30 | Infiltration
HUJAN DI TENGAH MALAM tak menggentarkan para Penjaga Neraka. Mereka masih mencoba untuk menembus Distrik Timur. Tepian jurang yang hanya cukup untuk seperempat telapak kaki, satu-satunya pijakan yang bisa menembus sungai yang mengalir deras. Mereka masih mencari cara untuk menembusnya. Sudah tujuh hari. Semoga kali ini, mereka bisa menembusnya.
Namun, ketika tepian lain sudah tertangkap mata, mereka tertabrak dan hampir terjerembap. Lapisan berlian yang tak kasat mata menghalangi jalan. Kalau mereka tidak berpegangan pada sulur-sulur, sungai pasang yang mengalir deras akan melahap mereka.
"Mengapa ada lapisan berlian di depan kita?!" Riba mengelus-elus kepalanya yang terantuk.
"Aku juga tidak tahu. Sebelumnya, tidak ada lapisan berlian yang membatasi Distrik Timur," jawab Sihir.
"Ini pasti ulah bocah berlian itu! Kalau begitu, tujuan kita sudah benar. Mereka ada di dalam sana! Distrik Timur adalah tempat mereka bersembunyi selama ini." Jacob tidak pernah sesenang ini dalam seminggu terakhir.
"Tapi percuma kalau kita tidak bisa memasukinya," sahut Khamar, teler. Ia memancing emosi ketiga Penjaga Neraka lain dengan jawaban jujur tersebut, terutama Jacob. Beruntung suara telepon berdering mengganggu Jacob dari mengetuk kepala yang tidak ada isinya itu.
Jacob mengangkat telepon meski hujan mendera deras. Sontak, dalam hitungan detik, wajahnya berubah dari murka menjadi muram. Ia seakan dicekik oleh berita yang tidak mengenakan. Lantas, dalam sekejap, ia menutup telepon, lalu bergerak kembali ke arah berlawanan.
"Ada apa!?" Sihir menahan tangan Jacob. "Siapa yang barusan menelepon?"
"Malik II."
Sihir dan Riba membelalak. Mereka tahu ini akan menjadi hal yang sangat besar, bahkan melunturkan tekad dari muka Jacob.
"Kita harus kembali ke istana Malik. Secepatnya!" tegas Jacob.
"Ada apa?! Mengapa Malik II seenak jidat menyuruh kita kembali? Dia saja sudah membiarkan kita susah payah untuk mencari Imam-Imam dan tentara. Dia sekarang malah seenak jidat menyuruh kita kembali," cerocos Khamar.
Jacob akhirnya menampar Khamar. "Dia menepati janjinya. Dia menyuruh kita pulang karena Wafir sedang menyerang istana bersama dengan teman-temannya dan Imam Ibrahim."
Tanpa berlama-lama berkelahi, mereka langsung melesat ke Distrik Pusat meski harus menembus hujan angin yang menusuk badan.
Pelataran Istana
Bayangan hitam sekelebat berlalu layang layaknya kilat hitam. Halaman lebar yang ditumbuhi rumput-rumput rata sontak dipenuhi oleh penjaga. Mereka bukan tentara, tetapi para pekerja kantor biasa yang tinggal di Distrik Pusat. Mereka tidak bisa bertarung. Karena itu, mereka membawa pistol atau pisau yang siap untuk melukai salah seorang penyusup.
Namun, mereka salah. Penyusup tidak berjumlah satu orang. Tidak ada bunyi pada malam itu, termasuk air mancur yang selalu meramaikan pelataran halaman. Semua mati. Hebatnya, para penyusup itu tak membuat satu pun suara meskipun harus berlari secepat pandangan mata.
"Siapa itu!?" Seorang penjaga berseragam krem mengarahkan senter ke segala arah. "Jangan berani macam-macam! Aku tidak segan untuk membunuhmu—!"
Lantas penjaga itu dicekik, lalu dibanting ke tanah. Bayangan hitam itu mulai berwujud jelas. Dia Diyah. Dia melepas topeng yang menutupi separuh wajahnya dengan senyum seperti setan. "Ternyata seru juga menjadi seorang Jundun!"
"Wanita kurang ajar!" Seorang penjaga berlari menuju Diyah hendak menusuk. Namun—
Sebuah batu memukul kepala penjaga hingga pingsan. "Mbak Diyah, hati-hati! Jangan cepat lengah jika semua penjaga belum dilumpuhkan." Itu Rika. Lemparan jitu yang tak pernah meleset, telah menyelamatkan Diyah.
Setelah itu, Hasbie dan Ray datang dari arah samping pelataran. "Bagaimana dengan penjaganya?"
"Sudah beres!" jawab Diyah. "Kalau kalian?"
"Tentu, sudah. Kami sudah mengamankan area belakang dan kedua sayap samping. Kita tinggal menyerahkan area lantai 1 yang lebih rumit kepada keempat anak Imam Ibrahim, sedangkan lantai 2 untuk Wafir dan Imam Ibrahim." Ray menunjuk satu per satu bagian istana.
"Bagaimana Khrisna?" tanya Diyah.
"Dia menuntun Wafir dan Imam Ibrahim ke ruang Malik II. Kekuatan kakeknya dan kelihaian serigalanya akan sangat membantu."
Mereka berempat pun hanya memandang seraya bermunajat untuk keberhasilan misi teror ini. Mereka akan menjaga segala gangguan dari luar, asalkan tidak ada seorang pun yang masuk untuk menyelamatkan Malik II.
Lantai Dasar Istana
Tidak ada cahaya yang menyeruak. Ruangan benar-benar hitam, apalagi setelah lampu-lampu taman dimatikan oleh para Jundun. Satu-satunya sumber pencahayaan hanyalah senter yang ditodongkan para penjaga. Mereka tak tahu bahwa seluruh penjaga di pelataran telah lumpu. Meski begitu, mereka sudah tahu ada sekumpulan teroris yang sedang menyerang istana.
Lantai marmer memantulkan derap sepatu pantofel para penjaga yang tergopoh. Namun, satu per satu suara itu menghilang di dalam gelap. Keempat putra Pak Ibrahim melumpuhkan semua orang tanpa membunuh. Mereka sangat gesit dan teliti. Tanpa ada suara, mereka sanggup menyelesaikan tugas. Hanya berbekal jubah gelap dan topeng yang menutupi seluruh wajah.
Hingga mereka berempat bertemu di ruang tengah. Mereka mendengar suara yang setipis kertas. Serempak, mereka bergerombol untuk menyerang, tetapi mereka membatalkan serangan. Sosok itu bukanlah musuh, tetapi kawan. Itu Khrisna, sedang menunggangi Kon.
"Kenapa kau berada di lantai 1?" tanya anak tertua, tubuhnya paling tinggi dan besar di antara empat saudara.
"Jangan ganggu Wafir dan bapak kalian! Aku membiarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dengan Malik II. Aku, termasuk juga kalian, tidak pantas ikut campur dengan persoalan mereka. Masalah mereka jauh lebih kompleks daripada yang kita kira," tutur Khrisna.
Anak kedua dan ketiga mengangguk paham. Mereka berusaha meyakinkan sang anak sulung. Meski sempat berpikir terlebih dulu, akhirnya ia sanggup percaya dan memerintahkan seluruh adiknya untuk menuruti Khrisna. Meski begitu, sang bungsu, anak yang paling pintar sekaligus polos di antara saudara-saudaranya, menyanggah.
"Kalau begitu, mengapa kita tetap berjaga di lantai dasar? Bukannya sudah tidak ada siapa-siapa di sini?"
Khrisna menggeleng. "Kakekku berkata kepadaku, akan ada bala bantuan yang akan melindungi Malik II. Kita harus berjaga-jaga di sini. Ada hawa negatif yang sangat besar berada di lantai ini."
Semua orang pun waspada. Perkataan kakek Khrisna bisa dibilang berlebihan, tetapi mereka percaya dengan kekuatan firasat. Apa pun yang terjadi, misi malam ini harus berjalan lancar. Apa pun risikonya.
Lantai Dua Istana
Tiap ubin setengah meter yang dihujani partisi jendela lebar, mencetak lapisan persegi bak papan catur. Sinar rembulan menjadi satu-satunya sumber cahaya. Masing-masing pintu raksasa terlewati di sisi dinding, tetapi tidak dihiraukan. Tujuan yang sebenarnya adalah pintu terbesar yang menjadi muara ruangan Malik II.
Pak Ibrahim melangkah dengan begitu khidmat dan yakin. Dia memejamkan mata seraya mengangkat pedang tinggi-tinggi, lurus di telinga kanan. Ia berjalan dengan diam, bahkan napasnya tak mampu terdengar meskipun surbannya melilit tebal. Pak Ibrahim mencoba merasakan keberadaa Malik II lewat tiap tekanan udara dan segala firasat yang menghujam. Tidak ada gunanya jika harus membuka mata sebab Malik II sendiri tidak punya wujud.
Hingga Pak Ibrahim tiba di ujung lorong sayap istana bagian kanan. Ia tidak menuju pintu besar yang menuntun kepada ruangan Malik. Ia malah menuju pintu kecil yang begitu teduh apabila dipandang. Perasaan yakin semakin menguat setelah mendekat ke sana. Pak Ibrahim mencoba mencerna penjelasan Khrisna yang diberikan oleh kakeknya.
Istana Malik berbentuk huruf U. Bagian depan adalah bagian dasar dari cekungan, sedangkan sisinya dibagi ke dalam dua sayap bangunan. Ruang tengah diperuntukkan untuk singgasana Malik. Namun, dugaan Pak Ibrahim tidak salah sebab ruangan paling ujung di bagian sayap kanan adalah kamar tidur pribadi Malik II. Mereka bebas menggunakan ruangan mana saja untuk keperluan individu dan tebakan Pak Ibrahim sangat jitu. Dia sedang menghadang Malik II layaknya kepungan tentara. Lalu—!
Pak Ibrahim tiba-tiba saja mengayunkan pedang ke sisi jendela sampai kacanya pecah.
"Hendak ke mana Anda, Tuan Malik?" gumam Pak Ibrahim, masih memasang tutur kata santun.
Malik II enggan menjawab. Ia berusaha menyembunyikan keberadaan dengan tetap diam. Mematung menjadi satu-satunya pilihan. Malik II tak cukup bodoh untuk menghindar dengan dalih Pak Ibrahim berhasil mengetahui keberadaannya dengan tebakan mujur belaka.
"Jawab saja, aku tidak akan membunuhmu!" Pak Ibrahim meninggikan suara, lebih persis bentakan daripada anjuran santun.
Malik II pun tersedak tawa yang tidak mau mengakui kekalahan. Ia memunculkan mulut. "Baik, apa maumu?"
"Seharusnya saya yang bertanya demikian kepada Tuan. Apa mau Tuan sehingga mengorbankan kami kepada para Penjaga Neraka? Apakah Tuan tidak bisa mempercayai saya untuk mengalahkan mereka?"
Malik II menggeleng berkali-kali seakan perkataan Pak Ibrahim seperti dikatakan oleh anak taman kanak-kanak. "Tidak, bukan karena itu. Hanya saja, aku lebih memilih cara aman yang paling cepat."
"Mohon jujur kepada saya!" Pak Ibrahim dapat merasakan kebohongan Malik II. "Sepertinya saya tahu alasan Tuan. Apakah alasan mendasar bagi para orang Distrik Utara seperti saya?"
"Apa maksudmu, Ibrahim!?" Malik II memberatkan suara, lebih serius daripada usianya kini yang baru menginjak 50 tahunan.
"Teroris. Tuan menganggap kami pembawa teror dan tidak dapat dipercaya. Tuan kira saya akan mengorbankan semua Surga demi mendirikan Khilafah."
"Demi Tuhan jika kau tanya aku sekarang, aku akan jawab tidak pernah berpikir demikian, Ibrahim!" Tapi, dulu aku selalu memikirkan hal tersebut. Kau hanya belum menyadari sisi teroris yang mendarah daging pada hatimu.
Pak Ibrahim sontak menjatuhkan pedang. Ia berkaca-kaca dan meringis kesal seakan bertarung melawan pikiran sendiri. Sejujurnya, ia tak percaya dengan jawaban Malik II. Namun, sumpah kepada Tuhan tidak pernah bisa menjebol bendungan kepercayaan meski itu dikatakan dalam keragu-raguan. Pak Ibrahim selalu memegang teguh, jika perkataan tersebut benar, tentu ia beruntung telah percaya. Namun, jika perkataan tersebut dusta, biar Tuhan yang akan menurunkan balasan setimpal.
"Diberkatilah kau, Ibrahim, atas kebaikan hatimu." Malik II melewati Pak Ibrahim dengan langkah ringan. Sayang, kau hanya terlalu naif. Aku pun bisa keluar dengan mudah kali ini—
Jalur kabur Malik II tiba-tiba terhenti setelah ia menabrak dinding keras yang tak mampu dilihat dalam gelap. Dia terjatuh tersungkur seraya mengusap hidung. Kemurkaan berapi-api di atas wajah yang masih tidak terlihat. Hampir saja ia mengumpat ditelan amarah, tetapi ia sadar bahwa lapisan yang dihalanginya hanya bisa diciptakan oleh satu orang saja. Wafir.
Ia ternyata berdiri sedari tadi di sana. Semuanya sudah didengarkan, termasuk kebohongan yang dilontarkan Malik II. Wafir pun melepaskan jubah hitam yang menyelimuti mantel putih Imam yang langsung kontras dengan hitam pekat. Ia juga menanggalkan topeng hitam yang menutupi separuh wajah.
"Terkejut, Tuan?" Wafir menuturkan intimidasi.
"Tch, kau kira bisa menangkapku?! Kalian ini sama-sama naifnya!"
DHOOM!
Ledakan tiba-tiba menggetarkan Distrik Pusat. Semua listrik sontak padam di seluruh antero distrik. Tak ada rumah yang menyala dan sontak keramaian melolong di rumah-rumah.
Bersamaan dengan itu, Malik II langsung menghilang entah ke mana. Pak Ibrahim awalnya ingin mencari dan mengejar, tetapi ia merasakan sensasi tekanan menyerang hati. Dalam sekejap, ia melongok melalui lubang di jendela yang barusan dipecahkan. Lalu, hawa negatif yang menekan berangsur mendekat hingga ia ingat bahwa ada bala bantuan yang datang.
"Ada apa, Pak?" Wafir melenyapkan dinding berlian yang membatasi ia dan Pak Ibrahim.
"Mereka datang."
Mereka? "Penjaga Neraka?"
Pak Ibrahim mengangguk serius. Ia pun langsung keluar melalui jendela, bergulung-gulung terjun dari lantai dua. "Kau kejarlah Malik II. Aku akan mengurus mereka!"
Wafir yang tidak menyangka ada perubahan rencana, hanya bisa mengangguk dalam beku. Ia takut apakah rencana akan menghasilkan kegagalan. Ia tidak tahu harus melakukan apa di kala kegelapan semakin pekat.Hingga, bunyi pintu di ujung lorong sayap kanan tiba-tiba menutup.
Itu kamar tidur Malik II.
Wafir pun tergopoh ke sana. Tentu Malik II kabur ke sana. Sampai Wafir mendapati tangga rahasia yang hanya bisa dilalui dengan pijakan tangan dan kaki, bukan anak tangga mewah yang mengular. Dari arahnya, ini seperti mengarah ke bawah, lantai dasar, atau lebih rendah daripada itu. Pilihan yang buruk di kegelapan absolut melahap seperti sekarang. Meski begitu, Wafir tetap turun dan memberanikan diri.
Wafir akan turun ke bagian terdalam Surga.
—
Pusat, 1 Januari 0021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top