4 | The Pair

TELAH BERZINA Wafi dengan dua orang pada malam itu: gadis asing yang telah menyelamatkan nyawanya dan seorang Penjaga Neraka bernama Iblis.

Fajar menyingsing di atas keramaian kota. Ibu-ibu yang berbelanja dan penjual sayur memenuhi pasar. Belum genap pukul tujuh, jalanan dipenuhi lalu lalang motor, baik anak-anak sekolah maupun para suami yang pergi bekerja.

Namun, Wafi kesepian di samping Khrisna yang tak sadarkan diri. Ia berada di ICU sederhana yang terdiri dari sepuluh bangsal. Hanya ada Khrisna yang terbaring di sana, tanpa pakaian, berselimutkan kemul putih bergaris biru dengan popok dewasa menaut. Dari penisnya, dipasang kateter untuk buang air dan di hidungnya, dipasang nasal kanul sebagai alat bantu napas. Di sampingnya, elektrokardiogram masih berdenyut dengan angka normal.

Wafi bersyukur Khrisna masih hidup. Jujur, ia menyimpan rasa bersalah yang amat besar. Bahkan untuk sesaat, ia melupakan masalah Penjaga Neraka yang sedang membelenggu punggung, secara harfiah. Dia juga tak yakin apakah luka di leher Khrisna tidak akan berefek penyakit kronis ... atau kematian.

"Pak, silakan keluar dari ruangan. Waktu berkunjung sudah habis," ucap suster. Pakaian serba biru menjuntai, dan tutup kepala plastik menyelimuti tanpa bisa diketahui wajahnya.

Wafi menurut, keluar setelah menjumpai Khrisna langsung. Bersamaan dengan titipan popok dewasa dan minyak zaitun untuk Khrisna. Lalu Wafi menggelandang sendiri tanpa ada manusia yang menemani dan tujuan untuk dikejar. Dia tidak dibutuhkan untuk menunggu Khrisna. Sang kakek akan datang selepas menyaksikan sang cucu melalui bola mata melayang.

Berjalan gontai dan terseok-seok Wafi melalui lorong rumah sakit. Gadis kemarin malam tiba-tiba menghadang. Dia hanya setinggi dagu Wafi, tetapi matanya berbinar percaya diri. Ia bersedekap. Kemeja diliputi krem pastel. Celana kargo hitam sama seperti Wafi. Menutupi kepalanya, kerudung instan menjuntai hingga ke dada.

"Mau ke mana kamu!?" seru sang gadis; menjulurkan tangan seperti menagih. "Kamu berutang sebuah mantel hitam kepadaku!"

Wafi tergopoh dan memegangi mantelnya. Bagaimana bisa dia setenang ini setelah kami berciuman, bahkan dengan lidah. Selain itu, mana mungkin aku melepas mantel gadis itu di sini. Jika aku tak memakai pakaian sehelai pun, semua orang akan membaca tatoku di punggung. PENJAGA NERAKA. Jangan sampai ada seorang pun tahu.

"Bolehkah aku membayarnya dengan cara lain?" Wafi membungkuk tiga kali.

Gadis itu menyeringai. "Bagaimana aku memastikan kamu tidak kabur, huh—!?"

Wafi menyodorkan tanda pengenal untuk dijadikan jaminan. "Aku Wafi. Ambil ini."

Gadis itu meneliti Wafi dengan foto yang ada di tanda pengenal. Mata lugunya sama. Senyum manis sama. Rambut hitam kecoklatan seperti lelaki baik sama. Berewok tipis di dagu yang menghubungkan dua kuping, sama. Dengan umur Wafi genap 20 tahun, maka gadis itu yakin untuk mengatakan:

"Aku Rika. Salam kenal ..., Mas Wafi."

Wajah Wafi memerah. Panggilan Mas mendebarkan hati jika dilontarkan dari gadis yang telah mencium. Apalagi suara gadis itu mendayu-dayu, dan diiringi senyuman tulus. Ia memalingkan wajah, lalu menggaruk tengkuk, saking malunya.

Rika memanggil sebutan Mas, yang berarti kakak lelaki. Wafi berusia tiga tahun lebih tua. Dia seorang wanita yang cerdik dan percaya diri. Dia tak pernah takut kepada lelaki, bahkan ia bisa mengalahkannya, apalagi lelaki yang mudah salah tingkah seperti Wafi. Dilihat dari seragam serba hitam, Rika sama anggota tentara seperti Khrisna.

"Tidak perlu malu-malu denganku dan juga tidak perlu khawatir kepada anak lelaki itu. Dia adalah seorang tentara sama sepertiku. Lebih baik kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri," saran Rika.

Wafi menghela napas. Untuk sesaat kekhawatiran tentang gadis menghilang. Berganti kecemasan kepada Penjaga Neraka.

"Mengapa kamu diam saja ketika kamu keracunan seperti kemarin? Dan kenapa kamu harus menungguku mengeluarkannya dari mulutmu dengan lidahku?" ingat Rika.

"Aku belum pernah berciuman." Wafi terbata.

Rika terperangah. "Jangan bilang kamu tidak merokok dan tidak minum-minum!?'

Wafi menggeleng.

"Pantas saja!" Rasa mulutmu berbeda.

"Pantas kenapa?"

"Jangan bohong! Pasti kamu pernah melakukan hal seremeh itu atau tidur dengan pacarmu?"

"Aku perjaka. Bahkan aku tidak pernah berpacaran."

Sekujur badan Rika merinding. Ia tak percaya ada seorang lelaki yang tidak pernah merokok, tidak pernah minum-minum, tidak pernah berpacaran, tidak pernah berciuman, dan masih perjaka di usia 20 tahun.

"Apakah kamu homo?" Rika menunjuk Wafi.

Wafi menggeleng. "Tidak. Tapi, sebelum kau menciumku. Seorang Penjaga Neraka berwujud pria raksasa memasukkan sesuatu ke mulutku dari mulutnya dan di akhirnya tertaut racun. Secara teknis, kau adalah gadis pertama yang menciumku, sementara ciuman pertamaku dicuri oleh seorang Penjaga Neraka."

Rika memijat pelipis; pusing. Ia mendiamkan Wafi dengan tulunjuk. Menahan tidak bicara keras-keras mengenai Penjaga Neraka. Jika orang-orang tahu bahwa Wafi telah menjadi seorang Penjaga Neraka, ia pasti akan dirajam ramai-ramai oleh khalayak.

"Tapi mengapa kau menyelamatkanku?" tanya Wafi.

Rika termangu. Mulut merah mudanya mengunci dan ujung matanya mengerling untuk mencari alasan. Namun, ia tak tahu.

"Sebaiknya kamu mendatangi Bapakku, pria berseragam proyek berwarna hijau di halaman rumah sakit sana. Ia sedang menunggumu." Rika berjalan melalui Wafi.

Tanpa ada kata-kata, Rika menjauh. Ia bersedekap, dan menggosok-gosok lengan atas; gugup. Ia melamun:

Apa-apaan, Mas Wafi. Apa yang sudah aku lakukan!? Aku sudah merebut ciuman pertama seorang lelaki baik. Ini semua salah Mas Wafi. Kenapa kamu berbeda dari lelaki lain yang biasa berlaku seperti berandal?

***

DI TEPI sungai keruh yang mengalir, Wafi duduk di samping ayah Rika—atau biasa dipanggil bapak—dengan canggung.

Suara motor semakin kencang mengalahkan kicauan burung emprit dan kokok ayam di pagi hari. Beruntung, Wafi dan bapak Rika memilih duduk di bangku semen tepi sungai. Mereka bisa berbicara. Namun, sudah lima menit keduanya saling diam. Mereka memandangi enceng gondok yang dihanyutkan aliran air.

"Rokok?" Bapak Rika mengacungkan sebatang.

"Tidak, Pak. Saya tidak merokok," tolak Wafi.

Bapak Rika berdecak, lalu menggigit rokok. "Lelaki macam apa kau tidak bisa mengisap cerutu!?"

Meski pelan, hinaan itu menusuk. Wafi menundukkan kepala, sedih sekaligus kecewa. Aku tadi berniat untuk bertanya nama bapak Rika. Namun, urung. Pria separuh abad itu tak menyukai Wafi.

Bapak Rika memiliki fitur oriental yang kuat. Kulitnya mulus tak memiliki kumis dan berewok. Matanya sipit, tetapi berwarna kulit sawo matang seperti sering tersengat terik matahari. Seragam proyek berwarna hijau gelap dan helm kuning ditaruh di samping. Jelas, dia bekerja kasar setiap hari. Tentu saja ia tidak suka lelaki polos seperti Wafi.

"Aku sudah buang-buang waktu." Bapak Rika berdiri seraya memasang helm proyek ke kepala.

Wafi melirik bapak Rika. Apakah beliau tidak sesuka itu kepadaku—?

"Tunggu, Bapak!" Rika berlari, mencegah sang bapak pergi. "Mengapa terburu-buru. Apakah sudah berkenalan dengan Mas Wafi?"

"Tidak perlu."

Rika mengerutkan dahi, sama sendu seperti Wafi. Tadi, ia menguarkan aura kuat dan penuh percaya diri, tetapi berbeda ketika mendengar respons dingin dari sang bapak.

"Dia ... Penjaga Neraka," gumam Rika.

Langkah bapak Rika berhenti, lalu membalikkan kepala seraya melotot. "JANGAN BERCANDA!"

"Demi Tuhan, aku tidak bercanda—!"

"Bagaimana mungkin pasukan haus darah bisa selemah dia! Lelaki yang lebih mirip BANCI!"

Wafi membelalak. Kepalanya masih menunduk dan badannya gemetar tak karuan. Ia ingin sekali menangis pada detik itu. Rasanya sudah cukup ia menjadi sebatang kara, hidup menggelandang, dijadikan budak, dan kini dihina semena-mena. Satu-satunya hal yang Wafi herankan adalah:

Mengapa bapak Rika begitu peduli untuk membenciku—?

"Aku tidak akan membiarkanmu menikah dengannya, RIKA!" bentak bapak Rika. Wajahnya memerah.

"Maaf, menikah?" Wafi akhirnya berani berkata-kata meskipun takut-takut. "Bapak tidak perlu menikahkan putri Bapak dengan saya. Putri bapak lebih baik mendapatkan lelaki lain yang lebih Bapak sukai."

"BODOH!" bentak bapak Rika. "Orang-orang pemerintah menginginkannya setelah mereka tahu kau adalah Penjaga Neraka, BANCI!"

Wafi hanya bisa mengernyitkan dahi. Ia tak bisa melawan meskipun ia ditenggelamkan sakit hati yang besar. Bagaimana tidak, tangan bapak Rika yang kekar menunjuk-nunjuk Wafi, sangat menakutkan jika sampai ia harus ditonjok atau ditempeleng. Meski begitu, Wafi kian bingung. Bagaimana pemerintah tahu-menahu tentang aku menjadi Penjaga Neraka. Bukankah kemarin Rika telah menyembunyikan jati diriku?

"Orang awam tidak tahu, sedangkan pemerintah tahu," ucap Rika.

"Bukan begitu, Rika," balas Wafi; pikirannya kalut. "Kita masih terlalu muda untuk menikah. Kenapa harus terburu-buru. Dan yang lebih terpenting, kenapa harus aku?"

"Anak ini sudah BANCI, juga BODOH!" Bapak Rika meninggikan suara.

"Tidak, Pak Imron, HENTIKAN!" Rika menengahi sang bapak dan Wafi. 

Bapak Rika mengangkat tangan bersiap menampar. "Beraninya KAU—!"

"AKU TELAH BERZINA DENGAN MAS WAFI!"

Semua terdiam. Pak Imron dan Wafi sama-sama membelalak, terperangah, serta membeku. Seketika waktu seakan terhenti meskipun Surga semakin ramai. Bagaimana tidak, dengan kata kunci yang Rika lontarkan, hasil yang pasti sudah ditentukan:

Pernikahan akan terjadi di Distrik Selatan antara Wafi dan Rika.

Selatan, 17 Desember 0020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top