6 | Crystal

WAFI terkurung dalam pernikahan paksa.

Baru kemarin ia bertemu Rika. Kini ia menjadi sapi perah yang memberikan keturunan demi Surga. Sekarang Minggu pagi yang ramai, dan cincin perak telah melingkari jari manis sebelah kiri. Menandakan Wafi bukan seorang pemuda lajang lagi, melainkan bapak-bapak yang harus memikirkan tanggungan istri.

Wafi pergi ke kamar tidur, dan terduduk di dipan kayu yang atapnya sudah dihiasi oleh renda. Di atas seprei putih tulang, sudah disiapkan sepasang bantal dan guling merah muda dengan taburan kelopak mawar. Bau lilin beraroma melati meliputi ruangan 3 x 4 meter yang hanya bisa menampung kasur berukuran queen dan sebuah lemari berkaca.

Wafi mengerling ujung kaki yang berselonjor di atas kasur. Ia mengenakan setelan jas hitam dan kemeja putih, beserta dasi kupu-kupu merah. Ia menegangkan rahang, tak henti-hentinya mengutuk nasib diri sendiri:

Aku masih berutang banyak pada Khrisna dan kakeknya yang telah menyelamatkanku dua kali. Aku juga belum tahu apakah kedua orang tuaku sudah tewas dari gempa bumi dan menanggung kesialan yang ditimpakan kepadaku. Namun, kini aku terlilit utang mas kawin pada bapak Rika 40 juta dan aku harus memikirkan pemasukan untuk perutku dan perut Rika, belum lagi kami harus segera memiliki momongan.

Oh, Tuhan. Dari mana aku harus mencari penghidupan?

Pintu kamar di sebelah kiri sontak terbuka. Rika melepas resleting gaun merah muda. Ia buru-buru menendang pintu kamar dengan membelakangi. Ia tertawa. Wafi murung seperti banyak beban pikiran.

"Mas Wafi, tolong bantu buka." Rika menunjuk resleting di punggung. "Kenapa murung dari tadi, Mas? Pasti mikir duit, ya? Bingung cara melunasi utang Bapak?"

Wafi tersenyum kecut. Ia menggeleng dan mengunci bibir. Tanpa bertanya pun, semua orang sudah tahu jawabannya, iya. Karena itu, Wafi lebih memilih berdiri dari ranjang, lalu membantu Rika melepaskan resleting (meskipun masih malu-malu).

Rika mengikik. "Tidak perlu tegang, Mas, membuka resleting istri sendiri. Nah, aku bisa merasakan ada yang tegang di belakangku."

Wajah Wafi memerah. Ia menundukkan kepala dan tak berani menatap mata Rika yang mengerling. Wafi berusaha fokus selama melepaskan resleting yang menampakkan kaos singlet merah muda. Di sisi lain, Wafi juga membayangkan trauma Rika ketika mengenakan gaun merah muda berumbai ini. Ia gunakan dulu semasa hari kelulusan zaman SMP, dan mendapati kekecewaan terhadap sang bapak.

"Sudah." Wafi menggelegak ludah.

Gaun yang mengubah Rika layaknya Cinderella, kini terjatuh di lantai. Rika menggunakan singlet merah muda pastel dan celana pendek sewarna. Setelah itu, Rika melirik Wafi seraya melepas kerudung segitiga dari peniti dan jarum pentul.

Hingga pada detik itu, Wafi baru pertama kali melihat rambut Rika. Setiap helai hitam lurus sebahu dan menguarkan aroma melati. Ditali menjadi satu ke belakang layaknya ekor kuda, mengundang Wafi untuk meneteskan liur sebab memandangi tengkuk indah seorang gadis manis, apalagi istri sendiri. Jika diibaratkan, Rika tanpa kerudung seperti pinang dibelah dua dengan idol yang terkenal 20 tahun lalu bernama Jihyo, Twice. Rika benar-benar cantik dan bertubuh molek.

"Sekarang aku gantian melepaskan setelan milik Mas Wafi." Rika mengalungkan lengan ke belakang leher suami.

Ia melepaskan dasi kupu-kupu merah, dan mencopot kancing jas. Tak berhenti di situ, ia juga melepas kemeja putih sampai bertelanjang dada. Menampakkan tubuh putih keras nan bidang. Wafi sekejap mencegah. Tato Penjaga Neraka dan angka 1 mengkhawatirkan. Meski begitu, Rika menenangkannya. Tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan selain mereka berdua.

"Aku akan membantumu, Mas Wafi." Rika mendekap tubuh Wafi dengan erat, dan sontak Wafi gemetar.

Rika membenamkan wajah di dada Wafi yang keras. Ia tersenyum dan napas mengelus-elus kulit mulus. Aura nyaman menguar dari hati gadis 17 tahun itu. Ia benar-benar merindukan pelukan seperti ini, dari sang bapak yang telah membuatnya jijik.

Karena itu, hati Wafi luluh, lalu tersenyum iba. Ia memeluk lembut Rika dan mengelus-elus kepalanya. Bahkan secara tak sadar, ia mengecup dahi sang istri seperti ingin menenangkan, lalu sekejap semua masalah hilang. Hanya terisi tentang Rika.

"Mas Wafi, aku menyukaimu." Rika mendayu-dayu. "Cium aku, Mas."

Wafi ragu. "Aku ... juga menyukaimu." Bagaimana mungkin aku memiliki rasa pada gadis yang baru kukenal selama sehari?

Rika mabuk cinta. Ia mencengkeram kedua bahu Wafi dengan manja. "Mas Wafi, ayo kita selesaikan kewajiban kita."

Wafi mengangguk, dan membalas tatapan Rika dengan sorot teduh. Ia meraba pipi dan tengkuk Rika. Jempol membuka bibir mungil sang istri. Kedua mata perlahan memejam seiring bibir mendekat. Wafi secara tak sadar sudah membuat Rika menggilainya, sampai ia tidak bisa berhenti berucap:

"Aku menyukaimu, Mas Wafi."

Keduanya berciuman mesra.

Tenggelam dalam cinta. Rika senang bisa merasakan bibir merah muda dan lembut serta manis. Mencintai lelaki yang sangat jauh dari kata berandal sangat nikmat. Ia suka sensasi mint dan permen kapas di mulutnya, terutama berewok tipis di dagu yang menggelitik mulut. Hingga tak sadar, Rika menaiki tubuh Wafi sampai terduduk. Di samping ranjang, bercumbu di atas pangkuan.

Ada yang aneh dengan tubuh Wafi. Ini bukan ciuman pertamaku, tetapi bagaimana bisa sekujur badan gemetar dan tegang? Apakah ini yang namanya ciuman pertama? Sensasi gatal merambat di sekujur pembuluh darah. Seisi perut gatal seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan. Tubuh tegang dan melayang di surga. Namun—!

Wafi tak sadar ada sesuatu yang hendak keluar.

Benih-benih kristal merah muda sontak tumbuh, bergemeretak dari dalam tanah tak terkontrol. Seiring hasrat Wafi bercumbu dengan Rika, kristal tajam nan keras bergulung-gulung menggetarkan rumah. Hingga di puncaknya, ketika Rika menggigit lidah Wafi.

Gundukan kristal raksasa setinggi 10 meter mencuat ke angkasa, merobohkan rumah Rika berkeping-keping.

Rika melepas ciuman, dan mendorong Wafi. Ia mengais kembali kerudung segitiga dan membebatnya. Setelah itu, ia mengenakan jas dan kemeja Wafi sebagai pakaian. Bagaimana tidak, kini tidak ada dinding penghalang yang menutupi aurat mereka dari mata khalayak ramai. Hingga Wafi tersadar:

Semua orang terkesiap setelah membaca tato Penjaga Neraka di punggung.

Ini semua salah Wafi, seorang Penjaga Neraka! Semua orang berpikiran sama. Memandang Wafi jijik dan ingin meludahi. Bahkan, sepasang pria sudah mengambil bata untuk menyambit. Tak tertinggal, bapak Rika meronta-ronta mendatangi Wafi. Dia tak terima rumahnya hancur. Beruntung di sana ada Pak Goldy dan ajudan, yang belum pulang setelah menjadi saksi pernikahan Wafi dan Rika.

Ajudan yang tinggi besar hampir sama besarnya dengan Iblis, menahan Pak Imron. Pak Goldy mendatangi Wafi. Ia merangsek lincah melalui kristal merah muda yang berpusat padanya. Wajah tenang, berbeda dengan Pak Imron dan para penduduk Distrik Selatan yang murka. Mengetahui Penjaga Neraka seperti Wafi menghancurkan rumah.

"Ini semua di luar dugaan. Semua orang tahu." Pak Goldy menepuk punggung Wafi. "Memang seharusnya kau ikut kami, Wafi."

Wafi menunduk dan menggelengkan kepala. Ia tak bisa menatap Pak Goldy, yang merupakan seorang tentara. Ia pasti akan menebas kepalaku ketika menatap matanya.

"Tegakkan kepalamu dan tatap aku!" Pak Goldy memegang pundak Wafi.

Suaranya tegas dan mengancam. Wafi menyerahkan takdir dan menegakkan kepala. Ia mengerling sosok Pak Goldy sedekat dua jengkal.

Pak Goldy pria yang tampan. Ia berusia di akhir 29 tahun, tetapi tak kentara sama sekali. Kulitnya putih mulus tanpa ada kumis dan cambang. Rambut sepanjang punggung dan dikuncir kuda. Seperti namanya, rambut, alis, dan matanya berwarna emas. Begitu tegas dan menusuk. Ia mengenakkan seragam yang sama dengan Rika dan Khrisna: kemeja berlengan panjang, mantel serba hitam, dan celana panjang kargo sewarna. Namun, ada satu perbedaan di seragam Pak Goldy. Di kedua bahu, tertaut strap putih seperti pertanda pangkat. Ia membuka mata lebar-lebar, lalu menasihati:

"Sebagai Imam, aku melindungi Pak Imron yang merupakan Penghuni Neraka dan putrinya, yang mengalir darahnya. Dan juga kau yang merupakan Penjaga Neraka. Aku menikahkanmu dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjagamu agar tidak berbuat kerusakan. Namun, kau sudah berbuat satu kerusakan, bahkan semua orang sudah mengetahui jati dirimu sebagai Penjaga Neraka. Karena itu, kau akan ikut kami ke Markas Jundun."

Wafi menggelegak ludah seraya mengangguk lemas. Ia melirik Rika yang menunduk, menutupi badan. Ia tersenyum sampai menampakkan gigi geraham setelah mendengar keputusan Pak Goldy.

"Pak Goldy adalah seorang Imam, jabatan tertinggi di tentara—sama seperti jendral," bisik Rika, menarik celana Wafi untuk menanyainya sesuatu. "Apakah aku bisa ikut bersamamu ke markas Jundun?"

Wafi mengangguk, mencoba untuk bertanya demi Rika. "Pak, bagaimana Rika?"

"Dia akan ikut denganmu. Bagaimanapun juga, dia istrimu dan kalian masih punya satu kewajiban untuk melahirkan seorang anak untuk Surga," jawab Pak Goldy tegas. "Lagipula tak ada pilihan bagimu, utangmu sekarang membengkak hebat dari 40 juta, ke 1 miliar dan 40 juta. Mau tidak mau kau harus ikut."

Wafi membelalak. Bagaimana mungkin kesialan besar tecipta dalam kedipan mata. Baru saja ia merasakan nikmat dunia dengan bercumbu dengan sang istri, tetapi utang tiba-tiba membengkak satu miliar. Setelah itu, ia harus menjalani pendidikan militer untuk mempertaruhkan nyawa melawan para Fasadun di garis depan. Sungguh, tak ada makhluk yang lebih sial daripada Wafi pada detik itu.

Apalagi ajudan Pak Goldy melirik Wafi seperti macan dikuasi birahi.

Selatan, 18 Desember 0020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top