Chapter 6 (Penyamaran Terbongkar)

"Andai saja sejak awal aku memiliki keberanian untuk melawan ibuku, tentunya kau dan keluargamu tidak akan menderita seperti ini.
Mianhae, Seo Hyun-ah,"

(Nam Woo Hyun)

***

Happy Reading

***

Musim gugur
Pukul 16.23 KST

Daun-daun perlahan mulai meninggalkan ranting. Jatuh berguguran memeluk bumi. Mentari jingga masih mengintip malu di balik awan. Membuat hari menjadi sedikit remang. Udara penghujung musim gugur makin menggigit, pertanda sebentar lagi akan memasuki musim dingin.

Hari itu, Sae Ron tidak berdandan seperti biasanya. Ia melepas segala atributnya sbagai seorang Kim Seo Hyun. Kembali memakai jeans serta kaos turtleneck hitam yang di lapisi jaket hitam berbulu. Tak lupa dengan boots-nya. Sae Ron tampak berbeda.

"Eonni, jaljinaesseoyo?"

Sae Ron kini tengah berada di rumah abu. Tempat di mana abu dari Seo Hyun di simpan. Terbungkus rapi di dalam sebuah guci putih yang berada di dalam lemari kaca. Sae Ron menatap guci itu sedih. Mengelusnya pelan sambil memerhatikan sebuah foto di mana dirinya dan si kakak tengah berlibur ke Pulau Jeju. Si tomboy Sae Ron tengah tersenyum cerah dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya, sambil bengacungkan dua jarinya membentuk lambang kedamaian, sementara Seo Hyun tengah tersenyum manis sambil menatap kamera.

Dulu mereka terlihat sangat bahagia.

Dulu.

Saat raga itu masih ada.

"Eonni, maafkan aku. Aku selama ini tak pernah memahami perasaanmu. Aku selalu saja merengek padamu tanpa tahu kau ternyata sedang mengalami kesulitan," tutur Sae Ron panjang lebar.

Air matanya masih mengalir deras. Bersama semua rasa penyesalan yang terlambat ia sadari. Andai dulu ia bersikap lebih perhatian pada sang kakak, tentunya Seo Hyun tak akan nekat bunuh diri.

Andai...

Andai...

Andai...

Sae Ron hanya bisa mengandai-andai.

Srek

Satu buah buket mawar putih jatuh begitu saja ke atas lantai. Membuat atensi Sae Ron terputar ke asal suaran.

Ia terpaku di sana. Menatap si pemilik mawar tersebut.

"Eo-- eonni?"

"W-- Woo Hyun-ssi?!"

Sae Ron benar-benar tak menyangka akan bertemu dengan laki-laki itu di sini. Terbongkar sudah penyamarannya. Lidahnya kelu untuk mencari bahan penjelasan.

"Bagaimana bisa--"

"Woo Hyun-ssi, aku bisa jelaskan," ujar Sae Ron pelan. Melangkah mendekati Woo Hyun yang saat itu masih mematung kaget.

Kepalanya menggeleng cepat. "Tidak-- aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu." Sejurus kemudian, Woo Hyun melangkah keluar. Sae Ron terus melangkah mengejar laki-laki itu. Ia tak bisa diam saja. Rahasia itu belum terkuak seutuhnya. "Woo Hyun-ssi, tunggu-- akh!" Langkah lebar Woo Hyun tak bisa ia kejar. Alhasil, Sae Ron malah jatuh tersungkur ke atas lantai, sementara Woo Hyun sudah masuk ke dalam mobilnya dan mencap pedal gasnya kencang. Ia sudah merasa seperti dipermainkan oleh gadis yang memanggil Seo Hyun dengan sebutan kakak.

Sae Ron menangis terisak di sana. Tubuhnya masih terduduk di atas lantai. Ia tak memerdulikan lututnya yang sakit terantuk lantai. Hatinya terasa lebih sakit. Bodoh! Ia benar-benar merasa bodoh.

"Ah, otteohkaji? Eonni, maafkan aku. Aku malah berbuat kesalahan. Seharusnya tidak seperti ini!" Sae Ron bermonolog. Memaki kebodohannya sendiri. Ia terduduk di tempatnya tadi terjatuh. Menangis sejadinya di sana.

***

"Bodoh! Bagaimana bisa aku tidak menyadari kalau Sae Ron adalah adik dari Seo Hyun? Kau memang benar-benar bodoh, Woo Hyun-ah!" Woo Hyun berteriak keras memaki dirinya sendiri. Barang-barang yang tertata rapi di atas meja kerjanya, semua tercecer di atas lantai. Tergeletak begitu saya karena emosi Woo Hyun yang sudah meledak.

"Arghhhhh!" Rasa sakit itu tak mampu lagi Woo Hyun pendam. Harusnya gadis itu datang dengan makiannya. Bukannya malah perlahan masuk ke dalam hatinya. Woo Hyun sungguh tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran gadis itu.

Rasa bersalah semakin menyelimuti hatinya. Ia bahkan dengan rasa tidak tahu malu, sudah memperlihatkan kesakitannya pada Sae Ron, tanpa ia tahu, Sae Ron pasti merasakan hal yang lebih menyiksa dari apa yang ia rasakan.

Pikirannya sedang kalut. Saking terkejutnya, ia malah memilih kabur, alih-alih mendengarkan penjelasan dari Sae Ron. Tentu Sae Ron pasti punya maksud lain, mengapa ia sampai merahasiakan identitasnya itu.

Woo Hyun melankah menuju meja kerjanya. Mengobrak-abrik isi laci yang terkunci dengan password. Gerakannya terhenti, saat ia melihat sebuah kotak beludru berwarna merah. Tangan gemetarnya perlahan meraih kotak kecil tersebut. Ngilu batinnya saat melihat isi dari kotak tersebut. Sebuah cincin bertahtakan berlian murni serta sebuah voice recorder kecil.

"Seo Hyun-ah, maafkan aku yang pengecut ini. Andai saja sejak awal aku memiliki keberanian untuk melawan ibuku, tentunya kau dan keluargamu tak akan menderita seperti ini. Mianhae, Seo Hyun-ah,"

Seperti tersengat jutaan volt listrik. Nyali Woo Hyun kini meningkat drastis. Ia tak ingin lagi bersembunyi dari rasa bersalahnya. Ia tak ingin lagi tutup mata atas apa yang terjadi selama ini. Ia tak ingin lagi menjadi pengecut yang menyembunyikan fakta besar itu.

Tidak.

Tidak lagi.

Diraihnya ponsel yang tergeletak mengenaskan di atas lantai karena tadi sempat ikut terbanting bersaan dengan barang-barangnya yang lain, lalu segera meluncur keluar.

Niatnya hanya satu. Menguak fakta memuakkan yang sudah membuatnya selalu hidup dalam penyesalan yang besar serta sakitnya kehilangan.

***

TBC

Salam,
Aurelia
18 Agustus 2019


P.S.

Sebentar lagi FF ini akan tamat.
Tungguin terus kelanjutannya, ya!!!
😚😚😚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top