10 | Earthquake
SURAT WASIAT ditulis serempak malam itu oleh 50 Jundun yang siap mati.
Pukul 19.30 mereka memulai konvoi yang terdiri dari 50 orang Jundun. Dari Distrik Pusat mereka pergi ke barat daya hingga sampai di Kota Batu. Mereka tak bergegas ke dalam dan hanya mengawasi di pintu masuk yang terhampar padang rumput luas layaknya lembah. Mereka berkemah, menunggu tengah malam. Harap-harap cemas, tetapi antusias mereka ingin menaklukkan Penjaga Neraka meski mereka bisa menciptakan gempa yang membinasakan seisi kota.
Wafi datang paling terlambat dengan membonceng Rika. Motor bebek merah butut hasil pinjaman ke Pak Imron, benar-benar membuat Wafi tertinggal jauh di belakang. Menjadikannya bahan tertawaan para Jundun yang sudah mendirikan tenda untuk dua orang di tiap sudut lembah. Tawa keras mereka benar-benar tak menggambarkan telah menulis surat wasiat, jaga-jaga kematian menjemput cepat mereka.
Malam itu, bulan purnama mulai kehilangan bulat sempurna. Warna kemerahan membias di atas permukaan sebab polusi yang menjadi-jadi akibat kehancuran banyak kota belakangan ini. Setiap Jundun duduk-duduk menggelar matras dua-lima orang di depan tenda. Bersenang-senang menertawakan Wafi tanpa ada rasa hormat meskipun dia adalah sang Peringkat Pertama.
Wafi mendirikan tenda di bagian lembah terluar, paling jauh dari pintu masuk Kota Batu. Pohon pinus memancang tinggi sepuluh meter di samping. Ia memilih menjaga jarak dari semua Jundun yang membencinya. Ia tak ingin dilihat direndahkan di depan sang istri meskipun Rika sendiri tidak mempermasalahkan perlakuan Jundun lain.
Hampir tengah malam, Wafi tidak bisa tidur dan hanya mampu memandangi langit bertabur bintang. Suara jangkrik mengerik dan derik daun mengelus kuping terhempas angin. Bau lumut dan air di atas tanah gambut menguar menemani suasana malam yang mulai sepi. Hanya ada lima sampai sepuluh Jundun yang masih terbangun, bergantian dengan kawan lain.
"Mas Wafi, tidurlah. Jangan sampai kamu kelelahan ketika Penjaga Neraka benar-benar muncul di depan kita," saran Rika, terduduk di samping Wafi.
"Iya," jawab Wafi lemas. "Aku bingung. Mengapa kalian lebih memilih mati untuk bisa berhadapan dengan Penjaga Neraka. Padahal kalian tahu sendiri kan bagaimana mengerikannya mereka? Kau tak bisa kabur setelah bertemu dengan mereka."
Rika mengangguk lemah. "Mas Wafi, kamu tahu kan kalau bumi semakin dekat dengan hari akhir?"
"Tahu."
"Sebentar lagi kita semua akan mati dimakan kiamat. Karena itu, kami ingin bertarung mati-matian untuk mengalahkan Fasadun meskipun kami tahu akan mati."
"Tapi, mengapa aku menangkapnya sebagai arogansi?"
Rika tertawa kecil. "Kamu berharap apa dari seorang laki-laki. Mereka memang seperti itu, brengsek."
Wafi tersenyum sendu, mulai paham maksud sang istri.
"Mas Wafi terlalu lembek dan berpangku tangan dalam menghadapi hidup. Mas Wafi juga paham di dunia ini isinya penderitaan. Mas Wafi bahkan harus terlilit utang sangat banyak. Bagiku, mati lebih enak sebelum kiamat datang," ujar Rika sendu, menatap rerumputan yang sedang ia mainkan. "Seburuk-buruk manusia adalah yang hidup di akhir zaman."
Wafi pun tertawa singkat sekali lagi. Tak sadar tangannya mengelus kepala Rika. Andai kau tahu awalnya aku ingin sekali melihat kedua orang tuaku mati, tetapi aku tidak tahu bagaimana nasib mereka sekarang. Ia pun mengarahkan pandangan ke arah lain hutan, ke sisi gelap. Namun—!
Sesosok berambut panjang mengerikan berdiri di kegelapan, membawa sebuah kepala.
Wafi tersentak dan sontak beranjak ketakutan. "Rika, PERGI DARI SINI!"
Wafi mengejutkan semua orang. Ia ketakutan seperti seorang yang melihat setan, padahal faktanya demikian. Tadi ia seakan melihat seorang pria berambut panjang. Matanya merah dan kulitnya pucat. Ia menyeringai angkuh dengan mengeluarkan gigi taring. Di genggaman tangan kanan, ia membawa sebuah kepala yang menganga dijambak. Wafi tidak percaya hantu, karena itu ia yakin satu hal. Itu tadi Penjaga Neraka.
Namun, tidak ada seorang pun yang mempercayai Wafi. Mereka tertawa dan melirik Wafi risih. Bagaimana tidak, sekarang sudah lewat tengah malam dan Wafi telah membangunkan hampir seluruh Jundun yang sedang berkemah. Lima orang Jundun mengeceknya di arah kegelapan yang Wafi maksud, tetapi tak ada apa pun di sana. Mereka mencemooh Wafi bahwa dia sedang berhalusinasi terlalu takut. Namun, Wafi bersumpah tidak pernah berkata kebohongan kepada siapa pun.
Untuk itu, Wafi meminta Rika berpindah ke arah yang lebih dekat dengan pintu masuk Kota Batu. Beruntung ia mampu mengambil kepercayaan sang istri sehingga ia pun yakin dan menurut. Sementara itu, ia pun ditertawakan oleh banyak orang, termasuk Ray yang sedang menjelek-jelekkan Wafi kepada Pak Goldy.
"Pecundang itu bikin gara-gara lagi," ejek Ray tertawa.
"Biarkan saja, dia baru anak kemarin sore." Pak Goldy lanjut menyedot rokok, lalu membumbungkan asap.
"Ia terlalu banyak nonton film horor sampai melihat hantu yang membawa kepala, hahaha—!"
Sebuah kepala terbanting dari langit.
Semua orang terkejut sampai tersentak dalam sekali hentak. Mereka melihat dan mendengar sumber yang sama di tengah lembah. Sebuah kepala dengan mata putih melotot dan mulut menganga beserta lidah menjulur. Kepala itu seperti seorang bapak-bapak pedagang yang dipenggal oleh orang asing.
Para Jundun yang mundur ketakutan akhirnya bisa menarik benang merah. Jika sebuah kepala dapat jatuh dari langit seperti perkataan Wafi, maka pria berambut panjang yang menyeringai di tengah kegelapan adalah benar adanya. Dia bukan hantu, melainkan Penjaga Neraka—!
Segelinding kepala itu meledak, membumbungkan kepulan debu tinggi, dan menggetarkan bumi sedahsyah-dahsyatnya.
Tak ada yang mampu terbangun selama lima menit ledakan tadi. Hanya bisa menunggu kepulan debu mulai memudar dan menampakkan langit malam yang disinari rembulan kemerahan. Hingga seorang pria berdiri tegak di tengah lembah, dikelilingi oleh tubuh Jundun yang berserakan tak sadarkan diri.
"Siapa yang mampu bertahan dari ledakan ini?" tuturnya serak, memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie biru dongker. "Ah, pasti pria berotot angkuh dengan rambut hitam bergelombang atau tidak pria berambut panjang emas yang banyak dipanggil Pak oleh orang-orang. Mari tunjukkan keberadaanmu—!"
Gundukan kristal merah muda tajam tumbuh bergulung-gulung melindungi para Jundun dan memecah kepulan debu.
Sesosok pemuda berperawakan kurus masih berdiri di tengah ledakan tadi. Meskipun posturnya tak tegak dan kini gontai, ia adalah satu-satunya yang tidak hilang kesadaran dari ledakan sebesar bom tadi. Dia pemuda lugu dengan mata sendu, menatap murka meskipun sedang berdarah-darah.
"Akulah sang Peringkat Pertama!" teriak sosok itu lantang. Aku mulai paham maksud semangat juang hingga matimu, Rika.
Dia, Wafi, akan melawan sosok peledak itu yang merupakan sesama Penjaga Neraka. Hingga sosok itu melepaskan hoodie biru dongker, lalu menampakkan tato Penjaga Neraka di leher kanan dan kiri.
"B-bagaimana bisa kau menciptakan kristal seperti Penjaga Neraka—oh, aku paham!" ucap sosok itu manggut-manggut. Ia menutup mata kanan dengan tangan kanan, lalu tampak jelas tato bertuliskan 8 di sana. Dia pun memperkenalkan diri:
"Aku Qawl. Penjaga Neraka gerbang kekejian ke-8."
Wafi mengernyit tak paham maksud Qawl. Pemuda itu masih berumur 25 tahun, tetapi penampilan tidak terurus seperti jarang mandi. Rambutnya panjang keriting sebahu kecoklatan dan berewok memenuhi dagu tidak pernah dicukur. Dia kurus dengan angkuh tertawa sekeras-kerasnya. Dia adalah sosok yang sempat Wafi lihat di tengah kegelapan hutan pinus berdiri seraya mengangkat sebuah kepala.
"Aku akan membebaskanmu dari orang-orang suci ini!" ajak Qawl kepada Wafi. Ketika Qawl mendekati Wafi, kristal tajam bergulung-gulung tercipta.
"PERGILAH!" Wafi tidak pernah seberani ini. Ia menantang seorang Penjaga Neraka seorang diri, padahal dirinya sendiri tahu tak akan menang. Dia mampu meledakkan bagian tubuhnya. Jadi, gempa-gempa itu disebabkan oleh Penjaga Neraka ini? Pantas aku mendengar dentuman keras sebelum gempa di Kota Kawah.
"Kau terlalu congkak!"
Qawl melesat langsung ke depan Wafi. Gerakannya secepat angin sampai-sampai Wafi tak mampu melihat pergerakannya. Ia dengan santai dapat menendang muka Wafi hingga hidungnya patah. Namun—!
Pak Goldy tiba-tiba menangkis tendangan Qawl, tepat waktu menyelamatkan Wafi.
"Kerja bagus, Wafi!" puji Pak Goldy memegangi dada, sakit. "Kau mampu memanfaatkan kristalmu untuk selamat dari ledakan dahsyat tadi. Maaf kami tidak mempercayaimu sebelumnya, setidaknya kau bisa menyelamatkan Rika. Terima kasih juga telah melindungi kami setelahnya. Sekarang, biar aku gantian membantumu menghadapi Penjaga Neraka ini."
Wafi bernapas lega. Pak Goldy setidaknya masih hidup dan dapat bertarung bersamanya. Dengan ini, ia boleh percaya diri mampu mengalahkan Qawl. Wafi dan Pak Goldy akan melawan Qawl. Namun, Wafi ditarik ke arah semak belukar.
Ray membekap dan menyuruh Wafi untuk diam, lalu mengikutinya. Jika Ray masih sempat untuk mengerjai Wafi di kala darurat seperti ini, sungguh kebenciannya terhadap Wafi pasti sangatlah besar. Namun, raut mukanya begitu fokus ke depan seraya mengendap-endap. Ia menuntun Wafi untuk masuk ke dalam pintu gerbang Kota Batu.
"Wafi, aku harus segera membawamu pergi," ujar Ray berbisik tanpa menoleh.
"Tapi, kenapa!? Biarkan aku membantu Pak Goldy. Meski aku tahu kekuatan Imam setara dengan Penjaga Neraka, tetapi kemungkinan terbesar keduanya akan sama-sama menemui ajal!"
"Itu tidak penting! Jika Pak Goldy mati, setidaknya kau tidak mati. Namun, jika kau mati dan Pak Goldy mati, itu akan merugikan Surga. Aku masih belum bisa percaya kekuatanmu. Ya, meskipun kau sudah berlagak sombong tadi sebagai sang Peringkat Pertama."
Wafi menunduk malu. Ia terdiam tak melakukan protes. Ia memilih menurut mengikuti Ray yang berjingkat membelah semak belukar. Sejujurnya, Wafi tak percaya Ray kini ingin melindunginya meskipun sebelumnya ia selalu menyiksa Wafi. Meski begitu, Wafi tersenyum lega sekarang. Setidaknya, ia senang Ray masih memiliki hati dan menahan diri untuk tidak merundungnya.
"Baik, kita aman." Ray mulai melangkah biasa ketika sudah menemui jalan setapak menuju gerbang Kota Batu.
"Terima kasih, Mas Ray."
Ray tersenyum dan wajahnya merah tersipu malu. Ia tak pernah menunjukkan raut selembut ini di depan siapa pun, termasuk Wafi. Ray akhirnya bisa melepas stres sebab ia bisa selamat ketika telah melewati gerbang Kota Batu. Namun, ia tersentak tak percaya ketika menyaksikan apa yang ada di balik gerbang.
Seluruh penduduk Kota Batu telah tewas.
Mayat-mayat bergelimpangan dengan gedung-gedung masih kokoh berdiri. Pada detik itu, Ray sadar bahwa Qawl bukanlah dalang pembantaian halus ini. Hingga ia mendapati sesosok pria gagah nan tampan berdiri tegap di tengah jalan utama.
"Bertemu lagi denganmu, Ray!" ucap sosok itu berat.
Di lehernya, terukir tato Penjaga Neraka dan di punggung telapak tangan kanan tertulis angka 3. Peringkat yang sangat tinggi.
Ray membelalak ingin mati. Tubuhnya membeku tak dapat digerakkan dan napasnya tak mampu ditarik sekejap. Begitu pula Wafi yang paniknya lebih gila daripada Ray.
Penjaga Neraka itu melirik Wafi dengan tatapan haus darah. "Apakah dia Penjaga Neraka yang telah kau janjikan kepadaku?"
"Mas Ray ..., apa maksudnya—!?"
Ray sontak memukul tengkuk Wafi sampai ia tak sadarkan diri. Ia membopong tubuh Wafi, mengikuti Penjaga Neraka tak dikenal yang seperti familiar baginya. Bahkan, mereka seperti sudah berteman lama. Meski Ray berjalan tegang seperti hendak mati, ia patuh kepada sosok Penjaga Neraka itu. Pada akhirnya, ada satu hal yang pasti.
Ray selama ini adalah mata-mata Penjaga Neraka di dalam Surga.
—
Kota Batu, 20 Desember 0020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top