Sesuatu Yang Hilang
"Ayah."
Seorang pria berlutut di hadapanku dan memegang pundakku. "Ayah akan segera kembali," ucapnya.
"Hm?"
"Jadilah anak yang baik, Max."
Pria itu mengusap kepalaku sejenak, sebelum akhirnya bangkit dan melangkah menjauh. Tangan kecilku berusaha menggapainya. Namun, angan itu tak pernah tersampaikan.
"Dia sudah tiada ...."
***
"Kenapa diam saja?"
Komandan Hong masih melempar tatapan julid-nya padaku, padahal aku sudah berada di ruangannya sejak satu jam yang lalu. Berdiri di depan meja kerjanya dan tanpa diijinkan duduk. Maniknya yang seolah menghakimiku itu terlihat biasa saja—karena aku sudah mengenalnya selama sepuluh tahun usiaku.
"Unitmu ditugaskan di frontline, Max," lanjutnya. Ia beralih mengetik sesuatu di layar sentuh mejanya sekarang. "Seharusnya kau tahu seperti apa risikonya jika kau semena-mena terhadap jabatanmu yang sekarang."
"Aku tahu." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Jika lebih, Komandan Hong akan menggertak seperti di ruangan rapat tadi.
Dengkusan pria itu terdengar. Amat menyakitkan. Sepertinya dia kehilangan cara bernapas beberapa detik yang lalu. Matanya yang hijau itu menatapku lagi. Kali ini sorotnya tidak tajam. Dia terdiam, tampak memikirkan sesuatu.
"Ada yang bisa kubantu—"
"Memang aku butuh bantuanmu?" potongnya cepat.
Aku lantas terdiam. Salah sekali kalau aku menawarkan bantuan untuknya sekarang. Aku lupa kalau aku sedang dimarahi detik ini.
Kulihat pria itu meneguk minumannya sejenak. Bret—sejenis anggurnya para Reptilian—mungkin sudah tinggal nama jika ras kami tidak berusaha membudidayakannya. Tidak, maksudku ras mereka.
Orang-orang kami memiliki kebiasaan minum-minum seperti Komandan Hong. Bret memiliki kadar alkohol yang cukup tinggi. Bretox adalah olahan lain darinya yang bisa menjadi racun bagi kami jika dikonsumsi berlebihan. Itu tidak baik, karena memang seharusnya Reptilian tidak mengonsumsi sesuatu yang buruk semacam minuman tersebut. Sayangnya, aku termasuk salah satu yang menyukai rasanya.
"Apa kau masih ingat pesan ayahmu?" Suara pria itu memecah keheningan.
Tenggorokanku tercekat. Bibirku terkunci rapat.
"Kau masih ingat?" lanjutnya.
Aku terpejam sementara waktu. Berusaha untuk menyingkirkan hal yang bisa men-trigger-ku detik ini.
"Harusnya kau tidak membahas hal itu lagi, Komandan," jawabku menahan gemuruh di dada.
Pria itu tersenyum kecut. Ia melihat ke layar besar di belakang meja kerjanya sebentar. "Kau lihat apa itu?" tanyanya sambil mengarahkan telunjuk.
Pandanganku terarah pada layar besar tersebut. Sebuah peta landscape dengan banyak titik dan garis merah yang saling berhubungan. Begitu rumit dipahami jika saja aku tak pernah mendapat pendidikan dari pria di depanku. Beberapa titik tampak membesar dan berkedip, sedangkan yang lain berangsur hilang. Sisanya hanya berupa titik merah monoton saja.
"Kau ingat, berapa area yang berhasil dijangkau oleh unitmu?" tanya Komandan Hong.
"Lima, mungkin."
"Apa aku mengajakmu bercanda? Jawab yang benar!"
Salivaku tertelan cepat. "Hanya dua, Pak," jawabku.
Pria itu mendesah seraya menggeleng. Satu tangannya menyentuh kepalanya sejenak. "Apa yang kau pikirkan, Max?" tanyanya lagi, kali ini menatapku dan dengan nada rendah. "Apa aku mengajarkanmu cara-cara untuk menjadi warga negara pemberontak?"
Tubuhku yang tadinya setengah lesu, kini menegap. Aku membalas tatapan Komandan sampai kami bersemuka amat lama. Sorot mata pria itu berubah, seolah ada suatu hal sendu yang dia sembunyikan. Atau, dia berusaha mengasihaniku sekarang? Sulit sekali ditebak. Sialan!
Helaan napasku meluncur selama sepersekian detik. "Aku hanya ...."
Tatapannya benar-benar mengunci inderaku. Aku tak bisa berkutik. Komandan Hong menguasai atmosfer ruangan saat ini dan aku hanyalah lelehan Bret yang bisa sewaktu-waktu ditelan olehnya.
Kulihat pria itu bangkit dari kursi. Dia menghampiriku. Satu tangannya mendarat di pundakku setelah dirinya berhenti tepat di sampingku.
"Aku tak ingin kau berakhir sama seperti ayahmu," lirihnya, "jadi, ikutilah aturanku."
***
"Ikutilah aturanku. Ikutilah aturanku. Ikitilih itirinki."
BRAK!!!
Buku itu mendarat di lantai usai menabrak kaca jendela. Yang terpenting adalah, jendela kamarku tidak pecah sekarang. Jika hal itu terjadi, separuh uang sakuku dari Komandan Hong takkan mampu membayar lunas biaya perbaikannya.
"Argh! Sial-sial-sial!"
Aku merutuk diri sendiri. Rambutku sudah kacau dan sisik-sisik Draconian mulai bermunculan. Putih dengan aksen biru, milikku. Semakin cerah ketika aku mulai terlilit emosi. Itu memalukan karena hanya aku yang memilikinya di markas ini.
Helaan napas kasar keluar dari mulutku, seiring manik yang menatap keluar jendela. Percik bintang dan serabut galaksi tampak membaur, di atas gelapnya langit. Sebuah titik kecil berwarna biru kemerahan tampak memesona di antara pesta para bintang. Ya, sebelum nantinya dia akan hilang tak berjejak di ruang hampa luar angkasa. Planet itu misi kami sekarang. Salah satu planet dari sekian banyak bintang yang dihuni para Lyran.
Dia akan musnah ... sebentar lagi.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 5.30 WR (Waktu Reptilian).
Aku masih berkutat dengan berkas-berkas yang diberikan Komandan Hong kemarin. Total keseluruhan ada sekitar sepuluh berkas, di mana masing-masing aku harus membuat laporan setidaknya beranak-pinak menjadi sepuluh lembar hardfile dan lima puluh lembar softfile. Aku tidak bisa membayangkan jika diriku tidak dididik militer sejak dini. Mungkin otak dan tubuhku tak bisa saling bersinergi sekarang.
Aku hanya berharap, kehidupanku di masa depan tidak sesulit ini ....
"Hoahm ...."
Sial. Aku mengantuk sekali. Semalaman aku hanya berkutat dengan emosi dan ke-overthinking-anku saja. Baru dua jam aku mengerjakan laporan ini sejak pukul 3.30 tadi.
Aku bangkit, berjalan menuju dapur untuk membuat Mad—kopi—sejenak. Setiap detik putaran adukan Mad mulai mengembalikan memori masa laluku. Saat semua genggaman orang-orang terkasihku terlepas. Ketika seorang pria bernama Hong Yurfian menggenggam tanganku dan mengajakku meninggalkan tempat fana tersebut. Semuanya samar, meski diri ini tahu tiga sosok yang genggamannya terlepas dariku tadi.
Ayah.
Ibu.
Dan adikku–Zerga Texel–yang entah berada di mana kini.
Kepalaku tertunduk. Salivaku tertelan perlahan, seiring napas yang tertahan. Setiap putaran Mad tak pernah membuatku bisa bangkit dari memori tersebut. Semuanya belum hilang. Semuanya belum sirna, dan aku masih berharap mereka kembali.
***
Aku tersentak kala suara notifikasi berdering dari meja kerja. Segelas Mad yang sejak tadi kuaduk terpaksa kubawa bersemedi dengan semua pekerjaanku. Telunjukku menekan sebuah tombol merah di salah satu sisi meja.
"Maxel Tu—"
"Maxel Turian." Sebuah suara berat yang amat asing di telingaku. Dia seorang pria. "Aku melihat banyak sekali laporan tentangmu," lanjutnya.
Aku terdiam mendengarkan.
"Apa hanya kau keturunan dari Turian yang tersisa?" tanyanya, "miris sekali ...."
Salivaku tertelan. Keningku mengerucut. Siapa dia?
"Aku menunggumu di hanggar utama. Sekarang ...."
Sambungan komunikasi ditutup satu arah. Atmosfer seketika hening. Pikiranku kembali berkecamuk, antara memikirkan pekerjaan yang belum selesai atau menemui orang asing tersebut. Jika dia adalah orang penting, kenapa Komandan Hong tidak menghubungiku terlebih dahulu?
Mad kutinggal setelah mendingin karena AC ruangan, begitupula dengan pekerjaan yang berserakan. Aku bergegas mengganti pakaian dengan seragam—tanpa mandi, merapikan rupaku sejenak, dan keluar kamar. Sialan, mukaku loyo sekali saat menatap diri di cermin tadi. Urgh!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top