Chapter 4 (Fakta Menyakitkan)

"Jika kau benar-benar tidak mencintainya,
lalu mengapa kau hidup dalam penderitaan seperti ini?"

(Kim Sae Ron)

***

Happy Reading

***

Hujan sudah mulai reda. Menyisakan aroma basa khas hujan yang sangat disukai Seo Hyun. Sae Ron teringat hari itu. Saat ia menunggu lama di halte bus dengan sebuah payung demi menunggu sang kakak agar dalam perjalanan ke rumah ia tidak kehujanan. Hujan turun dengan deras. Dingin begitu memeluk erat. Saat itu, sang kakak akhirnya datang. Bukannya segera menghampiri Sae Ron, Seo Hyun malah sibuk bermain air. Membiarkan buliran dingin itu membasahi sekujur tubuhnya. Kata Seo Hyun, ia sangat menyukai hujan. Entah apa alasannya, Sae Ron tak pernah tahu.

Genangan air di jalanan membuyarkan lamunannya. Ia lalu tersenyum. "Hari itu, kau terlihat bahagia sekali, eonni."

Pikirannya kini berpindah pada sikap wanita mengerikan tadi, Nyonya Nam. Bagaimana bisa sifat nenek tua yang masih terlihat muda itu berbeda jauh dengan sifat putranya? Imajinasinya lagi-lagi berpikir liar. "Apakah dia juga bersikap kasar pada Seo Hyun Eonni? Ah, mengerikan sekali!"

Entah sejak kapan matahari sudah tenggelam. Sae Ron tak menyadarinya. Dari pada ia pergi ke kafe, Sae Ron lebih memilih untuk menenangkan diri di rumah.

Ceklek

Pintu terbuka lebar. Gelap dan sepi selalu menyambutnya ketika pulang. Sae Ron membuang napasnya berat. Perasaannya saat ini sedang tidak baik. Seperti roller coaster yang selalu bergerak naik-turun. Nyeri pada lututnya masih terasa. Ia melangkah mendekati rak buku. Mencari-cari kotak obat yang biasa ia letakkan di sana.

Setelah menemukannya, Sae Ron segera mendudukkan tubuhnya di atas kasur. Menggulung celana kebesaran itu hingga lututnya terlihat. "Pantas saja sakit. Lututku ternyata lecet dan lebam. Aigo, sial sekali hidupmu, Kim Sae Ron!" Sae Ron terus bermonolog. Memaki takdir yang rasanya belum puas menyiksanya, sambil mengoleskan krim penghilang luka dengan sebuah cotton bud. Ia meringis ngilu, saat krim itu menyentuh lukanya. Perih terus menjalar ke sekujur tubuhnya, hingga membuatnya menggigil.

Baru saja Sae Ron ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur, ponselnya berdering. Ia segera merogoh ponsel tersebut dari dalam kantong celana training milik Woo Hyun. Untung saja ponselnya tidak ia letakkan di dalam tas. Jika iya, mungkin ia akan kehilangan ponsel berharganya juga.

Sederet nomor tak dikenal memenuhi layar. Keningnya mengernyit bingung. "Yeoboseyo?"

Suara seseorang yang ia hapal betul, menyahut di seberang sana. Sae Ron terdiam sebentar.

"Shiroyo!"

"Arghhhhh, siltaguyo!" Sae Ron menyahut kencang. Raut kesal kini menghiasi wajah putihnya.

"Arasseoyo!" Lalu Sae Ron segera menutup panggilan tersebut. Melemparnya ke atas kasur, lalu segera meluncur ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.


Heaven's Café
Pukul 20.21 KST

Woo Hyun saat ini tengah santai menyesap latte-nya. Sudah setengah jam ia duduk di sana. Mendelik dari ujung mata untuk memerhatikan gadis yang detik ini tengah duduk di hadapannya. Dia, Kim Sae Ron.

"Jelaskan padaku, sebenarnya ada hal mendesak apa yang membuat Anda sampai memintaku datang?" Sae Ron sudah bosan berada di sana. Keduanya sama-sama bungkam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Rasanya seperti, muak. Terlebih, ia harus berada di dekat laki-laki itu. Makin jengah saja perasaannya.

Woo Hyun meletakkan cangkir latte-nya, lalu membenarkan posisi duduk. "Tunggulah sebentar lagi. Dia akan datang," tukas Woo Hyun santai. Ia tersenyum sambil menatap wajah Sae Ron yang sudah jengah bukan main.

"Tsk, menyebalkan!"

Selang beberapa waktu, seorang gadis cantik bak malaikat yang pernah Sae Ron temui di restorannya datang menghampiri. Senyum mengembang sempurna dibibirnya yang dilapisi lip tint berwarna natural. Membuatnya lembab mengilap. Aroma parfume mahal menguar dari tubuhnya. Tertiup mesin pendingin kafe.

"Oppa!" serunya.

Woo Hyun menoleh ke asal suara. "Eo, Cho Rong-ah! Wasseo?"

"Eumh!" Raut senangnya perlahan luntur, saat melihat sosok Sae Ron ada di sana. Tengah berdiri menyambut dengan senyuman khasnya. "Nuguseyo?"

"A--"

"Dia Kim Sae Ron. Kekasihku," ujar Woo Hyun gamblang. Memotong kalimat yang baru saja ingin meluncur dari bibir Sae Ron.

"Ke-- kekasih?" Kening Cho Rong mengernyit bingung. "Oppa, kau bercanda?"

Woo Hyun kini bangkit dari duduknya. Berdiri tegap sambil menatap mata Cho Rong yang penuh dengan rasa penasaran. Ada sirat yang menggambarkan luka di sana. Woo Hyun sebenarnya tak tega, namun ia tak memiliki pilihan lain. "Benar. Dia kekasihku."

Genangan air sudah memenuhi garis matanya. Siap meluncur deras bersama rasa kecewa. "Oppa, bercandamu tidak lucu," ujarnya pelan. Perasaannya mulai tidak karuan.

Woo Hyun lantas merangkul bahu Sae Ron. "Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan kalau gadis ini adalah kekasihku?" Senyum masih mengembang di bibir Woo Hyun, sedang Sae Ron masih terpaku tak percaya dengan apa yang sudah laki-laki itu lakukan terhadapnya, pun terhadap Cho Rong.

Plak

Tamparan itu mendarat mulus di pipi kanan Woo Hyun. Cho Rong geram bukan main dengan sifat laki-laki itu. Seenaknya saja dia.

"Aku membencimu, Oppa!" Cho Rong lantas angkat kaki dari tempatnya berpijak. Rasa sakit hatinya sudah terlalu dalam. Ia kira, Woo Hyun juga menyukainya. Laki-laki itu tak pernah bersikap buruk. Ia selalu memperlakukan Cho Rong dengan baik. Tapi, ia salah karena sudah menarik kesimpulan seperti itu. Woo Hyun ternyata tidak menyukainya.

Selepas kepergian Cho Rong, Woo Hyun akhirnya bisa bernapas lega. Ia kembali duduk bersandar di kursinya. Sementara Sae Ron masih tak percaya dengan apa yang ia lihat dan rasakan barusan. Ia semakin menganggap kalau laki-laki di hadapannya itu memang berengsek.

"Jangan menghakimiku, jika kau tak tahu apa-apa, oke?" Kalimat itu mencelos dari bibir tebal Woo Hyun.

"Heol! Anda cenayang?" kaget Sae Ron, lalu ikut duduk di atas kursinya. "Dia sepertinya gadis baik. Kasihan sekali."

Woo Hyun mencebik gemas. "Kim Seo Hyun. Kau pernah melihat fotonya di kamarku, bukan?"

Mendengar nama itu kembali disebut, Sae Ron menegang. "Ah, gadis itu." Lidahnya mendadak kelu. Manik coklatnya bergerak gusar.

"Kau tahu, kan, kalau dia kekasihku? Mana mungkin aku bisa menduakannya?"

Lagi-lagi Sae Ron terdiam. Ia Kira, Woo Hyun adalah laki-laki berengsek. Tapi faktanya, Woo Hyun tidak seperti itu. Ia tak bisa mengukur seberapa besar cinta laki-laki itu untuk sang kakak yang sudah tiada. "Lalu, di mana kekasih Anda itu, Woo Hyun-ssi?" Akhirnya, kalimat itu keluar juga dari bibir Sae Ron. Tempo hari, Woo Hyun sama sekali tak mau terbuka padanya soal Seo Hyun.

Woo Hyun membuang atensinya ke arah pemandangan di luar kafe lewat jendela besar yang membatasi. Lagi-lagi pikirannya seperti terombang-ambing oleh rasa sakit yang begitu menyesakkan. Haruskah ia terbuka pada gadis asing yang baru beberapa hari ia kenal? "Dia, sudah pergi."

Batin Sae Ron mencelos. Ia bisa melihat raut kesakitan itu, meski hanya dari samping. Sae Ron memahami perasaan Woo Hyun, karena ia pun sama-sama merasakan sakitnya kehilangan.

"Satu tahun yang lalu, dia bunuh diri." Seolah ada perasaan lega yang ikut andil dalam perasaannya. Setelah memendam perasaan sakit itu sendirian, Woo Hyun akhirnya mau membuka diri pada orang asing. Pada Sae Ron. Entah mengapa ia merasa harus menceritakan hal itu pada gadis pemilik wajah serupa dengan kekasihnya. Melihat wajah itu, Woo Hyun malah semakin diselimuti rasa bersalah, juga rindu yang selama ini ia pendam sendiri.

Bulir bening itu mencelos dari pelupuk mata Woo Hyun.

Sae Ron nyaris ikut meneteskan air matanya. Ia tak boleh terbawa suasana. Bagaimana pun juga, ia tak boleh ketahuan, sebelum misteri kematian sang kakak bisa terpecahkan.

Woo Hyun kini menatap manik kecokelatan milik Sae Ron yang benar-benar mirip dengan manik Seo Hyun. Hanya saja, tatapan matanya yang berbeda. Seo Hyun lebih teduh dibandingkan dengan tatapan tajam milik Sae Ron. "Bukankah aku laki-laki yang menyedihkan, Sae Ron-ssi?"

Sae Ron tak mampu mengolah kalimat dari bibirnya. Perasaannya berkecamuk hebat. Ia ingin menangis keras detik itu juga. Tubuhnya sudah lemas menahan tangis itu.

"Andai saja aku tidak egois, aku pasti masih bisa melihat senyum cerianya." Woo Hyun tersenyum kecil, sedang matanya sudah memerah. Pipinya basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Miris sekali melihatnya.

Kedua tangan Sae Ron sudah basah. Keringat mengucur deras. "Apa kau sangat mencintainya, Woo Hyun-ssi?"

"Aku kira aku benar-benar mencintainya. Tapi aku merasa, aku tidak seperti itu."

Kening Sae Ron mengernyit bingung.

Senyum kecil lagi-lagi tersungging di bibir tebal Woo Hyun. "Jika aku benar-benar mencintainya, aku tak mungkin bisa ada di sini. Aku pasti sudah pergi menemuinya di sana. Aku ini pengecut. Tidak pantas rasanya jika aku mengaku bahwa aku sangat mencintainya."

Bulir itu tak lagi mampu Sae Ron bendung. Tangis itu sudah terlalu sesak ia tahan. Ia yakin betul, bahwa bukan Woo Hyun, alasan mengapa kakaknya nekat bunuh diri. "Jika Anda tidak mencintainya, Anda tidak mungkin hidup dalam penderitaan seperti ini, kan?"

Rasanya seperti tertampar oleh kalimat yang keluar dari bibir tipis Sae Ron. Ya, jika Woo Hyun tidak benar-benar mencintainya Seo Hyun, kenapa ia harus hidup menderita seorang diri selama satu tahun terakhir? Bodoh!

"Maaf, saya harus pergi. Permisi," Sae Ron tak tahan berlama-lama di sana. Pikirannya sudah tak beraturan lagi. Rasa sesak semakin menjeratnya. Bukan, bukan ini yang ia inginkan. Bukan tangisan dari laki-laki itu yang ingin ia lihat. Bukan rasa sakit itu yang menyentuh perasaannya. Sae Ron seperti kehilangan tujuannya sendiri.

TBC

Love and respect

Salam,
Aurelia
26 Juli 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top