Chapter 1 - The Birth of Prince

SEORANG wanita muda tengah berdiri di tepian pantai. Ia membentangkan kedua lengannya, menikmati suasana yang tersajikan. Tenggelamnya sang surya menjadi momen yang begitu ia nantikan.

Angin berhembus menuju laut. Menandakan tidak lama lagi malam kan menyambut.

Ia tersenyum bahagia. Sangat tergambar jelas di wajahnya. Ia menatap sekelilingnya. Hanya ada beberapa pasang mata saja yang juga berada satu pantai dengannya.

Beberapa pasangan muda lainnya menikmati keindahan laut yang terpampang luas bersama dengan mesranya.

Wanita itu menatap senang. Lalu duduk di atas pasir dengan bersila. Membiarkan ujung rok putihnya terkena deburan ombak santai yang perlahan mulai menyusut debitnya.

Ia mengelus perutnya yang membuncit.

"Hai boy... Mom sangat merindukanmu... Mom ingin melihatmu secara langsung... Baik-baik di sana... Mom menyayangimu..." ujarnya seraya mengelus sayang perut itu dari atas ke bawah berulang kali.

"Mom yakin... Kamu akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, jenius dan rendah hati seperti daddy mu. Mom tidak sabar sayang..." Ujarnya senang sembari tersenyum penuh harap.

Jari telunjuknya bergerak menyentuh permukaan pasir yang datar serta halus akibat sapuan ombak kecil barusan. Jari itu bergerak membuat sebuah lingkaran. Lebih tepatnya lingkaran lonjong.

Ia tersenyum lalu bangkit dari duduknya. Matahari akan segera tenggelam. Cakrawala sudah menampakkan jingganya.

"Hai sweetheart!" sebuah lengan kokoh merangkul pinggangnya dari samping. Ia tetap menatap lurus ke depan. Lingkaran jingga jauh di hadapannya bergerak seakan tertelan oleh luasnya laut.

Ia membiarkan seseorang yang tengah merangkul pinggnngnya itu mencium pipi kirinya.

"I love you," ucapnya.

Wanita itu memutar tubuhnya menghdap pria ber-tuxedo hitam tersebut. "Bagaimana dengan urusanmu, huh?" tanyanya sembari memukul pelan pundak pria itu. Bukannya menjawab, pria itu malah mendekatkan wajahnya.

Cup

Satu ciuman mendarat di bibirnya.

"Membosankan... Aku lebih merindukan istriku dan jagoanku." Pria itu kemudian berlutut dan mencium perut bulat tersebut.

"Baik-baik di sana jangoan. Daddy menyayangimu." Pria itu terus senyum pada sang istri.

"Theo, aku masih ingin di sini untuk beberapa saat." Wanita itu berucap lalu menghela napas.

"Baiklah. Aku akan menemanimu." pria itu tersenyum setelah mencium pipi wanita spesial di sampingnya itu.

"Hm... Ya,ya,ya. Tapi tidak bisakah kau menyuruh semua bodyguard-mu itu untuk meninggalkan kita berdua saja?" pintanya.

Pria bernama Theo itu pun tersenyum dan sesaat setelahnya menoleh memberikan kode pada kelima bodyguard-nya.

"Sudah..."

Wanita itu mengikis jarak di antara mereka dan memeluk erat prianya. Menempelkan wajahnya di dada bidang sang suami.

"Terima kasih karena sudah mau menerimaku apa adanya, Theo."

"Nothing ... harusnya aku yang harus berterima kasih dan mengucapkan beribu maaf. Karena kelalaianku, kedua orang tuamu..."

"Ssst..." Wanita itu menggeleng dengan jari telunjuk mendarat di bibir pria itu.

"Tidak ada yanh perlu disesali. Itu semua sudah takdir. Kumohon jangan membuat dirimu merasa bersalah lagi. Aku benar-benar mencintaimu Theo."

Pria itu menunduk. Merasa bersalah dengan apa yang tejadi di masa lalu.

"Berhentilah merasa bersalah Theo... "

"Terima kasih." Wanita itu tersenyum senang. Mereka berdua berjalan menyusuri pantai dengan Theo merangkul pinggang wanita itu.

"Apa kakimu tidak sakit?" Theo berucap dan mengarahkan pandangan ke bawah.

"Tidak. Hanya sedikit linu. Tapi tidak apa. Aku ingin menghabiskan hari ini di sini sebelum kita kembali."

"Tidak! Lebih baik kugendong menuju villa. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."

"Tidak... Ayolah.. Aku ingin tetap di sini bersamamu. Lagi lupa kapan lagi aku bisa ke sini."

"Emma .. Kita bisa kesini lain waktu lagi. Bersama baby kita." Theo berucap sambil memegangi kedua pundak wanita bernama Emma tersebut.

Tatapan mereka bertemu.

"Aku akan membawamu ke sini kapanpun kau mau. Bahkan ke tempat yang jauh lebih indah. Apa perlu aku membeli pulau ini?" Theo berucap dengan setengah berpikir.

Emma memukul lengan pria itu.

"Jangan menyombongkan diri!"

"Aku tidak sombong. Tapi itu kenyataan. Pulau ini tidak ada apa-apanya, Sayang..." Emma memutar bolah matanya. Jengah.

Inilah sifat Theo. Selalu membanggakan kekayaannya. Walau Emma akui, keluarga Theo termasuk orang yang begitu dihormati di negeri ini.

"Sudahlah... Lupakan."

"Ya,ya,ya, kutahu kau bosan. Tapi .. Baiklah. Aku tidak akan mengungkit tentang pembelian lagi." Emma tersenyum senang mendengar penuturan Theo. Ia tahu jika sang suami bisa melakukan apapun.

"Tetap di sampingku Theo."

"Tentu, Sayang."

Sesaat kemudian, wanita itu berjinjit sembari memegang kedua pundak Theo dan menciumnya dengan lembut.

Theo menyambut ciuman itu dengan penuh kasih sayang. Ia memegangi pinggang wanita itu. Walau ada pengganjal yaitu perut buncit namun tidak ada halangan.

Mereka terhanyut dalam keheningan malam yang mulai terlukis di cakrawala. Sang surya seakan menjadi saksi cinta mereka. Mereka mengabaikan segalanya. Seakan dunia hanya milik mereka berdua.

***

"Theo... Aku sudah bilang. Aku tidak suka menaiki heli...." Emma memasang wajah cemberut. Ia sedari tadi tidak setuju jika mereka menaiki heli. Tapi apa boleh buat, Theo lehih memilih menaiki heli.

"Ayolah sayang... Berhenti marajuk. Aku tidak punya pilihan." Theo berbicara melalui microphone yang terpasang di sepanjang kepalanya. Begitupun dengan Emma yang duduk di kursi samping kemudi.

"Aku sudah bilang. Lebih baik kita pulang besok."

Emma menoleh ke samping bawah melihat pemandngan kota Washington di malam hati.

Ya, mereka menempuh perjalanan kembali dari New York dengan menggunakan helikopter milik Theo setelah kembali dari pantai tadi.

Emma bergidik setiap kali melihat ke bawah.

"Berhentilah merajuk Emma... Kita akan segera sampai." Theo mencoba membujuk wanitanya.

Emma menghela napas berat. Ini yang tidak disukainya lagi dari Theo. Selalu mengambil keputusan tanpa melibatkan dirinya di dalam dan pada akhirnya dirinya yang terugikan.

"Ayolah... "

"Kalau aku menggunakan pesawat. Malah membutuhkan waktu yang lama. Kau tahu sendiri, bukan? Di pulau itu tidak ada landasan yang luas." Tangan kiri Theo bergerak mengelus lembut rambut Emma. Sedangkan wanita itu masih kesal.

"Aku belum memaafkanmu Theo!" Emma menghentak-hentakkan kakinya ke bawah.

"Hei, hei, berhenti! Kau mau membuat kita terjatuh?" Theo mengomel.

"Biarkan saja!" Emma melipatkan tangan di depan dada.

"Hei! Berhentilah merajuk, aku tidak mau mati muda. Umurku baru 24 tahun, Emma."

"Dan aku baru 21 tahun..." Emma menatap sebal ke pada Theo. Dilihatnya pria itu tengah serius untuk membelokkan capung terbang itu ke atas sebuah gedung dengan logo "LCS" besar menyala di atasnya.

"Sudahlah... Behenti merajuk. Aku akan memberikam ice cream satu meter itu, bagaimana?" Theo menawari.

"Kau bilang aku tidak boleh makan ice cream dengan alasan ini itu... " Emma berucap sebal.

"Em... Yeah... Untuk saat ini kubolehkan." Theo tersenyum manis.

"Benarkah?" Emma menanggapi dengan antusias.

"Hmm." Theo mengangguk.

Helikopter sudah mendarat dengan mulus di landasan. Theo segera mematikan mesinnya dan turun. Ia membantu sang istri turun. Walaupun tidak terlalu tinggi, tetap saja ia khawatir. Usia kehamilan sudah memasuki 8 bulan.

"Hati-hati sayang."

Emma turun dengan hati-hati. Satu tangannya dipegangi Theo.

Putaran baling-baling heli yang sudah dimatikan membuat rambut Emma tersipu hingga sedikit berantakan.

"Argggghh...." Emma tiba-tiba menjerit kesakitan setelah kakinya berpijak. Theo yang tekejut membulatkan matanya.

"Kau kenapa?" Theo bertanya gusar melihat Emma memegangi perutnya.

"Perutku terasa sakit. Ya tuhan... Theo. Aku tidak sanggup lagi..."

"Bertahanlah, Sayang." Theo mengambil ponselnya dan memghubungi seseorang.

"PASTIKAN LIFT PRIBADI KOSONG SAMPAI BAWAH. SIAPKAN MOBIL CEPAT!" bentak Theo dengan suara keras.

"Bertahanlah sayang... "

Theo menggendong istrinya ala bridal style. Dan mendobrak pintu. Seketika beberapa bodyguard menghampirinya.

"SIAPKAN MOBIL!"

"Sudah, Sir."

'Bertahnlah, Sayang.... "

Theo tidak tega melihat wajah istrinya kesakitan. "Sakiiit kumohon..."

Mereka memasuki lift dengan didampingi dua bodyguard.

"ARRGH..."

Berulang kali Theo mengeluarkan sumpah serapahnya. Ia benar-benar frustasi. Suasana menjadi tak terkendali.

Dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Akhirnya mereka bisa sampai di lantai dasar dengan kurun waktu hanya setengah menit. Dari lantai 45.

Semua orang yang berada di gedung itu terkejut melihat bos mereka berlari sembati menggendong sang istri yang mengeluarkan darah dari selangkangannya.

"Kumohon bertahnlah... "Theo mencium kening Emma yang sudah tidak sadarkan diri.

"CEPAAT!!!" ia memaki sopir limosin.

"Kumohon, Sayang."

"Bertahanlah demi anak kita..."

Limosin hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi. Jalanan seolah telah di-setting agar diperlancar. Semua mobil menepi. Membiarkan limosin tersebut menuju sebuah rumah sakit. Di dalam mobil, Theo tak henti-hentinya manggil nama Emma.

***

"Lalukan yang terbaik. Berapapun biayanya... " Theo berucap panik pada dokter di hadapannya yang akan memasuki ruangan operasi.

"Kumohon... Selamatkan anakku dan istriku... "

"Baik, sir. Anda tentang saja. Kami akan melakukan yang terbaik. Keselamatan Mrs Emma adalah tanggung jawab kami. Anda tunggu di sini. Kami akan mencoba mengambil tindakan caesar untuk menyelamatkan bayinya," ucapnya. Theo pun mengangguk.

Dokter perempuan itu berjalan masuk ke dalam ruang operasi.

"Arghhh..." Theo mengeram frustasi.

"Tenanglah, Dude. Dad yakin, Emma akan selamat beresama jagoan kalian." seorang pria paruh baya berjalan mendekat untuk menenangkan Theo.

"Dad.... Ini semua salah Theo. Emma... Emma..." Theo menggeleng mencoba menahan emosinya.

"Sudahlah sayang... Kita berdoa saja. Kendalikan dirimu. Kau tidak perlu marah-marah dan menimpakan kemarahanmu pada semua orang. Apalagi sanpai mengancam memecat mereka." Seorang wanita seumuran dengan ayahnya tadi juga ikut menenagkan Theo.

Theo diam. Sesampainya di rumah sakit yang tidak lain adalah milik keluarganya. Ia meluapkan emosinya ketika sang istri tak kunjung sadarkan diri. Semua orang yang menghalangi jalannya ia bentak. Dan sampai mengancam akan memecat suster yang tidak sigap. Sebenarnya Theo saja yang terlalu terbawa emosi. Di matanya semua terlihat salah.

Theo terduduk lemas di kursi. Berulang kali ia meremas rambutnya frustasi. Kedua lengan kemejanya ia gulung.

Setelan jas yang ia pakai sudah tidak berwujud lagi. Ia membuang asal jas dan dasinya entah di lantai ke berapa rumah sakit itu.

Beberapa saat kemudin dokter keluar dari ruangan dan ingin menyampikan sesuatu namun dengan tak sabarnya Theo langsung masuk dan menghampiri Emma yang tengah terbaring lemas. Tatapan mereka bertemu.

Dengan cepat Theo langsung meluapkan rasa khawatirnya dengan mencium wanitanya itu. Air mata tak terbendung lagi. Mengalir membasahi pipi Emma.

"Kau hebat, Sayang. Terima kasih." Kecupan di dahi, Theo berikan. Wanita itu mengangguk terharu.

Theo menengok ke samping. Semua perawat yang membantu persalinan Emma terlihat diam setelah menyelesaikan proses persalinan.

"Kenapa kalian diam?!" Tanya Theo dingin. Ia merasa ada yang tidak beres.

"Mana anakku?" Theo berjalan mendekat pada seorang perawat yang tengah menggendong bayinya.

Senyuman sekilas terukir.

"Kenapa kalian diam?"

Emma yang memperhatikan hal itu, terlihat ia ikut cemas seketika.

"Theo... Anak kita..."

"Berikan padaku." Theo menggendong bayinya dengan hati-hati.

"Hai baby... It's me, Daddy..." Theo mengajak berbicara sang anak namun bayi tersebut tetap diam. Matanya tertutup
Merasa ada yang janggal, Theo menatap dokter perempuan itu, meminta penjelasan tanpa bersuara.

"He's.... "Dokter itu berucap ragu.

"Theo... I wanna see him." Emma berkata penuh harap.

Theo memberikan bayi merah mungil itu ke atas dada Emma dengan posisi tengkurap.

"Explain..." Theo berucap dingin, kembali menatap mereka.

"Theo... Why... He didn't breath...." Air mata Emma seketika membasahi pipinya.

Tubuh Theo seketika menegang.

"Theo..." Emma menggapai tangan Theo untuk mengarahkan agar menyentuh sang anak. Emma mencium kening bayi merah itu berulang kali.

"Please.... Breath.... " Emma berbisik.

Air mata kesedihan tumpah begitu saja dari kedua orang tua Theo yang juga berada di dalam ruangan.

"Please... Breath my lil boy, you're a strong baby... " Theo berbisik lalu mencium pipi bayi itu.

"Please... Don't leave us..."

"You're a strong baby... "

Bisikan penuh harap itu membuat suasana ruangan menjadi haru. Tidak ada yang harus disalahkan. Theo yang dasarnya tempramen saat ini hanya bisa bersuara kecil. Memohon agar sang anak bernapas.

Bibir mungil itu masih tetap mengatup.

"Please breath.... Dad and Mom want to see your smile baby... Please..."

Theo menyugar rambutnya. Hancur sudah harapannya untuk bisa menimang sang buah hati. Semua hanya angan semu.

Hancur sudah angannya untuk memberikan nama pada sang jagoan kecilnya.

Emma terus berbisik.

"Dad and Mom love you baby..." Emma berucap setengah frustasi. Hanya itu yang bisa ia ungkapkan.

Tak lama setelahnya... Sedikit demi sedikit jemari kecil itu bergerak. Emma tersenyum bahagia seketika. Theo pun tak menyangka.

"Theo... Look at him..."

"He's moving... "

Perlahan bayi merah itu membuka matanya sembari menguap dan seketika menangis. Semua yang berada di ruangan. Menatap tak percaya.

Ini sungguh mukjizat.

Dia... Bayi kuat. Ya, keturunan Lancaster.

"Shawn Peter Lancaster." Theo berucap pelan sembari menyeka air matanya yang hampir menetes.

***

Vote and comment below! ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top