40 | Wealth, Throne, and Lady
ZINA menunggu pasangan Imam yang masuk ke tempatnya dan begitu beruntungnya ia ketika mendapat lawan yang sangat lemah kepada wanita seksi: Pak Badri dan Pak Luth.
Mereka terjatuh di ruangan pengab dan remang-remang. Banyak gorden semacam selendang melintang ke langit-langit yang sangat tinggi. Cahay biru menyeruak dari setiap celah-celah tipis di ruangan tersebut. Bau amis dan pandan menyengat di beberapa bagian. Di bagian tengah, sebuah kasur putih yang luas bertengger layaknya menunggu korban.
Pak Badri mengumpat dan berusaha mencari jalan keluar dengan cepat. Sebagai orang Timur, dia punya pikiran yang tidak sabaran dan metabolisme yang tinggi. Sangat berbeda dengan Pak Luth yang merupakan orang Selatan. Dia lebih tenang, tetapi lebih kritis bahkan sedikit manipulatif.
Terperangkap bersama keduanya bukan kombinasi yang baik. Pak Badri petarung bela diri dengan tinju yang jago, sedangkan Pak Luth ahli taekwondo yang mengandalkan tendangan. Akan tetapi, keduanya bisa dipersatukan selama ini sebab mempunyai kelemahan yang sama. Keduanya lemah kepada wanita, dan tempat ini adalah kesalahan yang besar untuk dituju di Neraka.
"Cowok, kenapa buru-buru pergi? Temani aku dong yang lagi kesepian ini!" Suara itu dari wanita yang begitu halus dan mendayu-dayu. Itu Zina dan dia sedang berbaring di atas tempat tidur, sedang menggoda kedua Imam yang baru masuk ke dalam ruangannya di Neraka.
Pak Badri dan Pak Luth langsung membeku. Seluruh badannya merinding dan tak mampu bergerak. Ketika ujung mata keduanya menangkap tubuh seksi dan putih mulus dari seorang wanita berambut pirang layaknya Zina, mereka tak mampu menolaknya. Seluruh tubuhnya gemetar dan tegang, serta fantasi yang tidak-tidak berkecamuk.
"Aku tidak keberatan kalau kita bermain ramai-ramai." Godaan Zina semakin parah.
Pak Luth langsung memalingkan pandangan sambil meminta ampun dan perlindungan kepada Tuhan. Akan tetapi, Pak Badri tak mampu memalingkan pandangan meskipun ia sudah punya anak dan istri di rumah. Sebagai orang Timur, kelemahannya kepada wanita jauh lebih besar daripada pria normal pada umumnya.
"Imam Badri, jangan!" Pak Luth meraih pundak Pak Badri, lalu menggeleng sebagai isyarat untuk tidak menuruti nafsunya.
Pak Badri mendecih. "Begitu sialnya kita harus menghadapi musuh semacam ini. Seharusnya, orang yang tepat menghadapi wanita ini adalah Ibrahim atau tidak Wafir. Mereka, orang Utara, tidak akan jatuh kepada wanita murahan seperti ini."
Pak Luth sontak mengangkat kedua alis seakan mengatakan ide bagus. "Itu jawabannya!"
Hingga Pak Badri mampu menangkap maksud Pak Luth. Mereka pun memutuskan untuk kabur dari Zina dan mencari salah satu dari orang Utara agar Zina bisa dikalahkan dengan musuh alaminya. Dan tanpa berlama-lama, Pak Badri pun langsung berlari ke celah dinding terdekat dan langsung berpaling dari Zina. Pak Luth memegangi tangannya agar ia bisa menderapkan langkah yang mantap.
"Mengapa kalian kabur dariku?" Zina langsung bangkit. Secara mengejutkan, ia bisa berlari lebih cepat daripada Pak Badri dan Pak Luth. Padahal, tubuh wanitanya sangat langsing dan tidak memiliki otot yang terlalu kuat.
Ketika Zina berada di depan Pak Badri dan Pak Luth, keduanya terkejut. Namun, tidak terlalu khawatir. Di depannya, Zina telah berubah menjadi lelaki kekar sehingga ia bisa berlari mengejar para Imam dengan mudah.
Bukannya takut, Pak Badri dan Pak Luth malah tertawa girang. Wujud pria telanjang dengan badan yang sama kekarnya dengannya tidaklah menjadi masalah bagi kedua Imam ini. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan. Pak Badri dan Pak Luth melakukan serangan kombinasi.
Pak Badri menyerang dari depan dengan tinju di ulu hati dan rahang. Sementara itu, Pak Luth menyerang dari belakang ke bagian leher dan kemaluan. Zina berteriak kesakitan ketika diberondong oleh serangan yang begitu kuat dan cepat secara bertubi-tubi, apalagi kekuatan regenerasinya membuat rasa sakit tersebut seakan bertahan untuk selamanya.
"Sudah cukup!" Zina pun kembali berubah menjadi wanita seksi. Tak berhenti di sana, ia langsung meraih Pak Badri yang berada di depannya, lalu langsung mengalungkan pelukan di badan.
Pak Badri gemetar tak karuan. Zina melingkar langsung dipinggangnya dan wajah mereka tertaut sangat dekat. Pak Badri berusaha menjauh sekuat mungkin sebab ia sudah punya istri dan anak.
"Imam Badri, jangan pedulikan dia! Dia bukan wanita yang diizinkan Tuhan untukmu!" teriak Pak Luth yang tak bisa membantu lebih lanjut.
"Tapi aku bisa menjadi istrimu. Aku tidak pernah mempermasalahkan jika aku harus menjadi istri yang kedua!"
"Jangan dengarkan dia, Imam Badri! Wanita yang sudah tidur dengan lusinan pria pasti terkena penyakit menular seksual! Janganlah mau menikah dengannya." Pak Luth tak berani melihat Zina secara langsung.
Zina menggeleng dan terus berusaha mencium bibir Pak Badri. "Tidak, aku tidak mungkin terkena penyakit menular seksual. Aku adalah seorang pengendali hormon. Mana mungkin aku meloloskan satu virus atau bakteri dari tubuhku? Penyakit seperti itu hanya untuk manusia biasa. Jadi, bagaimana menikah denganku?"
Pak Badri tak mampu membuat pilihan yang lebih baik. Bibir Zina semakin mendekat dan napasnya sudah bertabrakan dengan pipinya. Pak Badri menggeretakkan giginya kesal. Ia pun mengaku kalah pada hari itu, sama seperti ketika Wafir mengalahkannya, baik dalam pertarungan di Distrik Timur maupun kemenangan terhadap Zina. Beruntungnya, Pak Badri sempat berbicara kepada Wafir pada saat 28 hari sebelum perang dimulai.
"Wafir, bagaimana caramu bisa tahan kepada Zina?"
Wafir mengangkat bahu. "Saya tidak tahu. Saya hanya merasa biasa saja. Seperti sudah bisa menahannya sejak dari lahir."
"Apa kau lemah syahwat atau homo?"
Wafir menggeleng. "Saya sudah meniduri istri saya. Saya menyukainya, dia gadis yang cantik."
"Lantas, jika kau jatuh cinta kepada Rika, mengapa tidak jatuh cinta kepada perempuan yang lebih cantik seperti Zina."
Wafir menghela napas panjang. "Dugaan saya, selera saya berbeda daripada diri Anda, Pak."
"Kalau begitu, beruntunglah dirimu, Wafir. Lantas, bagaimana dengan orang yang memiliki kekurangan sepertiku. Bisa saja, aku terjebak dengan Zina di masa depan, termasuk ketika perang di Neraka nanti."
"Anda tahu, Pak. Ada satu hal menarik yang pernah mendiang ibu saya pesankan kepada saya. Tidak semua rezeki berwujud uang ataupun kebahagiaan. Dan di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Jika diibaratkan, anak yatim piatu tampak malang tidak memiliki kedua orang tua. Namun, ia setidaknya bisa menghindari dosa durhaka kepada kedua orang tua."
Lalu, Pak Badri akhirnya mampu mengambil hikmah dari percakapan dengan Wafir. Ia mengambil pisau yang menggantung di pinggang. Ia sudah membulatkan tekad. Agar ia bisa memiliki kelebihan seperti orang Utara, ada kelebihan yang harus dikorbankan. Dan di dalam keadaan seperti ini, dia tahu sumber dari semua masalah.
"Jawabanku, tidak!" Pak Badri mengiris kedua matanya secara horizontal dan menjadikan penglihatannya buta.
Pak Luth tercekat melihat pilihan Pak Badri. Namun, ia berubah kagum ketika sepersekian detik, Pak Badri mampu menjambak rambut Zina, lalu membantingnya ke kiri dan ke kanan. Ia juga mengakhiri serangannya dengan melontarkan Zina ke ujung ruangan yang terdiri ribuan alkohol yang biasa digunakan untuk mabuk-mabukan bersama pria Penghuni Neraka.
Pak Luth pun memiliki ide. Sebagai orang Selatan yang biasa merokok, ia mengambil sekorek pemantik api dari sakunya. Ia melemparkannya ke arah tumpahan alkohol, lalu membakar Zina seluruhnya.
Api pun menyala berkobar-kobar. Zina mengerang kesakitan. Ia berusaha memadamkan api, tetapi kulitnya selalu beregenerasi. Jika ia menghentikan regenerasi, ia akan mati. Namun, jika ia terus beregenerasi, ia merasakan rasa sakit seumur hidup.
Zina pun berusaha lari untuk mencari air, tetapi Pak Luth langsung menindihnya dengan kaki. Ia tidak mau rencananya gagal dan mencelakai Pak Badri yang tidak mampu melihat sekarang. Ia berusaha menahan rasa terbakar yang menggerogoti kakinya. Demi keberhasilan rencana dan pengorbanan Pak Badri, Pak Luth pun juga ikut membayar harga yang tinggi.
Zina dan Pak Luth bermain adu kuat menahan rasa sakit.
Beberapa kali erangan, Zina berubah menjadi wujud iblis seperti raksasa. Mau tak mau, Pak Luth tidak bisa menahannya. Ia memutuskan untuk kembali ke Pak Badri untuk menuntunnya menjauh.
Amukan Zina membuat langit-langit Neraka runtuh. Hingga ia tak sadar, malah histerianya menyebabkan api menyebar ke seluruh selendang-selendang yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Tiap tebing yang terkena pukulan tubuhnya pun berjatuhan menambah parah lukanya. Hingga, Zina pun sadar, ia memilih mengakhiri hidupnya, habis dilalap api.
Sementara itu, Pak Luth menggendong Pak Badri kabur dengan kaki yang hangus terbakar satu. Meski ia tak mampu menggunakan kedua kakinya lagi sebagai senjata taekwondo, ia tak mempermasalahkannya. Setidaknya, pertarungan melawan Zina sudah selesai.
Pak Badri dan Pak Luth menang.
Selama di perjalanan menghindari api yang terus merambat dan asap pekat yang menyesakkan, Pak Badri memarahi tindakan Pak Luth. "Mengapa kau sok ikut-ikutan berkorban seperti itu. Ini malah menyusahkan kita. Tidak perlu menjadi sok pahlawan!"
Pak Luth meringis. "Niat utamaku bukan itu, Imam Badri. Aku harus mendapatkan darah Zina. Dan sebelum dia habis terbakar, aku tadi sudah mencuri darahnya. Kita tinggal memberikan darah ini kepada Wafir dan rencana kita berjalan lancar."
Pak Badri pun tertawa sambil memukul kepala Pak Luth. "Alasan saja, kau! Sekarang, lebih cepat lagi larinya! Kau jangan menjadi pak tua yang lemot setelah doyan menikah!"
Pak Luth dan Pak Badri pun tertawa saling mengejek. Namun, mereka juga berhak merayakan kemenangan setelah melawan musuh yang tidak akan pernah bisa dimenangkan meskipun bayarannya adalah pengorbanan yang sangat mahal. Setidaknya, hasilnya sebanding dan kini mereka tinggal mencari Wafir.
Namun, suara minta tolong dari Pak Romo memecahkan perhatian, sampai mereka teringat Pak Romo terjebak seorang diri.
—
Neraka, 8 Februari 0021
2 Ramadan 1500 H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top