0 | Prologue: Orphaned
KETIKA TIADA BENCANA melanda bumi selama 20 tahun, itulah pertanda kiamat semakin dekat.
Lalu kasus orang hilang memantik guncangan dahsyat. Menenggelamkan benua timur serta barat, dan meninggalkan Asia sendiri di pusat. Setiap hari orang-orang di dunia menghilang selama 19 bulan.
Dan pada hari ini, korban sial selanjutnya adalah ... Wafi.
***
WAFI ingin kedua orang tuanya mati.
Ia terikat di dalam bak mandi yang membeku. Bibir tak bisa berteriak, tertekan selotip hitam yang mencabik kumis dan cambang.
Dini hari di pertengahan Bulan Desember bukan waktu yang beruntung untuk diculik. Di luar, salju menghunjam deras, menyelimuti langit gelap. Awan dingin meluncurkan selaksa butiran es yang menusuk kulit. Ketukan di jendela yang membeku, seakan iringan suara yang mengetuk mulut yang semakin menggigil.
Hanya ada warna putih di sekeliling. Ubin, kloset, dan wastafel seluruhnya putih, termasuk cat tembok yang banyak dirimbuni sarang laba-laba. Kosong tak bertuan, tidak ada makhluk yang bertahan di suhu sedingin ini. Apalagi jika ia direndam di dalam bak mandi tanpa sehelai busana.
Sudah berapa lama ... aku di sini ...? Wafi memejam, tak kuasa menahan kelopak yang pasrah membuka.
Ingatan Wafi memudar, tentang bagaimana dia terperangkap di bak mandi yang membeku. Bayangan seorang pria berbadan besar adalah sosok terakhir yang dilihat. Rambutnya ikal pendek dengan sisi samping yang ditipiskan. Matanya merah seakan tidur hanya sebatas dua jam sehari. Wafi ingat tak akan bisa melawannya dengan perbedaan badan sebesar pemain gulat.
"Kutuklah orang tuamu!" bisik sosok misterius yang menculik.
Wafi mengerjapkan mata, tetapi sorot dendam menyisir sekujur bulu kuduk yang meremang. Kata-kata pria raksasa itu memantik amarah di relung hati. Seketika rasa putus asa untuk membiarkan nyawa dilahap maut, hilang tak berbekas. Ia ingin membalas dendam kepada pria raksasa itu. Sosok yang mengantarkan ia sekarat di ambang kematian.
Napas memburu melepaskan asap-asap yang berembun dari hidung. Air dari pori-pori dan ujung rambut membeku seperti stalagtit di mulut gua.
Ya Tuhan ..., berapa lama lagi ... sisa umurku ...?
Jika aku ... diberikan waktu ..., akan kubuat menderita ... kedua orang tuaku ....
Meskipun aku harus masuk neraka.
Mata cokelat terbuka setengah. Hidung mancung perlahan meneteskan ingus membeku. Rambut hitam kecoklatan yang bergelombang, mulai memutih ditutupi es, begitu pula alis tebal yang berkelok dan berewok tipis di dagu sampai telinga. Kulit putih semakin pucat setelah kehilangan panas selama berjam-jam seperti mayat hidup. Hanya pembuluh darah yang mulai melemah, meradang di sisa tenaga terakhir.
Sosok pertama yang Wafi ingat adalah sang bapak. Berandal tua itu pasti telah membuat gara-gara dengan seorang bangsawan. Hingga ia membalas dendam kepada putra semata wayang agar ia bisa melemah, lalu menyerahkan diri.
Bapak ... tidak akan pernah ... memikirkanku.
Dia ... akan membiarkanku ... mati membeku ... di sini.
Satu-satunya harapan bagi Wafi adalah Tuhan, yang menciptakan langit dan bumi, termasuk salju dingin yang menutupi angkasa beserta tanah dengan warna putih.
Oh Tuhan .... Wafi memejamkan mata untuk bermunajat.
Jika berkenan Engkau guncangkan bumi sekali lagi ... sebagaimana Engkau tenggelamkan bumi barat dan timur ... seperti 20 tahun lalu pada hari kelahiranku ... agar aku bisa mati tidak seorang diri ... tetapi mati bersama berandal tua itu ... dan pria raksasa yang telah menyiksaku ....
Sesungguhnya ..., jika Engkau mengabulkan doaku ..., Engkaulah Tuhan Yang Maha Perkasa ... tetapi jika Engkau tidak mengabulkan doaku ..., Sesungguhnya ... aku hanyalah hamba-Mu. Karena itu ....
Kasihanilah hamba—!
Dentuman keras tiba-tiba meledak dari permukaan bumi.
Tanah yang perkasa memancang, berguncang hingga menggoyang gedung-gedung tinggi. Lampu kekuningan yang menyala di antara selimut salju, padam serentak. Bangunan kokoh yang berjajar angkuh berjatuhan membumbungkan debu.
Wafi tersenyum. Terima kasih ..., Tuhanku. Dia bisa mati dengan ikhlas, akhirnya. Bersama bapak berandal tua, termasuk pria besar yang telah menyiksanya. Mereka akan bersama-sama terbuang ke dalam jurang neraka.
Namun, ada yang aneh.
Gelembung beriak dari dalam air bak. Lapisan es membentuk makhluk seperti segerombolan ikan yang meliuk-liuk. Gigi tajam menjulur dari mulut-mulut seukuran jari yang menganga.
Wafi menyadari ketika makhluk-makhluk es itu menyenggol tubuh pucatnya. Ia membelalak. Apa ... itu tadi!? Ikatan di belakang lengan melonggar. Makhluk-makhluk es itu memakan tali yang mengikat kedua lengan.
T-tidak, Tuhanku! Wafi terkesiap. Bukan ..., bukan ini yang kuminta! Mengapa ... Engkau menyelamatkanku?
Ikatan lengan Wafi terlepas sempurna.
Dia menarik tangan ke atas permukaan air, memecah lapisan es yang menahan riak gempa. Spontan ia berdiri dengan badan menggigil di antara puing-puing yang sebentar lagi runtuh. T-tidak ... mengapa aku ... menyelamatkan diri!? Bukannya tadi ... aku ... ingin mati—?
Pintu kamar mandi tiba-tiba didobrak dari luar.
"CEPAT KELUAR DARI SINI!" bentak seorang lelaki misterius.
Napasnya menderu, seakan telah berlari dari jauh. Semata-mata untuk menyelamatkan Wafi. Dia memiliki perawakan yang sama. Rambutnya coklat keemasan acak-acakan dan salju putih bersarang di antara sela-sela. Matanya membelalak seperti tak ingin lelaki telanjang di depan tewas.
Lelaki misterius itu melepas mantel. Panjangnya selutut. Ia melemparkannya kepada Wafi yang menggigil tak berbusana. Untuk di luar, menembus salju yang dinginnya menusuk tulang.
"CEPAT PAKAI DAN IKUTI AKU!" bentak lelaki misterius itu.
Wafi mengangguk kecil, lalu mengenakan mantel hitam yang barusan dilemparkan kepadanya. Ia memasangnya, tetapi ketika ia baru memasukkan lengan kiri, dinding mulai bergemeretak.
Guncangan gempa semakin kuat dan tidak lekas berhenti.
"Kakek, tolong pindahkan kami!" Lelaki misterius itu melompat kepada Wafi, lalu meraih pergelangan lengan kanannya.
"S-siapa kakek?" gumam Wafi. Plester hitam masih membekap mulut.
Lelaki misterius itu enggan menjawab. Ia melirik ke belakang tinggi-tinggi seraya menegangkan dahi.
Wafi mengikuti arah tatapan lelaki itu. Tepat di atas pintu kamar mandi yang jebol, bola mata melayang dari ketinggian.
Wafi terbelalak. Apakah ... itu mata kakeknya!?
"Bersiaplah!" Sang laki-laki misterius mencengkeram tangan Wafi.
"Bersiap untuk apa—!?"
Serigala raksasa menerobos masuk, memecahkan jendela kamar mandi yang beku.
Lelaki misterius itu bersiul sangat nyaring. "Kon, kemari!"
Si serigala raksasa mengarah kepada sang lelaki misterius. Namanya Kon dan ketika ia dipanggil oleh sang pemilik, ia akan menurut.
"Berpegangan!" Sang laki-laki misterius menarik Wafi ke pangkuan.
"APA-APAAN INI!?"
Wafi berteriak. Ia hanya mampu mencengkeram kemeja putih sang lelaki misterius dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan mengalung di tengkuk. Meski mantel hitam yang belum tertutup sempurna berkibar diterpa angin salju, Wafi tak fokus. Ia melirik pemandangan ngeri di sekeliling.
Gempa memecah aspal dan membelah bumi layaknya jahitan yang jebol. Orang-orang berteriak serta berjatuhan dari rumah-rumah yang roboh. Ledakan berdentum dan api berkobar serentak di jalur pipa gas, untuk pemanas yang pecah di mana-mana.
Wafi terbelalak dan bergidik ngeri. Ia melirik ke belakang, menyaksikan orang-orang mati, sedangkan dirinya selamat menunggangi serigala setinggi dada orang dewasa, meliuk kesit di antara tanah yang mencuat dan gedung-gedung roboh.
"Apakah ... ini karena ulahku?" gumamnya.
"Jangan bodoh!" timpal sang lelaki misterius. Jika kedua tangannya tak harus memegangi Kon, tentu ia akan menjitak kepala Wafi. "Namaku Khrisna! Demi Tuhan, aku bisa menjamin ini bukan salahmu dan juga bukan salahku!"
Wafi tersentak, lalu mengunci bibir.
Seraya Kon berlari menjauh dari kota yang hancur, Wafi menangis. Ia menenggelamkan mulut ke bahu Khrisna. Ia ingin sekali berteriak, tetapi ia tahu dengan jawaban yang sebenarnya.
Semua kehancuran ini karena doanya.
Semua orang mati, sedangkan ia selamat seorang diri. Menggantikan dirinya yang tadi hampir tewas membeku sendirian. Tidak, kau tidak tahu, Khrisna! Tetapi, aku tahu. Kehancuran ini dari doaku. Kebodohanku. Karena itu, mereka pasti akan mengejar dan menghukumku ...,
PARA PENJAGA NERAKA!
—
Kota Kawah, 15 Desember 0020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top