Si Paruh

Pukul 7.00 WR.

Rambutku masih basah dan kubiarkan begitu saja. Sisa airnya menetes membasahi kausku. Sementara itu, mulutku tengah melahap Candelai yang baru saja matang 5 menit yang lalu. Kue buatan Mou ini tidak bisa diplagiat resepnya. Khusus hanya dibuatkan untukku sejak kami memutuskan untuk bersama.

Em ... sebenarnya 'bersama' maksudku adalah berjuang dan melangkah bersama, bukan dalam artian pernikahan. Dalam kaum kami, tidak ada yang namanya pernikahan, kecuali Mate. Hampir sama seperti hewan bernama serigala, dalam berpasangan kami pun begitu. Setiap individu hanya memiliki satu Mate dan kami akan setia sampai mati atau bahkan beberapa reinkarnasi lagi—kalau yang percaya dengan hal itu.

Sinyal Mate akan kami dapat dan rasakan ketika kami mencapai usia dewasa dan siap untuk berkembang biak. Usia 20 tahun adalah masa dewasa awal dan di umur itulah kami mendapatkan sinyal Mate. Jika tidak menerima sinyal itu, bisa dipastikan pasangan Mate mungkin berasal dari koloni ekstraterestrial lain di luar Reptilian.

"Bagaimana? Terlalu manis?" tanya Mou sambil melahap sedikit Candelai buatannya.

Aku mengangguk dengan mulut penuh. Sesekali membersihkan sisa remahan yang menempel di sudut bibir Mou. Aku tersenyum mengingat saat kali pertama kami tahu soal Mate dan ditakdirkan untuk itu.

Momen yang konyol. Ketika Chevran memukuliku di akademi dan Mou berhasil menghentikannya dengan sebatang pensil. Benda runcing yang dilempar itu mengenai mata Chevran dan membuat percikan kecil di sana. Pemuda bermata hijau itu geram, tapi tidak jadi mengingat posisi Mou adalah senior kami waktu itu. Dia kabur dan mengadu pada Hong Yurfian. Aku selamat darinya, tapi tidak dengan ayahnya. Esoknya, aku berangkat dengan wajah babak belur. Namun, Mou mendapatiku dan mengobati lebamku di unit kesehatan sekolah. Di situlah kami mendapatkan sinyal Mate.

Mou menjentikkan jarinya di depanku dan membuatku tersentak. "Ada apa?"

Aku menggeleng. "Ini enak!" kilahku. "Besok-besok kau bisa menambahkan bubuk Mad supaya aromanya lebih kuat."

"Kutambahkan Bret juga nanti," sahutnya yang menimbulkan gelak tawa di antara kami.

Sejenak, waktu terasa berjalan lambat. Kami belum mendapatkan titah misi dan tentu saja waktu-waktu seperti ini bisa kami gunakan untuk bersantai. Namun, keraguan itu kembali merambat pelan, memenuhi hasrat.

"Hanya kau dan aku yang tersisa di sini," ucapku membuka dialog serius. "Bagaimana kalau tiba-tiba kita dipisahkan?"

Mou meneguk air minumnya sejenak, lalu menatapku. "Masih ada tiga yang lain—"

"Mou." Aku menyela. "Draconian, hanya tersisa kita berdua di divisi ini."

Gadis itu terdiam, sesekali menunduk. "Aku mungkin hanya akan mengikuti kemauan mereka, Max," katanya. "Seluruh rasku sudah dibantai habis sepuluh tahun lalu, termasuk keluargaku. Keselamatanku bisa terjamin hanya karena aku memutuskan untuk menjadi bidak mereka. Mungkin, sudah waktunya aku menyudahi semua ini. Tidak ada yang bisa kulakukan. Kau begitu juga, 'kan?"

Salivaku tertelan sejenak. Aku mengangguk. "Mungkin, aku bisa menyelamatkanmu," balasku. Selama sekian detik, mata kami bertemu. "Aku bisa menggunakan pangkatku untuk menyelamatkanmu—"

"Bagaimana dengan yang lain? Rag? Dia teman baikmu di militer. Kad? Dia sudah seperti kakak buatmu. Dan Tao serta Extan? Kau tidak memikirkan mereka?"

Raut wajah Mou berubah. Keningnya berkerut hampir menyatukan kedua alisnya. Manik hazelnya menatap lurus kepadaku.

"Kalau kau ingin menyelamatkanku, pikirkan mereka juga," imbuhnya sebelum mengakhiri sarapan pagi ini.

Pikirkanku kalut dipenuhi emosi dan kebimbangan yang bergejolak. Tubuhku terpaku memandang potongan terakhir Candelai yang tersisa di piring. Semua ini tidak berakhir baik, kurasa.

***



Sebuah pesan tersemat di salah satu layar hologram sesaat setelah aku selesai membereskan kamar. Laporan-laporan waktu itu membuatku malas merapikan ruangan ini. Keberadaan Mou juga tidak berefek karena aku melarangnya untuk membereskan semua masalahku.

Kerlip merah menarik perhatian hingga akhirnya jemariku menekan titik tersebut hingga memunculkan kotak berisi tulisan dari seseorang.

Ke laboratorium 5 menit lagi.

Aku menghela napas. Dia pikir aku bisa teleportasi langsung ke sana begitu? Teknologi semacam itu hanya digunakan untuk mengakses lubang cacing antar dimensi, bukan pindah ruangan. Enak saja!

Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di laboratorium dengan warna putih dominan mewarnainya. Seluruh teknisi di sana menggunakan jas khusus, termasuk aku. Sebuah pintu terbuka saat aku menempelkan telapak tangan kanan di kotak kecil di salah satu sisi pintu.

Hal yang pertama kali menyambutku adalah kotak kaca berisi serangkaian elektromagnetik yang memancarkan listrik berwarna biru di sekitar bola hitam yang melayang di tengahnya. Biru adalah warna paling panas pada nyala api, tapi seharusnya itu memancarkan warna ungu kalau atom yang berada di tengah adalah wujud materi negatif. Sayangnya, ini bukan materi yang menjadi bahan utama penciptaan portal dimensi, melainkan bahan utama senjata pemusnah massal. Metatriska.

Netraku menyipit mendapati beberapa orang tengah berkumpul dan membicarakan sesuatu. Atensi mereka terarah padaku ketika diri ini menghampiri orang-orang tersebut.

"Dia juga salah satu yang berperan di sini," ucap seorang pria yang sangat kukenal.

"Kudengar, dia anak didikmu?" tanya salah seorang di antara mereka. "Turian?"

Pria bermata hijau itu mengangguk. Dia tidak tampak seperti Hong Yurfian yang biasanya. Yang ini lebih tenang, tapi menghanyutkan. Di sebelahnya berdiri seorang yang menarik perhatianku sejak tadi. Sosok berkepala burung biru itu menatapku, sesekali mengendikan sebelah alisnya. Dia yang berhasil mendapatkan tatapanku ketika di hanggar utama kemarin.

"Jadi, bagaimana progress-nya? Apa sudah berjalan sesuai harapan?" Salah satu yang berkepala besar dan kurang gizi—seperti kata Rag—menyahut. "Kami tidak akan menginvestasikan sebagian besar pendapatan jika hasilnya tidak memuaskan."

"Hasilnya cukup memuaskan, Trexta." Seorang pria yang baru saja masuk menghampiri kami. Zafarich Mour dengan rambut putihnya yang menjuntai panjang. "Kau bisa lihat dari uji coba pertama kemarin. Bagaimana?"

Trexta, si Grey berkulit kelabu, terdiam dan mengangguk. "Kami mungkin bisa menjadi sponsor kalian seterusnya setelah melihat keberhasilan ini," ujarnya. "Tapi, berapa banyak yang kalian korbankan? Kami harus mempertimbangkannya karena yah ... kita juga harus membudidayakan mereka, 'kan?"

Aku meneguk liur sambil berusaha mencerna pembahasan mereka. Topik yang lebih pelik daripada sekadar uji coba Metatriska. Budidaya mereka, maksudnya 'kami'?

Zaf tampak menghela napas. "Yah, kami kehilangan banyak karena sepertinya mereka yang mati gagal mempertahankan diri dalam wujud half-reptil. Seharusnya ini bukan kali pertamanya untuk mereka, tapi sepertinya mereka telah terlena dengan keadaan di sini sampai lupa bagaimana caranya bertahan hidup," paparnya seraya menoleh ke arahku. "Hanya dia yang tidak dikirim ke sana kemarin."

Seluruh orang di ruangan menatapku. Aku sendiri? Diam seperti orang bodoh. Mereka pun sepertinya tahu alasan aku tidak diikutsertakan dalam misi kemarin.

"Lalu, bagaimana selanjutnya?" Seorang yang berparuh mengalihkan topik. Dia yang bersemuka denganku kemarin.

"Masih banyak yang belum terjamah oleh kita," jawab Komandan Hong. "Divisi lain sudah mengirimkan prajuritnya untuk uji coba Metatriska selanjutnya."

"Ke mana?"

"Gugus Vega."

Si paruh berdecap, sedikit menahan tawa. "Teman lama," gumamnya, lalu kembali memandangiku. "Ah, aku ingat sesuatu. Beberapa tahun lalu apa, ya, Metatriska pernah digunakan bukan sebelumnya?"

Aku mengernyit. Menurutku, pengiriman Chevran adalah uji coba Metatriska yang pertama sekali.

Zaf menatapku sejenak. "Dia masih di akademi waktu itu," timpalnya. "Maksudmu, Maldek, 'kan?"

Si Paruh mengangguk. "Bukannya itu menggunakan material yang sama? Melihat kehancurannya, aku pikir senjata yang dijatuhkan disusun dari material yang sama."

"Ah, itu menggunakan material yang berbeda. Konsep awal Metatriska digunakan di sana."

"Apa bedanya?"

"Difusi energi yang digunakan. Materialnya juga masih kasar, makanya hasil akhirnya berupa asteroid, bukan debu. Kita masih bisa meninggalkan jejak jika menggunakan senjata lama." Zaf memaparkan dengan penuh keseriusan. "Kita juga telah menggunakan senjata itu pada invasi-invasi sebelumnya dan banyak yang masih bisa selamat dari kehancuran."

"Masih banyak Maldekian tersisa dan meninggalkan planet mereka sebelum kehancuran itu terjadi," sahut Komandan Hong.

Si Paruh tampak memainkan jemari berkuku panjangnya sambil berdecap. Kelihatan sekali dia yang paling bosan di sini karena hasil yang didapat tidak sesuai ekspektasinya. "Gugus Lyra." Dia menatap lurus ke arahku. "Bisa kau hancurkan semua?"

Netraku melebar sejenak, cukup terkejut mengingat hanya aku sendiri di sini yang terjun langsung ke lapangan. Salivaku terteguk, menerobos paksa kerongkongan yang kering seketika.

"Sepertinya sulit," sahut salah seorang dari mereka yang berambut blonde. Matanya biru safir. Aku cukup paham dengan ras yang satu ini. Dia Pleiadian. Anehnya, kenapa dia ada di sini?

Si Paruh menoleh. "Sulit?" selisiknya. "Kenapa? Tinggal jatuhkan dan boom! Iya, 'kan?"

"Lyran hidup dalam kedamaian selama beberapa dekade terakhir. Mereka punya keyakinan penuh terhadap dewa kalau mereka akan selamat dari 'kiamat'," ujar si Pleiadian.

"Oh, ayolah, Bung! Ini bukan kiamat yang sesungguhnya! Lihatlah, banyak yang masih bertahan hidup, 'kan? Memang dewa mereka bisa apa kalau memang kematian itu sudah dekat, hah?" Si Paruh berjalan mendekati pria berambut blonde itu, lalu mengetuk dadanya dengan telunjuk berkuku panjang miliknya. "Apa kau sudah muak dengan semua ini? Kau saja berkhianat pada bangsamu, bagaimana kalau kita ajak mereka 'sama sepertimu'?"

"Mereka semua tidak lebih maju dari kita. Jadi kenapa kita memikirkan mereka?" sahut Trexta, si Grey. "Di mana-mana yang kuat akan menindas yang lemah. Kalau mereka tidak bisa bertahan, ya sudah, berarti mereka bangsa lemah yang hanya bergantung pada ketetapan dewa."

Si Paruh menyeringai, mendekatkan wajahnya pada si Pleiadian. "Tidak ada dewa di dunia ini," desisnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top