13 | Obligation
UTANG-UTANGMU lunas, Wafir!"
Malam itu pukul delapan dan Pak Imron menjenguk Rika setelah kejadian pada dini hari di Kota Batu, pasca melawan dua Penjaga Neraka. Seluruh Jundun dilarikan ke rumah sakit sebab tak sadarkan diri. Sementara itu, Pak Goldy dilarikan ke ICU kritis akibat kelelahan berhadapan dengan Qawl selama empat jam nonstop. Di sisi lain, Jundun dengan luka paling ringan adalah Ray. Tidak ada goresan sedikit pun di badannya. Karena itu, Ray menjadi satu-satunya Jundun yang tidak dirawat di rumah sakit.
Kembali ke Wafir, Pak Imron langsung masuk ke bangsal milik sang menantu, tepat di sebelah kiri Rika. Keduanya hanya dipisahkan oleh tirai jingga yang membagi ruangan menjadi dua bagian. Wafir dan Rika mendapat fasilitas kamar pasien kelas I sebab mereka Jundun. Dalam kelas I, satu kamar diisi oleh dua pasien dan dalam hal ini, Wafir bisa sekamar bersama Rika selaku pasangan suami istri.
Ruangan itu hangat dengan cat dinding dan langit-langit berwarna kuning. Pendingin udara dimatikan sebab Wafir dan Rika sudah cukup kedinginan di udara Bulan Desember. Televisi dimatikan sebab waktu tidur mulai dekat. Lampu bangsal Rika bahkan sudah padam setelah Pak Imron mengunjunginya. Ia hendak tidur. Kini, ia menuju Wafir di bangsal sebelah kiri, yang bersebelahan langsung dengan kamar mandi dan pintu masuk. Suasana sepi dan hanya dipenuhi obrolan lirih perawat yang sedang menyiapkan obat untuk waktu malam.
Bau antiseptik menguar bercampur sisa kuah sayur yang barusan dimakan oleh Wafir di meja pasien. Keringat yang menempel di kaos hitam dan celana pendek yang seharian tidak diganti menambah aroma aneh yang melayang di bangsalnya. Ia tidak bisa mandi dengan infus menempel di tangan kiri. Sebenarnya, dia tidak perlu dirawat di rumah sakit. Meski begitu, ia mengeluhkan dada dan punggungnya sakit setelah menerima pukulan dari Sodom. Karena itu, ia tidak diperbolehkan pulang hari ini setelah hasil rontgen keluar besok pagi.
"Terima kasih ..., Wafir," ucap Pak Imron, duduk di kursi tamu kuning yang terletak di sebelah kanan.
"Tidak, tidak, Pak. Saya yang seharusnya berterima kasih."
Wafir menunduk lega sekaligus bersyukur. Di dalam hatinya kaget, bagaimana bisa utang satu miliar lebih bisa lunas dalam sehari. Ia hanya merenung diam seraya memainkan selimut tebal loreng-loreng putih jingga yang menutupi kakinya.
"Kau heran?" Pak Imron membaca keheranan Wafir. "Mulai lagi kebodohanmu sampai-sampai aku harus menceritakan padamu panjang lebar. Padahal aku ingin segera keluar dari sini dan segera menghabiskan beberapa batang rokok setelah pulang kerja!"
Pak Imron mendecih risih, lalu menggaruk rambut acak-acakan yang dibasahi keringat, menjatuhkan banyak butiran putih ketombe. Ia memang baru pulang kerja dan masih mengenakan seragam hijau proyek serta membawa helm kuning. Badannya lengket berkeringat dan menguarkan bau asam. Wajah oriental yang awet muda begitu kusam dan dibubuhi debu-debu hitam.
Ia melirik jam hitam di tangan kanan, mengecek berapa banyak yang bisa ia berikan kepada Wafir untuk bercerita. "Sebentar saja aku cerita."
Wafir mengangguk takut, merasa tidak enak sebab Pak Imron kurang ikhlas.
"Singkatnya, keberhasilanmu membunuh seorang Penjaga Neraka menuntunmu untuk mendapatkan uang sebesar 500 juta," tutur Pak Imron, tersenyum lebar.
Wafir terbelalak menganga. "Banyak sekali!"
"Belum selesai!" putus Pak Imron. "Kau tahu, kan, Surga dipimpin oleh Malik II yang mendapat sokongan dari dari Imam Romo, orang terkaya di Surga sekaligus pemimpin Distrik Barat? Uang sebanyak itu berasal darinya. 500 juta itu sebagai wujud syukur semakin dekat menuju kemenangan. Apalagi untuk orang yang terlilit utang sepertimu."
"Ah, begitu." Memalukannya aku.
"Tapi belum selesai," sambung Pak Imron, mengangkat sebelah alis untuk memancing penasaran. "Setengah utangmu—500 juta lainnya—dilunasi oleh orang yang sama. Imam Romo jauh-jauh datang dari Distrik Barat ke Distrik Selatan untuk membeli gundukan kristal merah muda yang kau ciptakan sampai menghancurkan rumahku. Dia menawar 500 juta, lalu aku menyetujuinya. Namun, aku meminta tambahan 50 juta sebab aku menggunakan namamu yang sedang terlilit utang kepadaku. Setelah itu, Imam Romo bersedia. Dia bilang, kristal yang Wafir ciptakan sangat indah dan mampu meningkatkan kekuatan pabriknya."
Wafir manggut-manggut. Dia bersyukur tidak ada satu pun utang yang tersisa. Dalam semalam, dia ditimpa musibah yang menghunjam bertubi-tubi. Namun, dalam semalam juga dia mendapat berkat yang manis sekali. Tuhan berkehendak dengan kebijaksanaan-Nya dan Dia akan bersama orang-orang yang sabar.
"Pak Imron, siapa yang memberitahu Bapak semua ini?" tanya Wafir tiba-tiba, pertanyaannya tidak tertata.
"Maksudnya?" Pak Imron memicingkan mata, tidak paham. "550 juta dari penjualan kristal diberikan oleh Imam Romo langsung, sedangkan 500 juta dari hadiah mengalahkan Penjaga Neraka diberikan oleh seorang Jundun pria raksasa—aku tidak kenal dia—pokoknya dia tidak dirawat di rumah sakit."
"Mas Ray namanya?"
"Entahlah aku tidak tahu. Lagipula itu bukan urusanku. Yang penting aku sudah mendapatkan kembali uangku." Pak Imron berdiri dari kursi, lalu memasang helm kuning proyek kembali ke kepala. "Sudah dulu, aku ingin segera pulang ke Distrik Selatan. Aku besok masih kerja. Oh iya, Wafir. Aku titip Rika. Segera hamili dia dan berikan seorang anak Penjaga Neraka untuk Surga!"
Wafir mengangguk ragu. Ia terlalu takut untuk bersikap biasa di depan Pak Imron. Bahkan, ia harus memikirkan jawaban ribuan kali tiap menjawab maupun mengajukan pertanyaan ke Pak Imron. Meski begitu, ia sudah terbiasa untuk tidak memasukkan ke hati omongan bodoh dari mulut Pak Imron. Omongannya sendiri tidak pernah dipikirkan dulu, mengapa Wafir harus memikirkannya? Ketika Pak Imron sudah pergi, Wafir menghela napas lega dan mulai kembali merebahkan tubuh setelah duduk di sandaran kasur. Ia akhirnya bisa beristirahat, sebagaimana Rika. Namun—!
"Wafir, sudah tidur?" Sebuah suara membatalkan mata Wafir memejam. Suaranya berat dan serius. Wafir pernah mendengar suara ini.
"Mas Ray?" Wafir kembali duduk.
"Ya."
Ray masuk ke dalam bangsal yang sudah ditutupi korden jingga khas Distrik Pusat. Wajahnya datar dan matanya dipenuhi rasa takut serta penyesalan. Berbeda sekali dengan raut muka biasanya, Ray tak lagi sombong dan percaya diri, tidak seperti dirinya yang dulu: seorang Peringkat Pertama yang suka merundung.
"Ada apa Mas ke sini malam-malam? Ada yang bisa kubantu?" tanya Wafir sopan.
Ray menggeleng. "Terima kasih."
"Iya, Mas, tidak apa-apa." Pasti kejadian yang kemarin. "Lagipula aku kemarin bisa mengalahkan Qawl dan Sodom berkat bantuan Mas Ray, termasuk mengurung ledakan Kota Batu di dalam kubah kristal."
"Tidak hanya itu! Terima kasih kamu telah melindungi rahasiaku telah menjebak para Jundun ke dalam rencana Sodom. Demi Tuhan, aku tidak tahu dia akan membawa Qawl dan membantai seisi Kota Batu. Dia hanya menyuruhku untuk membawa Penjaga Neraka yang kabur—yang tidak lain dirimu, Wafir—kepadanya di Kota Batu."
Ray tak sadar memanggil Wafir dengan sebutan kamu, bukannya kau. Ia mulai bersikap lunak dan menaruh hormat serta kepercayaan kepada Wafir. Bahkan, sedari tadi dia bercerita, ia hanya menunduk dan bersuara lemah.
"Selain itu, ada lagi," sambung Ray, menggaruk belakang kepala sebab ragu. "Terima kasih juga karena telah menyembunyikan aibku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kata orang-orang, bahkan istriku, ketika tahu Sodom sudah mengotoriku."
"Tidak, tidak. Lagipula, Mas Ray jadi korban di sini. Aku akan merahasiakannya. Aku bahkan tidak ada niat untuk menceritakannya kepada Rika."
Ray mengembuskan napas lega, lalu tersenyum kecil. "Masalahnya, Wafir. Perasaanku sudah tidak sama lagi. Entah kenapa, aku juga memiliki ketertarikan kepada ...."
"Seorang lelaki?"
Ray mengangguk malu.
"Tidak apa-apa. Alasannya masuk akal. Aku paham, Mas Ray tidak pernah meminta takdir tersebut. Aku akan membantu Mas Ray untuk bisa mendendalikan perasaan itu."
"Tidak semudah itu, Wafir!"
"Kenapa?"
"Karena aku tertarik kepadamu."
Wafir terperanjat. Dengan refleks, ia mundur tiga kali geseran sebab takut kepada Ray.
"T-tapi, kenapa harus aku!?" tanya Wafir kacau.
"Kamu sadar tidak kalau kamu itu tampan? Wajahmu manis dan kulitmu mulus. Apalagi sifat polos yang sangat menggemaskan. Ya, jika kamu seorang perempuan, aku akan menikahimu dan menjadikanmu istri keduaku."
"Mas Ray bercanda, kan?"
Ray menggeleng. "Tidak."
Wafir dan Ray spontan menyemburkan tawa bersamaan. Meskipun di dalam hati sama-sama takut, tak ada hal yang lebih mengerikan apabila diutarakan dengan kejujuran dan niat baik. Dengan Ray jujur begini, Wafir bisa membantu dan melindunginya. Lagipula keduanya tahu bahwa hubungan sesama jenis tidak akan bisa terjadi dan mengakibatkan dosa besar. Apalagi keduanya sudah memiliki istri yang cantik dan sangat mencintai masing-masing suami. Karena itu, Wafir dan Ray sama-sama tertawa.
Secara tak sadar, Wafir dan Ray telah memulai bibir persahabatan yang erat untuk di masa depan. Namun—!
"Permisi!" suara seorang pemuda renyah dengan logat perkotaan, menyeruak dari luar bangsal. "Apakah ini kamar Wafir Wahyu?"
Wafir mengangguk. "Benar."
Ray sontak berdiri melindungi Wafir dan memasang wajah garang. "Maaf, kau siapa?"
Pemuda itu pun membuka korden yang menutupi bangsal. Tampaklah ia seorang pemuda rapi berjas dan berdasi. Dari tubuhnya menguar bau minyak wangi mint dan bercampur aroma laut. Tatapannya serius seperti orang kaya. Rambutnya panjang klimis yang menutupi kacamata persegi di antara telinga. Di tangan kanan, ia menggenggam selembar hasil rontgen dan secarik surat beserta satu kantong obat.
"Hasil rontgen Anda sudah keluar. Anda dinyatakan tidak apa-apa. Anda bisa keluar dari rumah sakit sekarang. Saya sudah membawa surat pengantar dan resep obat yang harus Anda minum," tutur pemuda rapi itu bernada formal. "Untuk itu, ikutlah dengan saya. Saya membawa perintah dari para Imam untuk menjemput Anda. Anda harus pulang bersama saya ke Distrik Barat."
Wafir dan Ray mengernyitkan dahi, tak percaya. Meski kaget, mereka masih belum bisa memikirkan kemungkinan alasan Wafir diperintahkan ke Distrik Barat dalam waktu cepat, apalagi oleh pemuda berpenampilan sekaya ini. Walau begitu, ada satu hal yang ganjil tentang pemuda klimis itu: Ray familiar dengan penampilannya.
"Aku seperti pernah melihat dirimu," tanya Ray, memicingkan mata. "Siapa kau?"
Pemuda itu melepas kacamata, lalu memasukkannya di saku jas. Ia menundukkan badan sesaat untuk memberikan salam, lalu berdiri tegap. Ia pun membuka mulut dan memperkenalkan diri:
"Saya Hasbie—Jundun peringkat ketiga. Saya putra Imam Romo."
—
Pusat, 20 Desember 0020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top