1 | The Warden of Hell

NERAKA diawasi 19 penjaga yang kejam, tetapi taat kepada Tuhannya."

Dua belas jam setelah gempa meluluhlantakkan Kota Kawah. Puing-puing dan jasad bergelimpangan. Salju putih bercampur merah darah beranjak mengering. Bau anyir terbawa angin dingin yang kehabisan butiran salju.

Suara tadi, tentang neraka dan penjaganya, menyeruak puing-puing. Di hadapan bak mandi kosong, berdiri pria raksasa misterius. Ditutupi mantel hitam berbulu, sosok itu tak asing.

Ia menatap lekat-lekat bekas bak mandi. "Kau ... kabur, Wafi?"

Pria raksasa itu melepas tudung mantel. Rambut ikal kecoklatan tersapu angin. Ia mencopot kacamata hitam agar memandang lebih jelas, dan tampaklah mata kemerahan yang jarang tidur. Itu dia. Sosok yang telah menculik dan menyiksa Wafi.

Dia menyeringai. "Kau tidak bisa kabur dari Penjaga Neraka sepertiku, Nak!" Dugaan Wafi benar.

Penjaga Neraka mulai bergerak.

***

KAU budakku."

Khrisna mencengkeram dagu Wafi. Berewok tipis keduanya bertabrakan. Dia menyeringai, dan mendecap-decap.

Wafi mengira Khrisna adalah sosok penyelamat, awalnya. Takut dibunuh sebentar lagi, ia membelalak. Sudah tiga kali ia berjengit dicengkeram, tetapi Khrisna enggan mengurangi kekuatan bagai orang sadis

Bodoh! Apa bedanya dengan ditangkap dan disiksa di bak mandi tadi! Memang, aku sebaiknya mati membeku, tetapi apakah Tuhanku mengazabku secepat ini sebab telah membunuh seisi Kota Kawah sebab doaku!? Wafi meringis kesakitan. Belum semenit dia mengerjapkan mata. Seringai haus darah menyambut, dari lelaki yang semula dikira penolong. Awalnya, aku pikir dia lelaki baik dan pemberani. Nyatanya dia tak berbeda dengan orang-orang gila yang bermunculan 19 bulan lalu.

"Wafi, kau tahu." Khrisna mendekatkan mata hingga sejengkal. "Bagaimana peraturan tak tertulis sejak bumi menggila 19 bulan belakangan ini?"

Tak perlu dijelaskan, aku sudah tahu jawabannya. "Kau tak berbeda dari para mafia budak!"

"Benar sekali!" Khrisna tersenyum hingga menampakkan geraham. "Aku memang tak berbeda dari mafia budak. Memang, sejak orang-orang lenyap secara misterius banyak oknum yang memanfaatkan fenomena itu. Pemerkosaan, penjualan organ, dan perdagangan manusia. Hingga ide gila tentang perbudakan muncul, ketika seorang manusia menghilang, mereka langsung putus asa mencarinya.

"Dan seperti inilah nasibmu sekarang! Kau kini menjadi budakku setelah aku memilikimu! Lihatlah dirimu, Boy! Aku benar-benar sangat beruntung memiliki budak sepertimu!"

Khrisna menunjuk badan putih Wafi yang tidak tertutup sempurna mantel hitam. Dada bidang dan perut keras terukir perkasa. Guratan otot yang mengalir indah di tangan dan kaki mengalur seakan mengandung kekuatan yang tangguh. Apalagi wajah tampan campuran Arab, Rusia, dan Oriental, sangat indah dipadu padan. Bahkan bibir merah muda yang mulai kembali segar, mengundang untuk dikecup. Aroma mawar menguar dari sana, mulut yang tak pernah merokok.

"Siapa namamu?" tanya Khrisna. "Jawab saja! Aku punya pendengaran yang bagus! Bukankah aku daritadi bisa mendengarmu meskipun kau bergumam tertutup selotip hitam?"

"Wafi!" Ia memalingkan muka. "Artinya melimpah."

Khrisna mencabut selotip di mulut Wafi.

"SAKIT!"

Khrisna terperangah. "Wow! Jika aku menjualmu, aku akan akan kaya sekali. Lihatlah dirimu! Kau adalah malaikat!"

Wafi mengelus mulut. Ia mengecek bekas luka yang ditimbulkan sobekan selotip. Dia meringis dan berjengit, seakan kesal bercampur takut. Aku tidak akan mau berbicara denganmu. Mana sudi aku! Namun, mendengar kata 'malaikat', wajah Wafi memerah. Aku tak pantas digambarkan sebagai malaikat, kecuali malaikat penjaga neraka. Bahkan, bisa saja mereka sedang mengejarku sebab doaku telah membunuh seisi kota yang tidak berdosa.

"Tenang, Wafi. Aku tidak akan macam-macam kepadamu," goda Khrisna. "Aku tidak tertarik dengan lelaki. Aku lebih tertarik untuk menciptakan bala tentara."

Wafi mengernyitkan dahi. Dia melirik Khrisna dan duduk dengan menekuk lutut. Jaga-jaga Khrisna berbuat usil lagi.

"Di mana kita?" Wafi membuang muka. Setidaknya, aku bertanya hal yang penting meskipun aku masih belum mempercayainya.

Khrisna menunjuk belakang bahu dengan jempol. Ia menarik gorden merah tua yang berada di kiri Wafi.

Dalam sekali sentak, seisi ruangan terang, menyingkirkan keremangan yang mengganggu. Kamar kontrakan ini seukuran tiga kali empat meter. Dinding dan lantai kayu adalah tempat Khrisna menyekap Wafi. Mereka berdua duduk di atas dipan. Jerami menyembul keluar. Selimut dari buru biri-biri terlipat di atas. Tempat ini lebih mirip kabin daripada rumah. 

Di mana ini? Benar-benar berbeda daripada Kota Kawah yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi dan ruko. Wafi melirik ke luar jendela, lalu terperangah. "Terpujilah Tuhan langit dan bumi!"

Di luar tidak ada salju. Berbeda dari Kota Kawah di pertengahan Desember yang selalu diselimuti es dan suhu dingin. Tempat ini hijau dengan padang rumput membentang luas. Pohon perdu rindang dan semak belukar menembus langit. Gemercik sungai membelah lembah ke ujung hutan lebat.

"Di mana ini?" tanya Wafi.

"Surga." Khrisna merobohkan kepala ke punggung Wafi. Napasnya mengelus kuping.

Wafi bergeser sejengkal secepat kilat dan mendesis. "Aku tak suka dipeluk dari belakang apalagi oleh lelaki!" Punggung menempel jendela kaca yang hangat kuku. Tapi tunggu. Dia terperangah. 

Wajah Khrisna kini sejelas batu di balik mata air

Ia begitu memesona. Rambut coklat keemasan meliuk bagai penduduk negeri barat (Eropa) yang tenggelam 20 tahun lalu. Wajahnya manis tak berkumis dan tak berjanggut, apalagi dengan hidung mancung yang tegas. Bibirnya merah muda berbentuk hati. Pakaian kemeja hitam lengan panjang begitu gagah dipadupadankan dengan celana kargo yang sama warna.

Dia ... tidak seperti orang jahat. Dia masih muda. Wafi mengernyitkan dahi; ragu. "Berapa umurmu?"

"Berapa umurmu, Wafi?" timpal Khrisna.

Wafi mendecih. Ia adalah budak, dan budak tidak boleh membantah. Termasuk kabur dari tuannya. "20."

"Beda tipis. Aku 22."

Wafi mengangguk kecil. Aku akui memang Khrisna lebih percaya diri dan senior, terutama dari caranya tersenyum dengan menarik bibir ke satu sisi. Benar-benar tengil.

"Kenapa?" goda Khrisna.

"T-tidak .... Kau hanya sedikit tampan. Sedikit."

Khrisna tersedak tawa seperti memuncratkan minuman. Ia tertawa terbahak-bahak.

Wafi menggaruk-garuk bagian belakang kepala yang tak gatal. "Memangnya, aku salah apa?"

"Tidak-tidak! Kau lucu sekali, Wafi! Kau sangat lugu! Jika kau adalah wanita. Aku akan menikahimu!"

Wafi memutar bola mata. Aku tak suka humor seperti barusan. Tapi, itu tidak penting. Aku lebih penasaran dengan tempat bernama Surga ini. Kalau sekarang sudah siang, normalnya aku sudah tertidur selama 12 jam, dan belum mati. Tempat ini seharusnya masih satu benua dengan Kota Kawah. Memang, sejak gempa dahsyat 19 bulan lalu, daratan menghubungkan seluruh Asia sehingga negara kepulauan, seperti Indonesia terhubung menjadi satu, dan anomali seperti turunnya salju mulai terjadi.

"Wafi." Khrisna menelengkan kepala. "Ikut aku berlatih bersama serigalaku, Kon. Nanti malam, aku ingin berburu."

"Berburu apa?"

"Sudah, lihat saja nanti."

Wafi bungkam. Dia menenggelamkan wajah ke lipatan tangan yang memeluk lutut. Dia selalu merahasiakan segala sesuatu, termasuk kakeknya- Tunggu! "Di mana kakekmu?"

Khrisna memicingkan mata, lalu menarik bibir seakan ingin menertawai. "Beliau sedang keluar belakangan ini. Aku rasa, ini sebabnya beliau menyarankanku untuk berburu budak di Kota Kawah. Beliau tahu, akan ada gempa raksasa yang meluluhlantakkan kota itu. Ya, beruntung kota itu tidak tenggelam ke laut sebagaimana negeri barat dan timur."

"Oh, begitu." Wafi mengangguk kecil; paham. "Tapi, aku masih bingung. Aku melihat bola mata melayang di belakang kita ketika kau memanggil kakek. Apakah kakekmu adalah dukun?"

"Dukun? Jangan konyol! Beliau adalah pak tua yang taat pada ajaran agama. Ya, aku akui beliau sangat jenius sampai bisa menciptakan peralatan canggih yang bisa memunculkan sesuatu untuk mengawasiku seperti bola mata, tetapi aku bisa meyakinkanmu, beliau tidak menggunakan ilmu hitam!"

"Oh, begitu."

Wafi mengunci mulut, lalu manggut-manggut. Ia mengintip tubuh telanjang yang dibalut mantel hitam. Sempurna. Dia sudah sebatang kara, kini ia tak memiliki harta benda meski hanya sehelai pakaian.

Semua berubah buruk dalam sekejap: menjadi budak, kampung halaman hancur, dan (bisa jadi) ia sedang dikejar oleh penjaga neraka sebab doanya yang lalu. Ia menanggung dosa yang sangat besar. 

Ada satu hal yang lebih penting. Wafi belum tahu apakah tujuannya tercapai. Semoga saja bapak dan pria yang menculikku tewas ditelan gempa.

***

TENGAH MALAM di antara rerimbunan hutan, berduaan saja. Wafi dan Khrisna menyusuri kegelapan, berharap tidak akan terjadi apa-apa.

Wafi mengikuti langkah Khrisna yang lebar dan tegap. Mengekor di belakang tanpa tahu apa-apa, Wafi hanya bisa menurut. Khrisna sedari tadi enggan menjawab segala pertanyaan.

Di tengah kegelapan malam, perdu menjulang tinggi, menyisakan sedikit cahaya rembulan dan gemintang yang menyeruak sela-sela daun tajam. Suara jangkrik dan binatang malam memecah keheningan, menemani derap langkah sepatu boot.

Wafi kini berpakaian sama seperti Khrisna, apalagi kebetulan ia memiliki ukuran baju yang seragam. Tinggi kurang lebih 170 sentimeter dan berat badan 65 kilogram. Mantel hitam menjuntai selutut. Celana kargo yang sewarna terpasang gagah senada dengan kaos polos. Sementara itu, Khrisna menggunakan kemeja dengan membawa pedang tertaut di pinggang.

Apa yang hendak Khrisna buru di sini? Seingatku, ada pasar dekat dengan kabin tempat kami tinggal. Mengapa ia ingin berburu lagi?

"Wafi, apa kau bisa berkelahi?" Khrisna melirik sedikit ke belakang. Masih fokus ke jalanan setapak.

Wafi menggeleng. "Belum pernah."

"Sayang sekali. Kau tahu, kita di sini tidak akan memburu binatang."

"Lantas apa?"

"Fasadun," Khrisna memberatkan suara. "Kita akan berburu manusia." 

Bulu kuduk keduanya meremang serempak. "Kau jangan bercanda!"

"Kau tahu cerita tentang Fasadun?"

Wafi menggeleng. "Tidak, apa kau mencari budak lagi?"

"Tidak, kau salah paham. Dengarkan aku. Bukannya kita berdua sudah sering mendengar tentang kasus orang hilang selama 19 bulan terakhir? Mereka tidak hilang tanpa sebab. Mereka diculik untuk dijadikan bala tentara kelompok bernama Fasadun. Mereka memiliki arti perusak. Karena itulah, mereka menangkap orang sebanyak-banyaknya untuk menjadi anak buah yang kemudian dinamakan sebagai Penghuni Neraka."

Wafi mengernyitkan dahi. Memang sudah banyak anomali yang terjadi sejak hari kelahiran. Namun, ia tak pernah mendengarkan konspirasi sekonyol itu, apalagi keluar dari mulut orang segagah Khrisna.

"Jangan bercanda!" seru Wafi.

"Ini bukan dongeng! Kau akan melihatnya wujud dari Fasadun, alias Penghuni Neraka. Mereka berkulit putih pucat atau hitam legam. Matanya hitam dengan iris berwarna merah darah. Beberapa tanduk mencuat dari atas kepala dan gigi dipenuhi taring yang tajam. Sulit dipercaya, kan? Maka dari itu, aku menyuruhmu untuk tunggu dan lihat saja karena aku tahu kau pasti tidak akan percaya kepadaku, Wafi."

"Baik, Tuan. Aku percaya." Tentu kemungkinan aku bisa membuktikan omong kosongnya sangat kecil.

Khrisna tersenyum, senang dipanggil Tuan. Ia berjalan di kiri sang budak, lalu menepuk-nepuk pundaknya  seraya mengalungkan lengan ke leher. Namun—

"Hei, pasangan yang sedang kasmaran!" seru sosok misterius di ujung jalan setapak. Suaranya berat seperti bapak-bapak.

Wafi memicingkan mata. Khrisna melompat ke depan, lalu memasang kuda-kuda dan tangannya siap menarik pedang. Wafi gemetar. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Fasadun dengan mata kepala sendiri.

Tidak hanya itu, Wafi merinding. Menyadari sosok yang berdiri angkuh di hadapan. Dia berbeda dari deskripsi Khrisna tentang Penghuni Neraka. Matanya normal, begitu pula warna kulit. Ada satu hal yang menyesakkan bagi Wafi.

Ia mengenal sosok itu.

Badan tinggi besar setinggi pegulat menjulang gagah. Rambut ikal hitam kecoklatan memuncaki kepala yang tak bertanduk.

Dia adalah orang yang menculikku! Wafi mundur selangkah-dua langkah. Pupil melebar dan terlihat jelas di belakang leher pria itu, mengulir tulisan berbunyi:

Penjaga Neraka.

Surga, 16 Desember 0020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top