Chapter 3 - Mysterious

Washington DC
07.23 AM

Shawn kecil tengah asyik bermain dengan mainan pesawat serta mobil-mobil di kamarnya. Pagi yang cerah, sinar mentari menyeruak melalui gorden kamar bocah itu. setelah sarapan dengan kelarganya, Shawn memilih menuju kamar dan bermain dengan mainan-mainan yang baru saja ia borong dari salah satu perusahaan mainan terkenal di Washington.

"Ayo tabrak dia!"

"Bam! Bam! Bam!" ucapnya sembari menabrak-nabrakkan pesawat putih ke barisan mobil yang tertata rapi.

"Yeay! Aku menang! Kalian payah haha..." Shawn berucap senang. Bocah itu berputar-putar dengan gembira sembari memainkan pesawatnya. Namun tiba-tiba ia memegangi kepalanya.

"Arggh!!!" Shawn berteriak hingga pesawat di genggamannya terjatuh.

"Awshhh!!!" Ia mengerang seraya memegangi kepalanya, badannya terhuyung dan akhirnya jatuh ke lantai.

"MOOOM!!!"

"MOOO!!!"

"DAAAD!!!"

Shawn berteriak sekeras mungkin. Setelahnya beberapa orang pelayan memasuki kamar Shawn dengan tergesa-gesa.

"Tuan, Tuan Muda kenapa?" seorang pelayan perempuan mendekat dan menyentuhnya.

"Arggh!!!"

"CEPAT PANGGILKAN MOM!!!"

"B-baik Tuan." Wanita itu bergegas kelaur memanggil Emma. Sedangkan beberapa lagi mencoba menenangkan Shawn walaupun berakhir dengan bentakan bocah kecil itu.

Tidak lama kemudian Emma datang sembari dibantu oleh dua orang pelayan yang memeganginya di kanan kiri. Wanita berperut buncit tersebut nampak begitu terkejut melihat putera kecilnya bergulung di lantai sembari memegangi kepalanya.

"ARGGGH!!! MOM!!!"

"Shawn, kau kenapa, Nak?" Emma mendekati anaknya tersebut.

"Kepalaku sakit, Mom. Tolooong!!!" teriak Shawn semakin keras.

Emma semakin ketakutan melihat Shawn terus menjerit.

"Shawn, bertahanlah."

"Cepat angkat dia!" perintah Emma dengan suara lantang pada beberapa bodyguard-nya.

"Kau! Hubungi Theo sekarang!"

"Bik, Nyonya."

"Shawn bertahanlah, Nak." Bibir Emma tidak berhenti bergetar. Jantungnya tak terkondisikan lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

"Moooom!!! Sakit sekali!!!"

Bodyguard tadi menggendong Shawn bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga.

"Siapakan mobil cepat!" perintah Emma.

Dua orang pelayan membantunya menuruni anak tangga.

Ia benar benar semakin ketakutan. Shawn tidak berhenti berteriak dan menangis histeris.

"Sakiit!!!"

Emma berjalan sembari dituntun. Kakinya melemas. Ia dapat mendengar rintihan putera kecilnya itu yang terlebih dahulu masuk ke sebuah limosin yang sudah siap mengantar mereka.

Sesampainya di mobil, Emma memeluk anaknya erat. "Tenanglah, Nak."

"Kita ke rumah sakit. Dan kau! Siapkan jalanan. Jangan ada hambatan. Hubungi polisi untuk mempermudah!" ucap Emma pada salah seorang pelayan pria sebelum akhirnya limosin itu keluar dari area mansion Lancaster.

"Mom...."

"Arggh!!! Kepalaku ada yang menekannya...."

Shawn terus merintih kesakitan.

"Bagian mana yang sakit, Shawn?" Emma mendekat bocah kecil itu dnegan penuh kasih sayang.

"Aku tidak tahu, Mom. Rasanya otakku seperti dihantam benda tajam, sakit sekali, Mom.... Benar-benar sakiit," ucap Shawn di tengah kesakitannya. Bocah itu berucap begitu lemah. Dan setelahnya bocah kecil itu tidak sadarkan diri. Emma shock dan semakin ketakutan.

"Shawn bangun, Nak.... Kau harus bertahan. You're a strong boy."

"HURRY UP!" Bentak Emma pada sopir limosin tersebut. Seperti perintahnya tadi jalan menuju rumah sakit sudah dibersihkan untuk mobil keluarga Lancaster. Hal itu membuat limosin yang ditumpanginya melaju mulus dan menjadi pusat perhatian masyarakat Washington. Sesuatu penting pasti sedang terjadi. Pasti di pikiran mereka.

Sesampainya di depan sebuah rumah sakit, semua petugas seperti dokter dan para perawat sudah menunggu dengan was-was.

Seseorang membukakan pintu. Itu Theo.

"Shawn!" Pria itu begitu terkejut melihat anaknya tidak sadarkan diri dengan kepala berada di pangkuan Emma. Ia melihat sang istri sekilas. Emma tidak berhenti sesenggukan.

Theo segera membawa Shawn keluar.

"CEPAAAT!!!" Bentaknya. Tubuh bocah itu diletakkan di ranjang berjalan dan setelahnya didorong masuk untuk diperiksa.

***

Di ruang tunggu, Theo dan Emma tidak henti-hentinya gelisah. Bagaimana tidak? Putera kesayangannya tiba-tiba mengalami kesakitan dan pingsan. Tidak sedikit orang yang menjadi korban amukan Theodi rumah sakit ini. Termasuk dokter yang menangani anaknya tadi. Sedangkan Emma, tidak henti-hentinya menangis. Beberapa pelayan dan bodyguard juga ikut berada di sana untuk berjaga.

"Theo... tenanglahm kuyakin Shawn akan baik-baik saja." Seorang waita paruh baya mendekat pada Theo. Ya, itu ibunya. Wanita itu datang dengan suaminya setelah mengetahui kabar jika cucu mereka dilarikan ke rumah sakit dan membuat gempar seluruh warga Washington.

Theo menatap sang ibu. "Bagaimana aku bisa tenang Mom? Aku merasa bersalah. Di saat tadi aku tidak ada untuk menolongnya. Pasti dia tidak akan...." Theo tak sanggup melanjutkan ucapannya. Sebagai seorang pria serta ayah, tidak dapat dipungkiri jika hati kecilnya menjerit merasakan sakit melihat sang anak terkapar lemah. Theo menunduk.

"Sudahlah, Nak. Kita berdoa saja agar tidak ada yang terjadi pada Shawn," ucap sang ayah. Pria itu menyentuh bahu Theo.

Seorang pelayan yang ada di sana menghampiri Emma dengan membawa segelas air putih. "aku tidak membutuhkan itu." Tolak Emma.

"Tapi Nyonya, saya rasa Anda terlalu letih sedari tadi."

"I said no!" tegasnya. Dan pelayan iu pun undur, ta berani menolak lagi. Theo menghampiri Emma yang terus terisak. Pria itu mengelus sayang rambut sang istri.

"Aku merasa bersalah Theo. Shawn begitu kesakitan tadi hingga aku sendiri.... Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnyaa..." Emma menangis di dada bidang pria itu.

"Aku tahu. Selama ini Shawn tidak pernah mengalami hal seperti ini. Sejak lahir sampai sekarang Shawn tidak pernah sakit."

"Tenangkan dirimu, Theo." Sang ayah berucap seraya memegang bahu Theo.

"Dad! Dad tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Apa Dad ingat? Saat shawn lahir. Dia sempat...."

Theo memijat pilipisnya. Ia tidak mampu meneruskan kata-katanya. Sang ayah tak berani melanjutkan omongannya.

Tidak lama kemudian pintu terbuka, seorang dokter yang menangani Shawn keluar beserta para perawat.

"Bagaimana anakku?" Theo bergegas menghampiri dokter itu.

"Saya sudah memeriksa dan tidak ada kelainan di kepalanya. Saya sendiri tidak dapat memastikan apa yang sudah terjadi."

"Kau ini bagaimana HAH?! Dia kesakitan. Tidak mungkin baik-baik saja. Kau tidak becus menjadi dokter!" Theo memandang dengan penuh amarah seraya menunjuk wajah dokter tersebut.

"Sungguh, sir. Jika Anda tidak percaya, ini, hasil rontgen menunjukkan kalau kepala dan otaknya baik-baik saja." Pria itu memberikan lembaran klise hasil rontgen.

"Tidak mungkin." Theo menatap hasil tersebut. Begitu pun dengan Emma.

"Lalu bagaimana dia sampai pingsan?" tanya Emma dengan suara lemah.

"Saya juga kebingungan Mrs."

"Kau memang bukan dokter handal!" bentak Theo.

Tanpa menunggu kelanjutann, Theo langsung masuk dan disusul oleh Emma serta kedua orang tuanya.

"Shawn..."

"Sayang...."

"Bangun..." Emma menghambur memeluk sang anak dari samping dan terus mengecupi kening bocah kecil itu. punggung tangannya dipasangi infuse. Serta pakaian yang dipakainya tadi sudah berganti dengan baju pasien.

"Theo... bagaimana ini? Aku tidak sanggup melihat Shawn. Dia begitu kesakitan tadi." Theo merangkul bahu sang istri seraya pandangannya tak lepas dari bocah kecil itu.

"Iya, Sayang. Aku juga. Sebaiknya kita tunggu dia sadar," ucap Theo setelah tangannya menyentuh dada dan leher anaknya tersebut.

"Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya Theo..." Emma semakin terisak.

"Aku pun."

Kedua orang tua Theo hanya bisa menatap prihatin dan raut wajah khawatir tidakdapat disembunyikan.

"Emma kau istirahat saja ya. Ingat kandunganmu,Nak," ucap wanita paruh baya itu seraya mengelus lembut rambut Emma.

"No, Mom. Aku ingin menemani Shawn."

"Emma dengarkan apa kata Mom. Ingat, dia juga anak kita. Aku tidak ingin pikiranmu terus terguncang dan berpengaruh pada bayi kita," ujar Theo lembut.

"Tapi...."

"Sudahlah, Em."

"Baiklah." Emma akhirnya dituntun untuk duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.

***

Sepuluh menit sudah terlewat. Shawn tak kunjung membuka matanya. Namun jika dilihat, napasnya teratur dan seakan tidak ada yang terjadi.

Theo sendiri memiliki kemampuan layaknya dokter. Ia mengamati dan memeriksa tubuh Shawn. Tidak ada yang aneh dan semuanya terlihat baik-baik saja.

Selama itu pula tidak ada yang berani mengganggunya.

"Dad mohon.... Bangun Shawn! Kau kuat, Nak." Theo tak henti-hentinya menggenggam tangan Shawn dan menciumnya.

Tidak berapa lama kemudian mata kecil itu perlahan terbuka. Theo terlihat begitu senang seketika, begitu pun dengan Emma. Sedangkan kedua orang tuanya memilih menunggu di luar sedari tadi. Mereka tahu, Theo tak ingin diusik. Itu permintaan Theo. Dan karena kemarahannya tadi membuat semua dokter tidak berani mendekati Theo setelah Theo mengancam akan membuat perhitungan. Pria itu tidak habis pikir dengan hipotesa dokter yang mengatakan Shawn tidak apa-apa walaupun ia sendiri tidak dapat memungkiri Shawn memang terlihat baik-baik saja. Tapi tetap saja, dia adalah Theo James Lancaster. Tidak ada yang berani menandinginya di kota ini.

"Shawn!" mendengar suara pelan itu, Emma yang tadinya sedikit menutup mata kemudian bergegas mendekat.

"Theo, dia bangun." Theo mengangguk.

Shawn akhirnya membuka mata sepenuhnya. Senyum tipis terukir di bibir Theo begitupun dengan Emma. Ia menatap haru anaknya. Bocah kecil itu membuka mata namun pandangannya masih mengarah ke atas. Berkedip beberapa kali lalu menoleh pada Theo dan -

"AAAAAAA SIAPA KALIAN?!"

"TOLOOOONG!!!"

Shawn berteriak begitu keras dan setelahnya bocah itu menutup mata dengan telapak tagan.

"Shawn! Tenanglah!"

"Pergi! Pergi! Jangan menembakku!"

"Shawn! Sadarlah, Nak, ini kami. Mom dan Dad." Emma menyentuh bahu Shawn mencoba menenangkan Shawn yang terus bergerak mundur di ranjang tersebut.

"Tidaaaak!!! Jangan tembak aku. Bukan aku!!!"

"Shawn tenanglah. Katakan, ada apa?" bujuk Theo. Shawn tetap menutup wajahnya. Theo mencoba melepaskan kedua telapak tangan tersebut dari wajah putera kecilnya itu.

Perlahan tapi pasti Shawn menurunan kedua telapak tangannya.

"Dad?" ia menatap Theo.

"Yes! It's me." Theo tersenyum kecil/

"Dad! Tolong aku, aku barus aja akan ditembak!" Shawn bergerak memeluk Theo dengan begitu erat. Ia seakan ketakutan akan sesuatu.

"Tidak ada yang akan menembakmu, Nak," balas Theo. Ia mengusap lembut rambut Shawn. Emma pun ikut mendekap bocah itu. Air mata haru tak dapat terbendung lagi.

"Daddy benar, tidak ada yang akan melukaimu, Nak. Di sini aman," ucap Emma.

"Tidak, Mom. Mereka membawa pistol dan menodongku. Seperti ini." Shawn menyontohkan dengan mengarahkan jari telunjuk dan jempol yang menyerupai pistol ke kepalanya.

"Bom dimana-mana," lanjutnya. Theo dan Emma saling pandang.

"Maksudmu apa?"

"Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita pada Mom. Apa kepalamu masih sakit?" tanya Emma dengan senyum tipis.

"Kepala?" Shawn keheranan seraya memegangi kepalanya.

"Ya, kau merintih kesakitan tadi," ujar Emma. Saat ini yang dibuat bingung malah dirinya.

"Karena itu kau di rumah sakit, Nak," jelas Theo.

"Rumah sakit?" Shawn mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Kau tidak ingat?" tanya Emma.

Shawn menggeleng

"Theo... apa yang terjadi padanya?" Emma menatap Theo gelisah.

"Aku tidak tahu."

"Dokter!!!" teriak Theo dari dalam. Setelahnya dokter yang menangani Shawn masuk dengan tergesa-gesa.

"Ada apa sir? Dia sudah bangun?" Dokter itu terlihat terkejut melihat Shawn sudah sadar.

"Lihat! Apa yang terjadi pada anakku? Kenapa dia tidak dapat mengingat, hah?!" bentak Theo. Seketika ruangan itu menjadi begitu tegang karena kedua orang tua Theo ikut masuk.

"Ada apa ini? Shawn! Kau sudah sadar?" wanita paruh baya itu terlihat senang.

"Shawn tidak dapat mengingat apapun, Mom," jawab Theo.

"Bagaimana bisa?" ia menatap Shawn. Bocah kecil itu hanya diam dengan tatapan polosnya.

"Sebentar, akan saya periksa lagi." Dokter itu perlahan menyentuh Shawn.

"Aku tidak suka diperiksa! Keluar!" bentak bocah kecil itu.

"Shawn, kau harus diperiksa, Nak."

"Aku tidak mau! Keluar!"

Emma menghela napas pasrah. "Keluarlah," perintahnya pada dokter dan juga beberapa perawat di sana.

"Kau yakin tidak apa-apa, Nak? Apa ada yang sakit?"

"Mom... ada yang ingin menembakku," jawab Shawn tanpa ragu sedikit pun.

"Siapa Shawn? Tidak ada. Dari tadi kau di sini. Banyak pengawal," tegas Theo untuk meyakinkan anaknya itu.

Shawn menggeleng. "Tidak Dad aku mengalaminya sendiri. Mereka para tentara. Banyak bom dan pesawat tempur. Itu nyata." Shawn tetap bersikukuh dengan ucapannya.

Emma menatap Theo. Keduanya seakan memiliki suatu pertanyaan yang sama.

"Kau hanya mimpi buruk, Nak." Emma bertutur seraya memeluk bocah kecil itu.

"Tidak, Dad, Mom." Shawn tetap bersikukuh jika apa yang dikatakan adalah kebenaran. Shawn mendesah kesal, ucapannya seakan hanya omong kosong bagi kedua orang tuanya.

"Lalu apa saja yang kau ingat, boy?" Theo mulai mencairkan suasana. Ia menggendong Shawn dan mencium pipinya.

"Yang kuingat tadi aku berada di kamar bermain dengan mainanku. Lalu kenapa aku di sini?"

"Theoo... lihat! Apa yang sebenarnya terjadi? Shawn tidak pernah berbohong." Emma berucap gusar seraya memandang Theo dan Shawn bergantian.

"Shawn... kau hanya bermimpi, oke? Lupakan tentang menembak atau bom. Kita pulang ya?" Theo tersenyum kecil. Mereka berjalan keluar dari ruangan tersebut.

Raut wajah Shawn menunjukkan ketidaksukaannya. "Dad! Bisakah kau percaya?! Aku rasa aku pernah ada di...." Shawn menggantung kalimatnya serya menatap Emma dan pria itu ragu bergantian.

"Di mana?"

"Di tempat orang-orang berperang."

"Medan perang, maksudmu?" Shawn mengangguk mantap.

"Tidak, Nak, kau pasti bermimpi. Ingat, mimpi itu tidak nyata," tutur Emma.

"Mom!" Shawn semakin menunjukkan wajah kesalnya.

"Sudahlah Shawn. Kau benar tidak apa-apa?"

Shawn mengangguk. Mereka sampai di depan dan langsung masuk ke dalam limosin.

"Baiklah kita pulang."

"Hmm."

***

If you like this story give vote and comments guys... thanks

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top