Chapter 6 - Brahmsy is better than Shawn?
Theo memandang putra sulungnya dari kejauhan. Dilihatnya Shawn tengah antusias mengamati pesawat angkatan militer yang berada di perusahaan milik rekannya. Lancelot. Seperti yang dijanjikan pada Shawn waktu itu jika Theo akan mengajaknya ke Eropa. Tepatnya Jerman.
"Shawn ayo masuk!" teriak pria berkemeja biru muda tersebut.
"Tidak mau!" tolak Shawn.
Theo mendekati sang putra, walaupun di sana banyak penjaga tetap saja ia mengkhawatirkan putra sulungnya tersebut. "Shawn di sini dingin."
Shawn tetap mengabaikan ucapan sang ayah. "Dad... bolehkan aku menaikinya?"
"Tidak!" tolak Theo dengan tegas.
"Oh... ayolah Dad..." Shawn memasang wajah memelasnya.
Lancelot datang dan menghampiri Shawn. "Biarkan dia, Theo."
"Tapi..."
"Tidak apa-apa," kata Lancelot mengelus kepala Shawn lembut.
Pria paruh baya itu menunduk untuk menatap bocah itu. "Uncle bolehkah aku masuk?"
"Ya, tentu saja!"
"Yeay!!!" Shawn berseru senang. Lancelot membantu Shawn naik ke dalam pesawat berukuran 6 meter dengan panjang 12 meter tersebut. Serta sayap masing-masing 4 meter. "Pakai ini dulu Kapten!"
Lancelot memakaikan helm, kacamata hitam serta headphone. Setelahnya penutup atas tertutup. Shawn dapat melihat dari kaca bening yang menutupi pesawat tersebut.
"Ready?"
"Yes!" Shawn berseru senang.
Theo mengembuskan napas pasrah ketika pesawat itu mulai take off.
Di dalam, Shawn duduk di belakang.
"Uncle, biar aku saja yang menerbangkan," kata Shawn terdengar dari headphone yang juga dipakai oleh pria itu.
Lancelot membawa Shawn ke atas dengan ketinggian 100 meter dari tanah. Sedangkan Theo, harap-harap cemas di lapangan yang luas itu.
"Uncle... bolehkah aku menerbangkannya?" kata Shawn lagi. Bocah kecil itu selalu saja sangat ingin mengetahui segalanya.
"Tidak. Biar Uncle saja. Be nice okey," jawab Lancelot. Setelah dirasa cukup, pria itu mencoba mendaratkan pesawat tersebut. Sebenarnya ia sangat ingin menunjukkan aksi akrobat yang bisa dilakukannya dengan pesawat tempur ini, namun, ia urungkan mengingat siapa penumpang di belakangnya yang masih kecil. Ia tidak ingin menanggung risiko jika hal buruk tiba-tiba terjadi.
Pesawat pun mendarat dengan mulus. Mesin dimatikan dan bagian penutup atas terbuka. Lancelot membantu Shawn melepas atribut yang dipakai bocah itu.
"Woah! Dulu tidak seperti ini!" kata Shawn tanpa sadar terlontar begitu saja. Shawn menatap takjub bagian dalam kemudi setelah Lancelot turun. Pria itu berdiri di tangga yang tersedia sedangkan, bocah itu berdiri di dalam pesawat.
"Apa maksudmu, boy?"
"Pesawat ini benar-benar canggih, Uncle." Lancelot tersenyum. "Tentu saja!"
"Shawn... ayo turunlah," ajak Lancelot. Namun ucapannya tak digubris. Shawn tengah asyik mengamati bagian kemudi dan bocah itu sudah duduk di bagian kemudi.
"Shawn! Turunlah." Itu suara Theo. Shawn menatap sang ayah yang berada di bawah.
"Tidak!"
"Shawn ayolah...." Sebentar lagi akan turun salju. Pasti akan dingin.
"Tidak Dad! Aku ingin di sini saja!" ucapnya keukeuh.
"Shawn, ayo turun, besok kita bisa naik pesawat yang lain. Kau mau?" kata Lancelot mencoba membujuk bocah berambut cokelat matang tersebut.
Theo ikut naik ke tangga. "Shawn kemarilah...."
Shawn menggeleng. "Tidak, lihatlah Dad, Aku bisa mengendarai ini. Lihat, ini untuk menaikkan pesawat, ini untuk membuka bagasi barang, menutup sayap kiri dan kanan serta ini untuk menjaga keseimbangan ketika melakukan freestyle, benar bukan?" jelas Shawn. Lancelot menatap bocah berusia lima tahun itu dengan takjub. Bagaimana bocah sekecil dirinya bisa mengetahui dengan jelas fungsi-fungsi tombol pada pesawat itu.
"Shawn, dari mana kau tahu semua itu?"
"Aku sudah bilang, bukan jika aku yang mengendarai ini?" Shawn menatap Lancelot.
"Iya, iya baiklah Uncle mengerti. Sekarang kita turun, oke?"
Shawn terdiam, ia menatap Theo.
"Daddy berjanji, besok Daddy akan mengizinkanmu menaiki pesawat yang lain dan juga kita akan sering ke sini jika kau menjadi anak yang baik. Kau mengerti?"
Shawn mengangguk nurut. "Hm."
Theo segera menggendong sang putra dan membawanya turun. Theo membiarkan Shawn berlari ke dalam tempat itu.
"Boleh kutahu dari mana Shawn memahami semua bagian pesawat?" tanya Lancelot penasaran. Dua pria itu berjalan perlahan.
"Entahlah. Dia memang tertarik dengan berbagai jenis pesawat."
"Sangat aneh. Bagian dari pesawat tadi tidak pernah dipublikasikan di manapun. Bahkan tidak semua pilot mengetahui secara rinci."
"Theo tampak tak percaya. Aku juga bingung akhir-akhir ini dia sering berbicara ngelantur apalagi jika mengenai pesawat seperti yang kau dengar waktu itu," jelas Theo.
"Aku rasa ada sesuatu yang tidak kita ketahui Theo," kata Lancelot serius.
"Entahlah. Mungkin itu hanya imajinasi anak kecil."
"Hm... ya mungkin saja." Lancelot mengangguki namun di dalam hati pria itu merasa jika bocah kecil itu menyimpan sesuatu yang tidak diketahui siapapun.
***
6 tahun kemudian
"Shawn! Shawn!" Emma memanggil sang putra dari dalam mansion.
Emma keluar dari mansion. "Where's Shawn?" tanyanya pada seorang bodyguard di sana.
"Tuan muda sedang berada di lapangan bersama Nona Ashley, Mrs."
"Ashley ke sini?"
"Iya Mrs," jawab pria bertubuh kekar tersebut.
Emma berjalan menuju lapangan yang berada di sebelah kanan mansion.
"Hey kids!" panggilnya. Dilihatnya Shawn tengah berdiri di pinggiran bersama seorang bocah perempuan. Tidak lupa juga beberapa orang bodyguard serta pelayan berjaga di sekitar area lapangan.
"Aunty Emma! Seru gadis kecil berambut cokelat tersebut.
"Hai cantik! Kapan kau kemari?"
"Baru saja. Daddy yang mengantarku. Lalu dia pergi bersama Uncle Theo," ucapnya.
"Begitukah?" Bocah bernama Ashley itu mengangguk.
"Ya."
"Apa kau sudah makan?"
"Sudah, Aunty."
"Ash, berteduhlah di sana, di sini panas," tutur Emma.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat Shawn bermain pesawat."
"Berteduhlah, Nak." Emma mengeles lembut kepala Shawn yang masih asyik menjalankan pesawat melalui remote control di tangannya. Shawn tidak menyahuti apapun.
"Hm. Baiklah, Aunty akan kembali ke mansion, okey? Jika kau butuh sesuatu, katakan saja pada Henry atau Beatrice." Ashley mengangguk seraya tersenyum manis.
Emma tersenyum senang lalu mulai menjauh dari tempat itu.
"Shawn, bolehkah aku meminjamnya?" tanya Ashley.
"Tidak boleh," jawab Shawn acuh.
"Kenapa?"
"Kau perempuan. Tidak boleh bermain ini," jawab bocah berusia sebelas tahun tersebut.
"Kau menyebalkan!" Ashley menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kau baru tahu?"
"Aku marah padamu! Aku pulang saja kalau begitu!"
Ashley tampak memasang wajah kesal lalu berjalan menjauh.
"Hey hey jangan pulang!" cegah Shawn. Bocah beralis tebal itu menurunkan pesawat berukuran 2 meter dengan mulus.
"Ash! Jangan pergi!" panggil Shawn. Gadis kecil itu menghentikan langkahnya. "Pinjami aku sebentar, kalau begitu," ucapnya dengan tangan masih besidekap.
Shawn mengembuskan napas pasrah. Ia tidak mau temannya itu pulang. Jarang sekali Ashley berkunjung. "Baiklah. Ini!" Shawn menyerahkan remote control tersebut.
"Tekan ini untuk mengangkat ke atas, lalu ini untuk maju ke depan dan yang ini untuk berbelok. Sentuh saja layarnya," jelasnya panjang lebar, Ashley mengangguk senang.
"Yes, I see."
Ashley mencoba menerbangkan replika pesawat bercorak loreng-loreng tersebut. "Woah! Mengasyikkan juga ternyata," ucap gadis kecil itu.
Shawn mendekat melihat remote control yang menampilkan posisi pesawatnya.
"Aku bisa sendiri Shawn!" tolak Ashley ketika Shawn ingin mencoba mengarahkan pesawat dengan menyentuh touch screen.
"Hey! Hey! Perhatikan arah pesawatnya atau kau akan –
BRUAKK
"HEYYYY!!!" teriak Shawn terkejut. Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, pesawat itu sudah menabrak pohon besar, membuat benda berukuran kurang lebih 2 meter tersebut tersungkur ke tanah.
"O ouww..." Ashley membulat tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Argghh!!! Ash! Kenapa kau menabrakkannya?" omel Shawn penuh kekesalan.
"Maafkan aku Shawn...." Ashley menampilkan wajah memelas.
"Pengawal!" panggil Shawn.
"Iya Tuan." Seorang pria menghampiri mereka.
"Bereskan ini semua!" perintahnya bak raja.
"Baik, Tuan."
Shawn berjalan menjauh seraya menampilkan wajah kesalnya. "Shawn maafkan aku, please...." mohon Ashley, gadis kecil itu mencoba menyetarakan langkahnya dengan temannya tersebut.
"Aku akan menggantinya, bagaimana?"
Shawn menoleh pada Ashley. "Tidak perlu! Kau tidak akan bisa mengantinya. Itu buatan Daddy-ku. Biarlah."
"Kumohon jangan marah."
"Ya ya ya?" Ashley menampilkan puppy eyes.
"Tersenyumlah."
"Tidak!" Shawn berjalan terus dengan Ashley memohon. Pemandangan bocah bocah kecil itu menjadi hal tersendiri bagi para pengawal, tak ayal mereka ingin tertawa namun mencoba menahan, kalau tidak, tuan muda mereka sudah pasti akan marah, bahkan bisa saja memecatnya.
"Huff kau ini! Ya, aku memaafkanmu!"
"Really? Thanks."
Keduanya berjalan bersama menuju mansion."Aku haus," kata Ashley.
"Aku juga."
"Ayo kita masuk ke mansion-mu." Shawn menyahuti dengan deheman.
***
"Aunty di mana Brahmsy?" tanya Ashley pada Emma yang tengah menyiapkan makan siang. Ashley mendekati wanita itu.
"Dia sedang berada di lab bersama professor Alistair."
"Benarkah?"
"Yah, kau tahu, dia sangat ingin tahu segalanya."
"Woah! Boleh aku ke sana?" tanya Ashley dengan wajah penuh semangat.
"Tentu saja. Brahms pasti akan senang."
"Ikutlah bersamaku." Emma mengantar Ashley menuju tempat yang dimaksud. Wanita itu menggeser pintu dan terpampanglah di hadapan mereka, sebuah lab putih yang sangat luasdan juga bersih.
"Brahmsy!" panggil Emma.
"Yes, Mom?" sahut bocah berusia sekitar enam tahun tersebut tanpa melihat siapa yang memanggilnya.
"Lihatlah, siapa yang datang?"
Bocah laki-laki itu langsung menoleh. "Ashley?!" Seketika wajahnya tampak senang.
"Hai Brahms!" sapa Ashley.
"Kau sedang apa, Nak? Di mana professor Alistair?" tanya Emma melihat apa yang sedang dilakukan putra keduanya tersebut.
"Dia baru saja keluar, mungkin sebentar lagi akan kembali, Mom."
Emma mengamati sekitarnya. "Huh... bagaimana dia membiarkan anak kecil sendirian di sini?" kesal Emma.
"Tidak apa, Mom," jawab Jaeden kecil.
"Apa yang kau lakukan Brahms?" tanya Ashley, ia mendekat melihat benda-benda yang tersaji di meja lab.
"Aku sedang mencoba menyegarkan daun yang sudah layu," kata Jaeden dengan penuh percaya diri.
"Benarkah? Apa itu berhasil?" Ashley tampak sangat ingin tahu.
"Tentu saja."
Emma tersenyum melihat sang putra merasa senang akan kedatangan gadis kecil bernama Ashley tersebut.
"Kalian berhati-hatilah. Mom ingin menemui Shawn dulu."
"Yes Aunty/Mom," jawab mereka bersamaan.
Jaeden kecil menunjukkan apa yang sedang dikerjakannya. Ia meraih segenggam daun kering yang berada di wadah bundar lalu memasukkan ke dalam tabung kaca yang sudah berisi cairan kimia. Seketika daun-daun kering tersebut bermekaran dan berubah warna menjadi hijau seperti daun segar yang baru saja dipetik
Ashley mengamati dengan saksama. "Woah! Kau sangat hebat Brahms! Aku yakin kau akan menjadi seorang ilmuan suatu saat nanti!" puji Ashley pada bocah yang tingginya sebatas lehernya tersebut.
"Hm," jawab Jaeden pelan.
"Kenapa kau sangat lucu sekali?"
"Uughuuu...." Ashley mencubit kedua pipi gembul Jaeden dengan gemas.
"Ash sakit..."
"Aku gemas padamu. Kau tahu, Aku lebih suka berbicara dengamu daripada kakakmu!" ungkap Ashley melepaskan cubitannya. Jaeden mengusap kedua pipinya. Bocah kecil itu diam-diam melihat Ashley.
"Kau benar-benar hebat, Brahms!" Ashley mengamati dari dekat tabung yang berisi daun yang sudah kembali segar tersebut.
"Kenapa kau tidak menyukai berbicara dengan dia?"
"Dia menyebalkan dan suka marah-marah. Tidak sepertimu yang tenang," jawab Ashley.
"Oh ya, kudengar kau sudah lancar berbahasa Perancis dan Spanyol. Apa itu benar?"
Jaeden tersenyum malu-malu.
"Jadi benar?"
"Ehm... ya, seperti itulah."
"Kau keren sekali Brahms!"
"Thanks."
Tanpa mereka sadari seorang pria paruh baya menghampiri mereka. "Ah, Professor Alistair?" kata Ashley.
"Hi sweetheart. Apa yang membawamu ke sini?"
"Aku hanya ingin menemui Brahms," jawab Ashley. Pria itu manggut-manggut lalu menaruh sebuah box di meja depan mereka.
"ASHLEY!!!"
Ketiganya langsung menoleh ke arah sumber suara. Di sana, Shawn bersidekap dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Shawn?"
"Kenapa kau di sini? Aku mencarimu, kau tahu?" ucap Shawn kesal.
"Ah, iya, iya, Shawn."
"Aku ke sana dulu Brahms." Ashley melambaikan tangan pelan lalu berjalan menyusul Shawn.
Sepeninggal Ashley, wajah Jaeden berubah murung, pria paruh baya di sampingnya menangkap hal itu.
"Hey, kenapa kau melamun? Kau menyukai dia?" tanya Professor Alistair.
"Tidak, Uncle," elak Jaeden.
Professor Alistair tersenyum dalam hati melihat kepolosan Jaeden. ia dapat membaca gerak-gerik bocah itu jika ia menyukai gadis yang baru saja melenggang pergi tersebut.
"Baiklah, ayo kita fokus pada pekerjaan yang tadi." Jaeden mengangguk.
***
Vote and comments please...
Baca juga seri Lancaster ke 2 ya. Judulnya The Perfect Scientist
Itu ceritanya tentang Si Brahmsy
See you next chapter
Bye bye
Shawn Peter Lancaster
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top