kenapa?"

"I guess I just miss this," bisiknya di telingaku.

Aku menelan ludah. Ada bimbang karena jemariku gatal untuk mengukur pelan punggungnya, seperti yang sering aku lakukan dulu. Namun aku memutuskan uantuk menahannya. "Kamu bisa minta baik-baik. Aksi spontan kamu tadi hampir bikin kita jatuh dan motorku ambruk."

Ada tawa kecil keluar dari mulut Farhan dan aku berusaha mengambil sebanyak mungkin oksigen untuk mengisi paru-paruku sebelum memejamkan mata sesaat. Hilang sudah pertahananku untuk tidak memutar begitu banyak momen seperti ini dalam empat tahun hubungan kami. Benarkah sudah 10 tahun lalu aku mengenal pria ini? Farhan bukan lagi pria yang baru memasuki bangku kuliah dengan semua keluguan dan sifat manjanya. Pria itu justru mengecap pengalaman hidup yang lebih luar biasa daripada aku.

Sekalipun ingin menahannya dalam pelukanku lebih lama, logika segera mengambil alih hingga aku kemudian melepaskan pelukan kami setelah menepuk punggungnya pelan. Aku tidak ingin terbawa nostalgia yang mungkin akan membuatku melakukan sesuatu yang aku sesali. Dia sudah menjadi milik pria lain sekarang. Jika dulu aku bahkan rela menyakiti kami berdua dengan masa depannya yang selalu aku jadikan alasan, seberapa sulit melepas sebuah pelukan dan kenangan yang berkecamuk dalam diriku saat ini?

Ketika tatapan kami bertemu, aku tersenyum. Dengan pelan, aku menepuk kedua pipinya.

"Aku bangga sama kamu, Farhan. I really do."

Farhan hanya mampu menundukkan wajah sebelum kembali menatapku. Mulutnya sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu, tetapi sebuah dering ponsel membuatnya membatalkan apa pun yang ingin dikatakannya. Aku tertawa kecil ketika melihat senyumnya melebar.

"Kayaknya aku harus ngnterin kamu ke hotel."

Farhan menggeleng. "Ini bukan dari kantor, Mas."

"Gustaf?"

Farhan mengangguk tersipu sebelum wajahnya terangkat untuk memberiku senyumnya. "Sebentar ya, Mas? Dia bisa khawatir kalau aku nggak ngangkat telepon dia."

"Go ahead."

Ketika Farhan menjauh untuk mengangkat telepon dari Gustaf, aku mengenakan helm dan naik ke motor. Menghela napas, aku memandang punggung pria yang pernah menyebutku sebagai pria loveable itu dan tersenyum. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesali keputusanku untuk melepas Farhan dulu, jawabanku adalah sebuah gelengan mantap. Sometimes you have to let go of someone because you love that person so much, that it hurts even more not to let go.

***

So, this is going to be the last post for 2016 :)

Terima kasih semuanya buat 2016! You all made me a happy author! Selain akhirnya nembus 2000 follower (iya, penting banget disebutin karena tahun kemarin aja nggak nyampe 700) beberapa cerita saya juga berhasil masuk Top 50 atau Top 100, terutama di General Fiction. Meski kayaknya cuma hal kecildan sepele, buat saya itu berarti banget. Thank you so much for the support, comments, votes, and everything else :) Semoga saya ngasih bacaan yang cukup menghibur (ya mungkin buat kalian bukan menghibur tapi bikin baper ya? Hahahaha) Semoga tahun depan saya bisa ngasih bacaan yang lebih baik lagi dan semoga tulisan saya juga makin baik lagi.

Seperti kalian tahu, akan ada buku ke-2 dari Ketika Langit Berganti, tapi akan langsung saya bukukan. Mungkin akan saya kasih preview satu chapter, tapi itu nanti lah ya, ditulis aja belum. But, kalian bisa pegang janji saya kok. It's positive, there will be the sequel to Glenn's story. Kalau semuanya lancar, mungkin pertengahan tahun depan udah jadi. 

Apalagi ya? Happy holidays buat kalian semua! Semoga tahun 2016 ini ngasih kalian banyak kebahagiaan dan berkah, kalaupun nggak, don't ever give up! Life won't always be miserable kok :) Let's rock 2017! Saya sendiri udah nggak sabar buat nyambut 2017 karena ada rencana-rencana yang saya udah susun. Buat yang masih jomblo di 2016 kayak saya, mari berharap tahun depan kita semua dikasih kesempatan buat ngerasain indahnya dicintai atau jatuh cinta ya? Saya sendiri udah pengen punya pasangan lagi #ups :D :D :D

Anyway, stay safe during holiday, and I hope 2017 will be a great year for all of us!

Ini quote favorit saya tiap New Year and I'd like to share it with all of you:

See you all in 2017! :*


Simbalaie,

Abiyasha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top