18 | Polygamy

KITA langsung ke Distrik Selatan!"

Pak Luth menyeret Wafir yang baru dinobatkan sebagai Imam tanpa basa-basi. Setelah siaran dimatikan, tidak ada kata-kata selamat maupun obrolan ringan. Semua diam dan bermuka masam. Lantas Pak Luth mengakhiri keheningan. Ia menggeret dengan lengan kekarnya, masuk ke dalam mobil jip hijau navy yang lusuh.

"Kau bisa menyetir?" tanya Pak Luth, menunggu di ambang pintu.

Wafir menggeleng. "Tidak, Pak."

Pak Luth mendorong Wafir untuk pindah ke pintu penumpang, lalu meninggalkan masuk sambil mendecih kesal. Dari sikap masamnya, Pak Luth benar-benar tidak menerima Wafir sebagai Imam.

Keduanya tiada memulai percakapan. Hanya diam sembari memandangi sawah dan ladang yang berlalu-lalang di kaca jendela. Langit sepenuhnya dicelupi tinta biru. Awan layaknya semburat putih di tenggeran cakrawala, membatasi ruang gelap yang jauh melayang di atas bumi. Tiap tumbuhan hijau menyumbang kicau burung meskipun harus berlomba dengan deru kendaraan bermotor. Hingga rasio bisikan alam lebih besar ketimbang bising polusi, mulailah mereka sampai di Distrik Selatan, wilayah pedesaan konservatif.

"Kau tahu kenapa kita harus bergegas ke Selatan?" Pak Luth mulai membuka pembicaraan, raut muka datar dan terus menghadap depan.

Wafir menggeleng. "Tidak, Pak."

"Singkatnya, kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu lagi."

Wafir tersentak. "Maksudnya, Pak? Kenapa tidak boleh?"

"Kau sadar, tidak. Kekuatanmu itu mengundang Fasadun!" Pak Luth masih memasang raut kesal, bisa karena Wafir atau masalah lainnya. "Tidak perlu banyak protes. Sudah jelas dalam seminggu ini Fasadun bermunculan, apalagi kemarin Penjaga Neraka muncul sejak keberadaanmu seminggu lalu."

Memangnya ada bukti? "Mungkin hanya kebetulan saja, Pak? Karena berdasarkan perkataan para Penjaga Neraka, mereka hanya mencari 19 orang dan saya adalah yang terakhir. Perkiraan saya, mereka mulai bergerak sebab persiapan sudah tuntas."

Pak Luth manggut-manggut, tetapi bibirnya seakan hendak menyemprot tawa meremehkan. "Ya, bisa saja. Tapi, aku tidak mau distrikku diporakporandakan oleh Penjaga Neraka sebab kekuatanmu. Kita sama-sama berspekulasi. Karena sekarang kau berada di dalam kuasaku, kaulah yang harus menurutiku, Wafir!"

"Iya, Pak." Sepertinya aku mulai paham polanya. Pak Luth sangat berbeda dengan Pak Romo. Ketika Imam hanya didapatkan oleh orang-orang yang kuat, tanpa memiliki otak. Jadilah orang-orang bodoh yang hanya mengikuti keinginan mereka.

Wafir tidak habis pikir untuk menahan kekuatan selama di Distrik Selatan. Beruntung sekarang matahari masih benderang di angkasa. Para Fasadun tidak akan berani keluar dan tidak mungkin ada Penjaga Neraka yang dapat memasuki Surga, kecuali wanita itu. Namun, masalahnya adalah, mengapa Wafir harus mengikuti Pak Luth. Bukannya mereka berdua sama-sama Imam sehingga tidak harus ada intimidasi atau sejenisnya.

"Tugas pertamamu adalah memberikan keturunan Penjaga Neraka kepada Surga." Pak Luth membuka topik lain, kali ini sangat menjijikkan. "Sekarang kutanya, bagaimana kemajuannya dengan istrimu itu?"

Wafir membelalak dan seakan bisa menyemburkan ludah ke kaca depan, terkejut. "Be-belum. Dia belum hamil."

"Bagaimana kau bisa tahu seyakin itu?"

"Sa-saya—aduh bagaimana bilangnya—saya belum menyentuhnya—"

Tamparan keras melayang ke pipi Wafir.

"KAU KURANG AJAR!" Pak Luth murka dan kesabarannya mendidih. "Mengapa kau mempermainkan anak gadis orang lain!?"

"Bukan begitu, Pak!" Wafir masih mengelus pipi yang memerah, bekas tamparan. "Saya sudah berciuman dengannya. Namun, saya masih belum mendapat firasat baik untuk melakukannya."

"Oh, kau tidak menyukainya?" tebak Pak Luth, lalu mengeluarkan tawa kecil. "Ya, sebenarnya ini sudah jadi rahasia umum. Sebagai pemilik Distrik Selatan, aku sudah paham bagaimana sifat dari keluarga Fasadun itu. Pak Imron, mertuamu, gemar main tangan, mabuk-mabukan, dan berjudi. Sementara Rika, istrimu, pasti tak jauh berbeda dari bapaknya. Buah jatuh tidak jauh dari pohon. Wanita keras sepertinya mana bisa membuatmu jatuh cinta."

Wafir tiba-tiba terdiam dalam badai di dalam pikiran. Perkataan sembrono Pak Luth yang diucapkan tanpa menimbang, kini menabrak isi kepala Wafir. Tentang bagaimana Rika bersikap dan alasan dia menjadi suami.

"Bahkan," tambah Pak Luth. "Di umurmu yang ke-20 ini, kau sudah punya uang yang banyak. Kau itu Imam, bahkan kau sudah membantu Pak Romo, orang terkaya di Surga. Tentu, perihal ekonomi tidak akan mencegahmu dari memiliki keturunan. Pasti, kau tidak yakin untuk menyentuh istrimu. Lagipula, kau dinikahkan dalam keadaan paksaan dan harus menurut layaknya ayam biakan."

Aku bahkan tidak berpikir sampai sejauh itu. "Lantas, mengapa Bapak membicarakan hal ini?" Aku mulai tidak nyaman.

"Seperti pertanyaanku di mula-mula, tujuan pembicaraan kita: apakah kau tahu alasan kita pergi ke Selatan?"

"Ya," sahut Wafir, ragu. "Dan Bapak bilang untuk aku tidak menggunakan kekuatanku." Yang mana tidak ada hubungannya.

"Ada dua poin sebenarnya," jawab Pak Luth. "Pertama, aku ingin menunjukkan mu senjata yang harus kau miliki. Ya, kau tahu, setiap Jundun memiliki senjata andalan masing-masing, sesuai bakat. Pak Goldy dengan tombak, yang sayang sekali tidak digunakan maksimal ketika melawan Qawl. Pak Romo dengan senapan, yang sayang sekali tidak bisa kau saksikan dalam pertarungan."

"Termasuk Mas Ray dengan tinjunya, Mas Hasbie dengan tombaknya, dan Rika dengan panahnya?"

Pak Luth mengangguk. "Kau cerdas meskipun naif." Ia tersenyum sendiri, seperti hampir mengubah pandangannya kepada Wafir. "Aku tidak akan melarangmu menggunakan kekuatan Penjaga Neraka jika aku tidak memberikan senjata pengganti. Di sini, aku akan memberikan senjata yang pas untukmu."

"Tapi, bagaimana mungkin Bapak bisa tahu senjata yang pas untukku? Aku bahkan tidak mahir beladiri, apalagi menggunakan senjata."

"Kau belum mengenal orang Selatan sepenuhnya, Wafir. Ya, Pak Romo mungkin pandai membaca karakter seseorang, tetapi orang Selatan memiliki intuisi yang kuat. Pertanda yang tidak bisa digambarkan dengan lisan dan wujud fisik. Kau, sebagai orang Utara dan pemilik kekuatan kristal apalagi dengan sikap polosmu, hati kecilku menuntun untuk memberikanmu satu senjata yang kusimpan. Senjata itu milik Malik I, Muhammad, dan para Imam sudah sepakat untuk memberikannya kepadamu."

Wafir tertegun, penasaran sekaligus kaget dengan hadiah yang akan ditemui.

"Lalu yang kedua," lanjut Pak Luth. "Nanti, di tempat tinggalku, aku ingin kau bertemu dengan putriku. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu ketika melihat karakter dan prilakunya. Sebagai seorang bapak yang menyayangi putrinya, aku memiliki firasat bahwa ...."

"Bahwa apa, Pak Luth?"

"Kalian berdua akan menjadi pasangan yang serasi."

Wafir tercekik oleh kesimpulan Pak Luth, yang amat mustahil. Satu istri saja terlampau menusuk ubun-ubun untuk diurus, apalagi harus punya dua. Bapak mertua yang pertama sudah mendidihkan hati, sekarang bapak mertua kedua yang tak lain adalah seorang Imam, yang mampu mencabut nyawa dalam sekali tendangan jika sang putri menangis.

Tak sengaja, Wafir menatap foto lawas kekuningan yang tertempel di bordes. Bukannya terhenyak sebab nostalgia antara bapak dan anak, Wafir malah merinding sendiri, ngeri padam ketika harus membayangkan skenario yang terjadi. Di sana, Pak Luth sedang merangkul pundak gadis muda berseragam sekolah putih abu-abu. Keduanya tersenyum lebar. Gadis berusia enam belas tahun itu sangat imut seperti permen kapas, apalagi dengan lesung pipi bersarang di ujung senyuman. Rambut pendek sebahu begitu manis dengan bando kuning. Kontras, Pak Luth memeluk dengan mengenakan seragam taekwondo bersabuk hitam. Kunciran rambutnya mengibar diterpa angin, yang mungkin saja terkibas oleh tubuh kokohnya.

Dari foto tersebut, Wafir mengajari hatinya sendiri untuk tidak macam-macam kepada kedua orang itu: Pak Luth dan putrinya, Fatima. (Tulisan kecil terukir di tanda nama seragam, jelas itu namanya.) Meski demikian, perasaan was-was menghantui kepala Wafir. Jika ia menolak untuk menerima pernikahan kedua dengan putri Pak Luth, dia tidak bisa mendapatkan senjata untuk bertahan hidup. Bahkan, bisa-bisa dia mati sebab telah melukai hati putrinya. Menurut Wafir, Pak Luth jelas adalah pria yang mencintai putrinya. Tadi saja, Pak Luth tak segan untuk menampar Wafir sebab dianggap telah melukai hati anak gadis orang lain.

"Bagaimana, Wafir? Tidak perlu lama untuk menentukan jawaban. Seorang Imam harus cepat mengambil keputusan!" desak Pak Luth, menyunggingkan senyum lebar. Ia benar-benar telah termakan intuisinya.

Bagaimana ini!? "Sa-saya—!"

Ponsel Wafir tiba-tiba berdering, memutus pembicaraan.

Kali ini, Tuhan menyelamatkan Wafir. Dilihat nama Rika tercetak jelas di layar. Tiba-tiba saja, dia menelepon tanpa perihal yang jelas. Namun, di sisi lain, Rika yang menelepon di kala Wafir sedang didesak topik untuk mengkhianati sang istri, bisa jadi melahirkan pertanda. Sebuah jawaban untuk masa depan dengan sang istri.

Pak Luth pun mempersilakan Wafir mengangkat telepon. Dengan tahu diri, ia bungkam dan menurunkan senyum penuh harap. Ia akan membiarkan Wafir untuk menangani istrinya dulu. Mungkin saja, tak akan lama, sebelum mereka berpisah, begitu pikir Pak Luth.

"Ada apa, Rika?" Wafir membuka pembicaraan.

"Mas Wafir lagi di mana? Omong-omong, selamat Mas karena sudah mendapat posisi sebagai Imam. Mas sangat luar biasa!"

Wafir tertawa malu. "Iya, terima kasih juga, Rika. Tanpa bantuanmu, aku juga tidak bisa berada di titik ini. Termasuk ponsel ini, bukannya ini kamu yang memberikannya untukku?"

"Ponsel itu tidak usah dianggap berlebihan. Itu ponsel bekasku. Jadi, memang sudah tidak dipakai."

"Begitu, ya. Tapi, aku senang kok akhirnya bisa punya ponsel, terlepas itu baru atau bekas." Nada bicara Wafir halus dan begitu menyejukkan. Pantas saja Rika bisa jatuh hati. Sebab ketulusan Wafir tidak dibuat-buat. "Tentang pertanyaanmu tadi, lokasiku sekarang hendak menuju Distrik Selatan. Aku sedang bersama Imam Luth sekarang."

"Senangnya! Kita bisa bertemu sebentar lagi! Kau tahu, Mas. Setelah mendengar berita Distrik Barat hendak meledak, aku khawatir dengan keadaan Mas Wafir. Bisa saja, Mas Wafir ...."

"Tidak, aku tidak akan mati semudah itu."

Rika tertawa dari balik telepon. Dia suka mendengar kepercayaan diri Wafir yang sudah mulai terbangun kokoh.

Tak lama setelah itu, mobil jip Pak Luth berhenti di tempat tujuan, rumah Pak Luth. Tempat tinggal dua lantai yang didominasi kayu dan cokelat tua. Atapnya tinggi dan banyak ditenggeri sarang burung. Aroma rempah menguar pekat dari dapur seperti sedang meramu jejamuan. Wafir pun buru-buru berpamitan untuk menutup telepon:

"Sudah dulu, Rika. Aku sudah sampai."

Baru saja Rika hendak mengucap salam, tiba-tiba di ambang pintunya menggema suara ketukan tiga kali. Matanya langsung bersinar terang. Hatinya berbunga-bunga sebab satu-satunya bayangan yang terlukis di benak adalah sosok sang suami. Dia akan disambut dengan wajah tampan dan tubuh gagah yang dibalut mantel putih panjang, seragam khas Imam.

Akan tetapi, Rika tak mengetahui kebenaran tentang di mana tempat tujuan Wafir. Jika sang suami tidak sedang berada di depan pintu dan sang bapak masih bekerja. Maka, satu-satunya kemungkinan orang yang tengah mencarinya adalah mereka. Keempat pertanda kematian.

Penjaga Neraka-lah yang ada di balik pintu.

Selatan, 22 Desember 0020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top