23 | Embodiment of Perfection
MARYAM nama ibuku," tutur Wafir. "Sedangkan aku tak tahu nama dan muka bapakku. Satu hal yang kutahu, bapakku adalah seorang pendosa."
Ketika matahari mulai menerbitkan cercahan sinar, benang kuning yang membelah cakrawala semakin berpendar. Embun-embun yang menempel di antara dedaunan Distrik Timur berjatuhan, digoyangkan angin sepoi-sepoi yang merambati tiap jengkal hutan. Denting lonceng angin di teras pondok menyahut perkataan Wafir tentang ibunya yang bernama Maryam. Aroma teh hijau yang menghiasi asap dari cangkir kosong, menguar menemani Wafir yang beranjak.
Ia mengenakan jubah putih kebanggaan Imam miliknya. Setelah menyesap habis teh buatan sang istri, lalu menceritakan tentang ibunya, ia pamit. Ia mendapat panggilan dari Pak Badri untuk menemuinya di desa sebelah, tempat tinggalnya. Karena itu, Wafir terburu untuk meninggalkan Rika seorang diri. Tadi, Wafir sempat bercerita tentang ibu dan bapaknya setelah mendapat cecaran pertanyaan meskipun itu dijabarkan secepat embus angin. Sayangnya, dia tak menyadari.
Maryam juga nama ibu Khrisna.
Andai Wafir tahu segala rahasia tentang Muhammad, Malik II, Iblis, Surga, dan Khrisna, ia pasti sanggup untuk menggambarkan peta persoalan. Bagaimana cerita akan berakhir. Namun, tak ada yang menyadari, termasuk Khrisna itu sendiri. Ia tak menahu bahwa kakek yang selama ini ia bangga-banggakan dan yang telah menyelamatkan seluruh tentara di Surga adalah Muhammad, Malik I. Karena itu, perjalanan Wafir masih begitu panjang hingga ia sendiri tiada mengira apa yang akan menghampirinya sebentar lagi.
Wafir bergegas meninggalkan pondok yang tiada menahu itu milik siapa. Namun, sebelum kakinya mulai menjejak keluar, ia melesat kembali ke sang istri yang masih duduk di atas dipan. Seraya memegangi perut sedari tadi sebab bagian dari sang suami sudah berada di dalamnya, ia dikejutkan Wafir yang tiba-tiba mengecup bibirnya. Wafir memeluk erat-erat sebelum berpisah untuk seharian. Bahkan pelukannya baru dilepas setelah menggandeng hingga ambang pintu.
Wafir pun melepas untaian jemari dari tangan Rika seraya menyunggingkan senyum hangat. Ia ingin Rika bersabar untuk sebentar saja sebab di tengah badai Penjaga Neraka ini, ada surga kecil yang Tuhan hadiahkan untuk mereka berdua. Namun—!
Wafir langsung dihantam oleh pria yang jatuh dari langit.
Benar! JATUH DARI LANGIT! Rika terperanjat dan meneriakkan nama sang suami secara spontan. Ia langsung mendekat untuk menolong, tetapi langkahnya terhenti setelah menyaksikan sosok pria yang menghantam Wafir. Ketika kepulan asap bercampur becek air di atas tanah gambut menghilang, Rika tak berani untuk mendekat lebih jauh. Meski ia kasihan kepada sang suami, tetapi ia tak mampu berkutik jika ditemui oleh sosok itu: Imam Badri.
Ia menindihi dengan kaki kanan dan tangannya mencekik leher belakang Wafir. Seperti orang kesetanan, raut mukanya berurat serta wajahnya memerah. Bibirnya meringis layaknya singa yang hendak menerkam kijang buruan. Bahkan, Pak Badri tak kasihan kepada Wafir yang beratnya berkali-kali lipat lebih kecil daripada dirinya.
Pak Badri tentu tidak lupa bahwa dirinya adalah seorang tentara, baik di kehidupan sekarang bahkan sebelum Surga. Di usia kepala empat, tangan dan kakinya begitu kokoh digurati otot. Kulitnya coklat legam, halus tanpa bulu. Seorang tentara harus rapi dan selalu muda. Dia tidak bohong. Dengan tubuh gahar dibalut seragam loreng hijau dan mantel putih kebanggaan Imam, Pak Badri benar-benar sangat menyeramkan. Apalagi dia adalah Imam terkuat kedua setelah Pak Ibrahim. Tentu, Wafir dan Rika akan tewas seketika jika harus berhadapan dengan tangan kosong dengan Pak Badri.
"Dasar lamban! Anak zaman sekarang begitu manja! Mentalnya lelet dan tidak menghargai waktu! Pada zamanku, kami harus berjalan dari satu kota ke kota lainnya dengan jalan kaki dan tidak boleh terlambat! Berbeda dengan kau kini! Aku hanya menyuruhmu untuk ke desa sebelah, tapi kau tak lekas datang! SAMPAH!" cecar Pak Badri, menguatkan tindihan.
"Ti-tidak, Pak. Lagipula, sekarang baru pukul 06.30. Bukannya kita baru janjian pada pukul 07.00?" balas Wafir, kesakitan. Mulutnya memuncratkan ludah yang menyembur setelah ditindih oleh tubuh raksasa Pak Badri.
"Tidak ada etos kerja kau!" Pak Badri mendaratkan bogem ke kepala Wafir. "Memangnya sekarang sedang leha-leha saja apa? Kau tahu sendiri Surga sedang dikuasai oleh Penjaga Neraka. Kalau kau sedang tidak ada urusan mendadak, tidak perlulah kau bersantai layaknya tuan raja!"
"Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi."
Pak Badri menekan perut Wafir layaknya membunuh semut. "Aku tahu kau baru menggauli istrimu kan?! Perutmu begitu kencang layaknya sudah kau gunakan barangmu berkali-kali. Jam berapa kau tidur semalam, hah? Pasti ini penyebab kau telat?!"
Wafir menggeleng. "Tidak, Pak. Ini benar-benar murni salah saya."
"Masa bodoh! Sekarang ikut aku untuk pergi ke tempatku. Sudah cukup kau bersenang-senang dengan istrimu. Mulai detik ini, kau tidak bisa bertemu dengannya sebelum lebih kuat daripada diriku. Hingga kapan pun itu meskipun kau baru bisa mengalahkanku ketika kiamat tiba."
Pak Badri membopong Wafir layaknya sekarung kapas ringan. Ia tak keberatan sama sekali membawa kabur Wafir sembari berlari. Dia memang layaknya singa tua yang perkasa. Mukanya berurat tak berambut agar awet muda, ditambah potongan buzzcut khas angkatan darat. Dia tidak pernah tertawa dan selalu marah-marah. Beginilah buktinya. Konon orang tuanya memberi nama Badri sebab terinspirasi dari perang pertama yang dilakukan oleh nabi, yaitu perang Badar. Ia diharapkan bisa menjadi kemenangan, termasuk mampu mengalahkan banyak pasukan meskipun harus seorang diri.
Karena itu, jika Wafir baru bisa menemui Rika setelah mengalahkan Pak Badri adalah mimpi buruk. Ia butuh waktu selamanya, mungkin. Dia tak boleh merapal kekuatan kristal, tetapi harus menaklukkan sosok yang bisa mengalahkan seluruh musuh hanya seorang diri. Inilah perpisahan bagi Wafir dan istrinya. Wafir hanya mampu memandang Rika yang semakin menjauh. Tak ada yang bisa diharapkan selain dirinya untuk bisa berubah.
Setelah perubahan mental, apakah Wafir bisa mengubah fisiknya?
MENUJU bagian paling timur dari Distrik Timur.
Tak ada rumah atau bangunan yang ditinggikan manusia. Setelah melalui hutan perdu dan sawah-ladang, Pak Badri membawa Wafir ke sisi berbatu yang hitam serta dipenuhi tebing. Bunyi gemercik sungai yang mengalir di antara celah-celah tumpukan kerikil hitam menemani langkah kuat yang diikuti amarah. Bau hutan kian memudar setelah memasuki area ini. Malah aroma air asin yang menusuk hidung yang kian menguat. Wafir tak dapat menerka ini bagian Surga yang mana, hingga Pak Badri berhenti di sebuah mulut gua.
Pak Badri melemparkan tubuh Wafir hingga bergulingan berkali-kali. Ia berdiri jauh di ambang mulut gua, membatasi warna biru langit dan hitam tanah berbatu. Ia memandang remeh Wafir layaknya sampah. Ia jijik sebab Wafir tak mampu berdiri lagi setelah hanya ditindih dan dilempar. Itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan siksaan yang diterima Pak Badri masih menjadi kadet dulu. Karena itu, ia akan bersikap keras kepada Wafir.
"Kau persiapkan dirimu. Setiap pagi aku akan ke sini. Jika kau tidak bisa mengalahkanku, kau tak boleh keluar dari sini. Kecuali dunia benar-benar kiamat," tutur Pak Badri.
Tanpa menunggu balasan dari Wafir yang masih terbatuk-batuk, Pak Badri meninggalkan sanderanya. Ia pergi ke dalam hutan dan kembali ke bagian Distrik Timur yang hijau dan dipenuhi kehidupan. Ia tak meninggalkan makanan dan minuman, bahkan sehelai pakaian. Satu-satunya hal yang dimiliki Wafir kini adalah pertanyaan. Bagaimana dia akan menjalani hidup setelah ini?
Wafir mendudukkan diri. Ia terbatuk seraya memandangi sekitar. Gua yang terdiri dari batu hitam. Di sekelilingnya, sungai mengalir mengadu tebing, lalu bau air asin menguar pekat. Wafir mencoba menerka letaknya kini. Hingga ia berdiri dan menelusuri dunia luar dari ambang mulut gua. Ia terkejut ketika menyaksikan deretan hutan berakhir, meninggalkan dia bersama hamparan lautan biru yang mengembuskan angin kencang. Sementara itu, di baliknya taman tambang melubangi bumi begitu besar.
Bekas tambang di ujung laut. Bagian Distrik Timur yang lama mati.
Wafir berada di situ sendirian. Begitu yang dia duga. Tak ada pertolongan selain dari Tuhan. Hanya mantel putih khas Imam yang menempel di tubuh dan sarapan yang disertai teh hangat menjadi bekal untuk menjalani hidup. Tak ada bayangan bagaimana ia mengisi perut, apalagi cara agar bisa berlatih sampai Pak Badri bisa ditaklukkan. Orang itu gila dan siapa pun setuju jika harus menggambarkan sifat Pak Badri. Namun—
"Kau ... Imam?" Suara wanita yang tegas, tetapi lembut, memanggil dari dalam kegelapan gua.
Wafir tersentak. "Siapa itu!?" Apa itu hantu, tetapi hantu tidak bisa berbicara. Apakah dia orang pedalaman yang kanibal?
"Aku bukan hantu, tidak perlu takut." Wanita itu mendekatkan diri ke mulut gua.
"Lalu, bagaimana kau bisa di sini? Apakah Pak Badri membawamu juga ke sini?"
Wanita itu tertawa lirih, seperti tergelitik kepolosan Wafir. "Kurang lebih, ya. Aku sama sepertimu. Imam Badri pasti ingin segera pergi sebab tidak ingin menemuiku. Dia sangat membenciku. Oh iya, namaku Diyah. Senang bertemu denganmu, Imam Muda."
Diyah pun menampakkan diri. Wafir pikir dia adalah wanita yang kuat dengan badan terbuka. Namun, ia seperti wanita baik-baik seperti orang Distrik Selatan. Benar-benar tidak seperti wanita yang hidup sendiri di alam liar.
Diyah mengenakan kacamata yang lumayan tebal. Jika dilepas, dia tentu akan kesulitan melihat sebab lingkungan akan buram. Ia mengenakan kerudung instan hijau tentara khas Distrik Selatan, begitu juga rok panjang yang disobek sebelah agar lincah berpergian ke mana-mana. Tidak perlu khawatir kakinya terpapar alam luar, di dalam roknya, membelit legging dan sepatu boot tinggi selutut. Dia seperti seorang salehah yang tetap berpegang teguh kepada Tuhan meskipun tak ada siapa pun yang mengawasi.
Ketika memandang Wafir, mata lebarnya fokus. Beruntung ada kacamata persegi yang membatasi bola mata, Diyah tidak terlalu menyeramkan. Jika dilihat dari umurnya, Diyah seperti berumur dua puluh tahunan, tetapi nyatanya dia sepantaran dengan Ray, hanya lebih muda setahun. Wajahnya kuning langsat dan begitu bersih, padahal ia hidup di alam bebas tanpa ada perawatan kulit. Diyah memiliki kecantikan alami. Namun, wanita sepertinya seharusnya tidak ada di dalam mulut gua, apalagi di tempat Wafir disandera.
"Aku harus mengalahkan Pak Badri, sama sepertimu," tutur Diyah, duduk di batu besar samping Wafir, lalu mengundangnya untuk ikut duduk.
"Mbak, Imam juga?"
Diyah menggeleng. "Aku hanya seorang wanita biasa. Ada dua hal yang aku kejar di dunia ini: tentara dan Imam Badri."
"Tunggu, apa maksud keduanya?"
"Kau tidak perlu kaget!" Diyah tertawa ringan, menenangkan Wafir. "Aku ingin sekali menjadi tentara. Aku punya fisik kuat dan ingin sekali bertarung melawan para Fasadun di zaman akhir ini. Aku ingin berguna. Namun, Pak Badri sebagai pemimpin Distrik Timur, tidak memberikan rekomendasi. Tidak ada wanita dari Distrik Timur yang boleh menjadi tentara."
"Alasannya?" Wafir mencoba memahami agar tidak memihak secara gegabah.
"Mereka menghormati wanita, bahkan sangat menghormati. Mereka melarang kami bekerja hingga larut malam karena khawatir pada kesehatan dan keselamatan kami. Namun, aku berbeda. Aku diberkati Tuhan kemampuan yang berguna bagi Surga. Maka, aku memberanikan diri memilih jalan yang sulit. Imam Badri awalnya tidak mengizinkanku, tetapi setelah usahaku selama tujuh tahun, aku hampir berada di titik itu."
Dia benar-benar gila! "Wow!"
"Lalu alasan kedua, tentang Imam Badri. Aku menyukainya. Aku ingin menjadi istrinya."
Wafir langsung menyemburkan udara kosong, amat terkejut. "Apa maksudmu!? Dia pria empat puluh tahun, sedangkan Mbak Diyah baru di seperempat abad!?"
Diyah menggeleng. "Sudah kubilang kepadamu, Imam Muda. Aku berbeda dari kebanyakan orang. Maka dari itu, aku punya kesukaan yang berbeda. Tidak perlu memaksaku untuk menjadi normal."
Wafir menghela napas panjang. "Baiklah kalau itu keinginanmu."
"Lantas, kau bagaimana, Imam Muda? Aku tahu tujuan kita sama: mengalahkan Imam Badri. Namun, aku ingin tahu, motivasimu untuk cepat keluar dari sini apa?"
Wafir berpikir sejenak. "Surga sedang dikuasai Penjaga Neraka."
"Aku sudah tahu itu ketika mencari makan di desa seberang. Cari alasan yang unik!"
"Tunggu, kau bisa pergi ke desa? Bukannya itu melanggar?!"
"Nanti kita bicarakan itu. Sekarang aku ingin tahu alasanmu ingin segera mengalahkan Imam Badri."
Wafir berpikir lagi. "Aku ingin memukul wajahnya keras-keras sebab telah menyakitiku."
"Aku juga. Tapi, cari alasan lain! Yang hanya kau saja yang paham!"
Yang hanya aku sendiri yang paham? Lantas terlintaslah wajah Rika yang kasmaran setelah bergaul dengannya tadi malam. "Aku ingin mencium istriku lagi."
Diyah langsung menjentikkan jari seraya membelalakkan mata, puas. "Nah, ini unik! Kau baru berumur dua puluh tahunan dan sudah punya istri! Benar-benar menarik! Alasan yang bagus!"
"Lantas, kalau begitu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya? Apa kita akan bekerja sama untuk mengalahkan Pak Badri?"
Diyah mengangguk antusias. Wafir tak menyangka perkataan sembarangannya ternyata akan menjadi rencana. Setidaknya, Wafir tidak harus bertahan hidup dan berlatih sendirian. Meski awalnya ia ragu dengan Diyah yang merupakan seorang perempuan dan agak aneh, ia mencoba akrab dengannya. Mendapat satu bantuan lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Karena itu, Wafir akan bersiap untuk menghadapi Pak Badri pada fajar besok, termasuk fajar besok-besoknya lagi. Dia sudah mengikrarkan perjanjian dengan Diyah.
"Kau bantu aku mendapatkan Imam Badri, sedangkan aku akan membantumu kembali ke istrimu!"
—
Timur, 23 Desember 0020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top