21 | Honeymoon
PORAK PORANDA. Kuning, debu, dan api.
Ketiganya menyelimuti Distrik Selatan yang hancur tak terelakkan. Puing-puing dan rongsokan kayu bertumpukkan sebagai bahan bakar api yang semakin mengerang. Bau anyir darah bercampur hangus abu-abu yang beterbangan. Debu halus menusuk hidung serta menggores kulit yang meloloskan luka merah. Hari ini, Malik sudah berbohong. Katanya, Surga tidak akan hancur di kala kiamat menyerang. Namun, sebaliknya.
Distrik Selatan telah rata dengan tanah.
Ketika matahari menggantung di puncak angkasa, tepat di atas ubun-ubun yang putus asa. Teriknya menjulur-julur, membiaskan rona sepia yang diterbangkan oleh debu-debu tak bersayap. Menyerah pada takdir, apa yang akan terjadi setelah ini?
Keempat Penjaga Neraka berkumpul di titik pertarungan yang sempat terpantik beberapa jam lalu. Sihir bertumpu pada kristal raksasa yang Wafir ciptakan. Khamar berbaring di dalam mobil jip hijau Pak Luth. Riba berjongkok di atap mobil jip seraya mengguratkan seringai puas, telah menang. Sementara itu, Jacob malah mondar-mandir sambil melipat lengan di depan dada. Wajahnya khawatir seakan habis ditimpa kesialan, padahal dia jelas-jelas telah memenangkan pertarungan.
Hingga gradasi kekuningan dari debu yang melayang kian memudar, ledakan angin dari tengah perkumpulan mengejutkan keempat Penjaga Neraka. Mereka sempoyongan waspada, mengawasi benda misterius yang melayang di tengah angkasa. Sepasang bola bergelantung dua meter di atas tanah. Bagai organ makhluk hidup yang bisa bergerak dan berkedip. Itu sepasang bola mata!
Para Penjaga Neraka membelalakkan mata. Mereka tak habis pikir bisa ada kekuatan ajaib terlahir di tengah Surga. Hanya ada empat Penjaga Neraka dan Wafir yang mampu menundukkan aturan alam. Bagaimana bisa ada sosok selain mereka yang bisa melakukannya? Kecuali sosok itu adalah Malik II, dan memang begitulah sosok penguasa Surga yang disaksikan Wafir pada pengobatan.
Segaris mulut tiba-tiba muncul di bawah sepasang bola mata Malik II. Seperti terhubung dalam satu muka, mulut itu membuka dan mengartikan maksud dari tiap kedipan. Dia berkata dengan suara berat dan diplomatis:
"Apa yang kalian inginkan selanjutnya?"
Jacob buka suara pertama kali dan menguapka ketakutan paling awal daripada lainnya. "Kami akan menguasai Surga!"
"Dengan membantai seluruh penduduknya?"
"Jika pembantaian bisa menjadikan kami penguasa, kami akan melakukannya."
"Pandai sekali!" Malik II tertawa. "Setelah kalian menghabisi seluruh penduduk Surga. Kalian tidak punya tujuan apa pun. Kalian pikir aku tidak tahu bahwa kalian tidak bisa keluar dari Surga? Kalian diciptakan di dalam Surga. Karena itu kalian tidak bisa keluar dari dalam Surga, sebagaimana Penjaga Neraka lainnya yang tidak bisa masuk ke dalam Surga."
"Apa yang akan kami lakukan adalah pilihan kami!"
"Setelah Surga berisi kalian berempat, lantas apa? Kalian akan bunuh diri sebab tidak menahu harus melakukan apa? Kalian saling memandang satu sama lain untuk menunggu maut, bahkan kapan kiamat akan segera menghancurkan Surga. Jangan begitu polos!"
"Diam kau pengecut yang hanya berani menampakkan mata dan mulut!"
"Setidaknya aku tidak bodoh sepertimu!"
"Dasar kau, B*jingan!" Jacob hendak menghantam mata dan mulut Malik II, tetapi dihalangi oleh Sihir.
"Dia ada benarnya!" tutur Sihir. "Tahan amarahmu!"
"Dengarkan teman wanitamu itu! Dia memiliki otak, tidak sepertimu!"
Jacob pun mendecih kesal. "Langsung saja, apa yang akan kau tawarkan kepada kami?"
Malik II menyinggungkan senyum. "Kau menjadi pintar cepat sekali. Kurang lebih, aku mau mengajukan sebuah penawaran setelah kau membumihanguskan Distrik Selatan." Malik II mengambil jeda untuk menggiring fokus keempat Penjaga Neraka. "Aku tahu misimu adalah untuk menangkap atau membunuh Wafir, termasuk seluruh tentara. Karena itu, aku menawarkan kepadamu: jangan kau sentuh satu pun penduduk Surga, tetapi aku akan membantumu untuk menghabisi seluruh tentara di Surga!
"Termasuk para Jundun,
"Imam, dan ....
"Wafir.
"Aku akan membantu kalian untuk menghabisi semuanya!"
Jacob menyeringai. Ia terkesan dengan penawaran yang bagus itu. Sebuah bumbu pengkhianatan dari seorang raja untuk rakyatnya. "Menarik, aku ingin berjabat tangan untuk mengesahkan perjanjian ini. Sayang, kau tidak punya tangan melayang yang bisa kusalami."
Malik II dan Jacob sama-sama tersenyum. Babak baru dari Surga dimulai. Ketika Penjaga Neraka benar-benar menguasai Surga, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Bahkan, sang raja juga ikut berburu. Benarlah keputusan Khrisna yang dibawa oleh sang kakek. Mereka menyelamatkan keluarga Wafir dan Pak Luth. Tidak ada yang tersisa di Distrik Selatan, termasuk ketiga distrik lainnya. Seakan telah terendus.
Seluruh tentara, Jundun, dan Imam menghilang dari Surga kala itu.
—
Selatan, 22 Desember 0020
LEWAT TENGAH MALAM di ambang pondok kayu. Tak ada sinar yang menyeruak di antara rerimbunan pohon perdu yang berlomba-lomba menusuk langit. Bulan mulai dimakan masa, kehilangan bulat layaknya dilahap oleh raksasa semesta. Sebagaimana takdir para tentara sejak siang tadi, kebenaran telah dilahap oleh kebatilan dan itu dilakukan oleh sang raja sendiri.
Khrisna menunggangi Kon dan hendak meninggalkan Wafir tetap berada di pondok. Serigalanya telah melangkah keluar dari teras, menjejak tanah gambut becek yang menguarkan aroma hujan dan suhu dingin. Jika Khrisna tidak mengenakan jaket kehijauan khas Distrik Timur, tentu ia tidak akan berani keluar di kala malam selarut arang. Tubuh pucat pasinya tidak akan bertahan. Namun, ia masih harus berjalan untuk menyelamatkan para tentara, begitu kata sang kakek.
Sementara itu, Wafir masih menahan Khrisna dari ambang teras. Ia meremas jubah putih kebanggaan Imam keras-keras. Ia ragu seakan mengapa tak bisa berbuat apa-apa. Mengapa ia tiada sanggup mencegah tragedi memilukan seperti ini, tepat setelah penobatannya sebagai Imam. Bahkan, dia tidak diperkenankan turut serta oleh Khrisna. Lantas hatinya bergejolak layaknya amukan ombak di tengah lautan badai.
"Kau meletakkan kita di mana?" tanya Wafir, melipat dada dan gemetaran sendiri.
"Distrik Timur," jawab Khrisna tegas. "Tempat ini tidak akan dijamah oleh para Penjaga Neraka. Terlalu banyak orang-orang tangguh di sini. Rencananya, aku akan menuntun semua tentara ke distrik ini. Dimulai dari kamu dan keluargamu, Pak Luth dan keluarganya, para Jundun, Pak Goldy dan keluarganya, Pak Romo dan keluarganya, serta Pak Badri dan keluarganya. Satu-satunya Jundun yang masih belum ke Distrik Timur adalah Pak Ibrahim. Tidak ada yang mengetahui ia menghilang ke mana. Aku tetap harus mencarinya."
"Kalau begitu, biarkan aku ikut untuk mempermudah pencarianmu!"
"Tidak, kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu. Bukannya Pak Luth sudah mengatakannya kepadamu bahwa kekuatanmu mengundang para Penjaga Neraka?"
"Lantas, apa masalahnya? Kau saja baru sadar dari koma dan langsung berkeliling Surga untuk menyelamatkan seluruh tentara. Padahal tubuhnya saja sepucat mayat!"
Khrisna menggeleng. "Tidak, Wafir. Kasusku berbeda. Kau punya tugas yang berbeda."
Wafir terdiam. Berusaha mengingat tugas yang telah dibebankan kepadanya, tetapi tidak bisa mengembalikan kepingan memori ke dalam benak.
"Kau punya tanggung jawab untuk meneruskan darahmu untuk Surga," ujar Khrisna.
"Apa maksudmu?"
"Hamili istrimu dan berikan penerus Penjaga Neraka kepada Surga."
Wafir tersentak. Mengapa ia tidak bisa mengingatnya? Sebuah kewajiban bagi negara, juga bagi istrinya. Namun, ia lalai dalam sekali jentik. Ia tak terima awalnya, tetapi mulutnya terlalu kaku untuk mendebat Khrisna. Hingga kediamannya menjadikan jawaban bagi Khrisna. Wafir telah mengakui kesalahannya dan ia akan memperbaikinya. Ia pun menunduk malu, tak bisa mencegah kepergian Khrisna. Lantas, pada akhirnya tinggallah ia seorang diri.
Khrisna telah berlayar menjauh ke dalam hutan, bersama derap larian serigalanya.
Wafir kembali masuk ke dalam pondok. Ukurannya sempit dan lebih mirip dikatakan sebagai kosan. Bagian dalamnya hanya mampu menampung satu kamar tidur dan kamar mandi. Penerangannya mengandalkan nyala lampu minyak. Jingga dan menjilat-jilat, bau keletik mengalahkan dengungan nyamuk yang menyerang di kala hujan.
Wafir merebahkan diri di atas kasur yang empuknya sekeras batu. Ia memegangi kepala seakan mampu meledak kapan saja. Bunyi jangkrik di antara ilalang basah dan paduan suara katak di tengah genangan air hujan tak mampu menenangkan tekanan yang membelenggu benak. Kapan masalah ini akan berakhir? Begitu keluhnya.
Rika yang baru keluar dari kamar mandi, segera mengeringkan rambut yang sepanjang dada. Ia baru mandi dan kini bau kasturi menguar di seluruh penjuru kamar. Ia menggosokkan tiap helai ke handuk yang masih melilit tubuh kurus nan tegarnya. Setelah itu, ia mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Ia terheran menyaksikan Wafir yang menekan-nekan kepala sendiri. Ia hendak bertanya, tetapi ragu. Dia bisa membantu apa?
Wafir pun mengalihkan pandangan kepada sang istri. Ia menyaksikan wajah ketakutan seorang gadis yang hampir ia khianati. Di dalam hatinya lembut layaknya memandang bulan purnama. Meski begitu, hampir saja ia termakan prasangka. Ketika menyaksikan Rika keluar hanya berselimut handuk putih yang menyelimuti dada hingga betis. Dadanya sesak. Seperti pertanda sedang mendorongnya.
Dulu, Wafir tidak akan berani untuk mendekati gadis, bahkan sekadar main mata dengannya. Ibunya akan memarahinya jika tahu ia menjadi pria berandal seperti sang bapak. Namun, kali ini berbeda. Ada dorongan untuk menyentuh Rika. Bukan nafsu, tetapi kewajiban untuk menunaikan tugas. Untuk Surga, maupun untuk Rika.
Maka Wafir pun beranjak dari dipan, lalu memeluk Rika dari belakang.
Rika terperanjat merasakan tiap inci sentuhan jari Wafir yang melingkari perut, termasuk bibir manis yang mengecup leher. Sekujur tubuh gemetar dan mulut tak bisa meloloskan sepatah kata. Rika tiada yakin harus melakukan apa. Kejadian ini hampir sama ketika Khamar menyamar menjadi sang suami, tetapi sekarang beda. Rika tidak merasa takut ketika harus dipeluk oleh Wafir, tetapi nyaman. Ia ingin menangis untuk menumpahkan segala kekhawatiran, juga tertawa lega telah berkenan menemaninya.
"Rika, maafkan aku, ya," bisik Wafir. Setiap embusan napasnya menggetarkan hati Rika.
Rika mengangguk. Wajahnya memerah. "Mas Wafir mengapa hendak menikah lagi? Apakah Rika tidak bisa membuat Mas jatuh cinta kepada Rika?"
Wafir menggeleng, lalu menenggelamkan mukanya ke leher sang istri. "Aku yang salah. Aku harus lebih tegas untuk melindungimu. Seharusnya, aku yang bisa mencintaimu, Rika."
Rika berubah sendu. "Maafkan aku juga, Mas Wafir."
"Untuk apa?"
"Aku tidak bisa membantu Mas Wafir di masa-masa terburuk. Dari utang-utang yang membelenggu, tragedi Distrik Barat, dan kehancuran Distrik Selatan. Aku hanya bisa menyumbang sedikit dan itu pun tidak ada harganya."
"Jangan katakan itu. Kamu sudah membawa banyak berkat di kehidupanku, Rika." Wafir memberanikan diri mengecup pipi Rika.
"Mas Wafir ...."
"Hmm."
"Apakah Mas Wafir mau melakukannya sekarang?"
Wafir mengangguk. "Aku ingin menebus kesalahanku kepadamu, Rika istriku."
Rika menelan ludah keras-keras. "Mas, aku takut. Aku belum pernah melakukannya."
"Sama, aku juga."
Wafir membalikkan tubuh Rika menghadapnya. Ia menaikkan dagu sang istri yang menunduk malu untuk menatap mata hangatnya.
"Berjanjilah untuk melakukannya pelan-pelan, Mas," mohon Rika.
Wafir mengangguk. "Aku berjanji."
Dengan spontan, Wafir mendekatkan bibirnya ke mulut sang istri. Bagai dituntun oleh takdir Tuhan, ia melakukannya begitu natural. Ia melepaskan handuk yang melilit tubuh sang istri, lalu mendekapnya agar tetap hangat di kala malam menusukkan hawa dingin.
"Rika," bisik Wafir. "Maukah kamu mengandung anakku?"
Rika mengangguk. "Mau, Mas."
Setelah itu, Wafir mendaratkan ciuman ke bibir Rika. Ia mendekap sang istri erat-erat. Ia menuntun tangan sang istri untuk melepaskan mantel Imam kebanggaan dari tubuh kokohnya.
Wafir pun membopong Rika untuk mengantarkannya ke atas dipan. Cahaya jingga dari api lampu minyak dipadamkan, membiarkan sinar bulan menerangi kamar secara samar-samar. Pada kala itu, Wafir sudah mengikrarkan janjinya. Ia bukan Wafir yang lemah. Ia sudah menjadi pria dewasa. Kepala seluruh negeri dan seorang wanita sedang berada di genggaman, maka ia harus melindungi semuanya. Malam ini semua akan berbeda.
Wafir melepas keperjakaannya.
—
Timur, 23 Desember 0020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top