Le'grimme
Manikku menatap sayu keluar celah bergerigi itu. Ada banyak orang yang disekap dengan satu orang dalam satu kamar. Orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak seusiaku. Ada perempuan yang tengah hamil juga, dia berada di seberang kamarku.
Sebenarnya, ruangan ini tidak bisa disebut kamar. Hanya seluas 1,5x1,5 meter tanpa kloset serta penerangan, dan kami hanya diberikan nampan berisi roti gosong dan air panas setiap harinya. Kadang, aku tidak mau makan kalau tidak lapar. Setiap lima jam sekali kami dikontrol dan seminggu sekali diinjeksi dengan sesuatu yang menyakitkan. Lenganku sampai lebam dan bekasnya tidak mau hilang sampai sekarang.
Sebenarnya, menahan lapar dan kesakitan jauh lebih baik daripada melihat penghuni kamar lain disiksa dan dibiarkan mengerang kesakitan. Termasuk perempuan Lizardian hamil yang kamarnya berseberangan denganku. Dia cukup baik dan sering mengajakku bicara, tapi kali ini aku tidak bisa menyelamatkannya. Dia berteriak kesakitan, meminta tolong karena ingin melahirkan, tetapi pengontrol kami malah menendanginya di dalam sana. Perempuan itu tidak bisa melawan selain memegangi perutnya. Darah kental sudah menggenangi kamarnya, bahkan alirannya hampir mencapai kamarku.
"Jangan terlalu keras! Anaknya bisa kita gunakan untuk spesimen selanjutnya," tegur salah seorang yang baru saja datang.
Si Penendang berdecih, lalu meninggalkan ruangan setelah mengatakan; "Kalau kau sampai teriak karena melahirkan di sini, kau, anakmu, dan semua yang ada di sini akan kutembaki satu-satu!"
Akhirnya, satu jam berlalu. Perempuan itu melahirkan seorang diri, tanpa teriakan dan juga pertolongan. Dia membekap mulut dan meremas gerigi besi pintu kamarnya, mendorong sang bayi keluar dengan aroma anyir di mana-mana. Kami yang lain tidak bisa melakukan apa pun selain melihatnya. Setelah tangisan bayi itu meraung, beberapa petugas datang memeriksa. Sang bayi lahir dalam keadaan sungsang dan masih hidup, tapi ibunya meninggal dunia karena pendarahan hebat.
Itu bayi laki-laki, memiliki DNA campuran antara Dracon dengan Lizardian. Rambut dan matanya cokelat. Dia bernama Ragalia Jucc. Namanya diambil dari bahasa kuno kami Ragh', yang berarti harapan. Seorang petugas yang manusiawi mungkin yang memberinya nama itu, sampai akhirnya aku dan bayi mungil itu dipertemukan di akademi yang sama. Dia sebagai pendaftar baru dan aku yang menjadi seniornya.
Sekarang ... dia menjadi temanku.
***
"Itu kemauan mereka." Komandan Hong bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Ikuti aturannya kalau kau ingin mencari siapa dalang tragedi 10 tahun lalu."
"Monster itu kan pelakunya? Si burung!" gertakku. "Dan yang lainnya adalah utusan. Kau pikir aku tidak tahu soal itu?"
Pria itu menghela napas dan menatap lurus ke arahku. "Kau tidak berburuk sangka padaku?"
Aku terdiam. Sejak awal, aku memang tidak pernah menyangka kalau Hong Yurfian adalah pelakunya. Dia juga bidak, sama seperti kami. Dan kupikir, koloni lain di laboratorium tadi hanyalah kuda ataupun benteng. Sementara itu, raja dan ratunya memilih untuk diam dan melihat dari suatu tempat.
"Ingatanku sudah mulai kembali," ucapku. "Lyran bukanlah pelaku-"
"Mereka juga."
Netraku menyalang seketika. "Apa?"
Pria itu memainkan jemarinya sejenak. "Sejarah ditulis oleh pemenang, Max. Sejak perang galaksi pertama, koloni tua seperti Feline, Lyran, Cygnusian, Blue Avians ikut andil di dalamnya. Pleiadian dan Spican juga. Tapi mereka mengalami kekalahan dengan para Reptilian. Mereka menulis sejarah dengan mengadu domba bahwa perang galaksi dimulai oleh pihak Reptilian dan mereka menjadi korbannya.
"Mereka tidak tahu kalau sebenarnya, pemain utama itu menyusup dan bergabung dengan koloni mereka, melakukan tipu daya, dan berhasil menarik mereka menjadi sebuah federasi. Mereka yang tidak mendapatkan keuntungan akan dibuang dan dijadikan korban eksekusi selanjutnya."
"Tapi .... Maldekian ...."
Seringai Komandan Hong membuatku sedikit berpikir. Dia membiarkanku berkutat dengan semua tanda tanya ini. Aku memandang iris runcing hijaunya lagi.
"Mereka kolot-"
"Kau bisa putuskan setelah melihat sendiri bagaimana mereka membangun peradabannya kembali."
Setelah mengatakan hal itu, Komandan Hong menepuk pundakku dan beralih keluar ruangan. Meninggalkanku di ruangan dingin ini. Netraku menatap ke arah layar yang menunjukkan barisan asteroid sisa ledakan planet Maldek.
Lagi. Misteri itu kembali mencuat dalam pikiranku.
***
"Kau bisa putuskan setelah melihat sendiri bagaimana mereka membangun peradabannya kembali."
Kata-kata itu tengah berputar di otakku sekarang. Melihat bagaimana raut wajahnya, kelihatan sekali bahwa Komandan Hong tidak berbohong. Meski selalu menghujaniku dengan pukulan dan makian, pria seperti dirinya telah menolong dan mengajariku banyak hal.
"Max, kau serius soal itu?" Pertanyaan dari Rag mengurai lamunanku. "Kau sendiri yang ke sana?"
Aku mengangguk. "Komandan sudah memberitahu titik koordinatnya dan mungkin untuk sementara waktu unit kita akan dibekukan dari misi," jawabku.
Rag mengembuskan napas kasar. Dia mengunyah daging terakhirnya sejenak. "Seandainya bisa, aku ingin menemanimu ke sana."
"Rubia didesain dengan kursi tunggal. Kau mau naik di mana? Moncongnya?"
Pemuda itu tertawa, hampir saja menyodokku dengan sumpit di tangannya. "Anehnya, kenapa Komandan hanya meminta potretnya saja? Kenapa tidak langsung 'bom dan hancurkan Mars!'. Bukannya dia biasanya ceplas-ceplos?"
"Aku juga tidak tahu." Aku menghabiskan sisa kuah terakhirku sebelum meneguk air minum. "Yang jadi pertanyaanku adalah ... apa Maldekian dulunya tergabung dengan federasi, lalu tidak berguna dan akhirnya dibuang?"
Rag mengunyah makanannya sambil berpikir sejenak. "Aku pikir begitu," timpalnya. "Menurut informasi yang kudapat, seluruh koloni tergabung dalam federasi pusat. Federasi Galaksi, sebutannya. Mereka yang terbukti mundur dari beberapa proyek anti-kritik, akan dianggap pemberontak. Mungkin, Maldekian dan Lyran adalah dua dari beberapa koloni yang masuk kategori itu."
"Apa kau percaya kalau mereka tidak pernah tergabung dalam formasi tertentu dan menyerang koloni kita?" tanyaku lagi.
"Pasti ada yang seperti itu. Anggap saja, Lyran bergabung karena percaya kalau dewa mereka yang memintanya dan Maldekian bergabung karena percaya kalau mereka bisa punya teknologi terbarukan."
"Bukannya mereka sama-sama kolot?" Lagi, aku mengambil roti kering dan memasukkannya ke mulut.
"Lyran, kurasa. Maldekian tidak sekolot itu." Rag terlihat menghabiskan makannya sejenak. "Kau bisa cek dari informasi sejarah di akademi ataupun di mana pun. Maldekian tidak setradisional itu. Mereka bukan orang kampung yang hanya mengandalkan batu kali biasa. Mereka seperti ...." Dia membentuk lingkaran dari kedua telapak tangannya yang disatukan. "Suku pedalaman yang menggunakan batu kali sebagai transportasi antar dimensi."
Aku sedikit mengerucutkan kening. "Dan Lyran?"
"Lyran berada di bawah Maldekian. Mereka terbagi dalam beberapa formasi suku. Ada yang semaju kita dan ada yang masih menganut kesakralan entitas dewa."
Kunyahanku terhenti. Rasanya ada yang berbeda dari yang kudapat selama ini.
"Memang kenapa? Kau disuruh membuktikannya sendiri?" tanya Rag seraya menyeruput Mad-nya yang masih mengepulkan asap.
Aku terdiam. Berisik sekali ini suara-suara di otakku! Aku sampai kebingungan menjawabnya.
"Menurut ceritamu tadi, sepertinya salah satu dari mereka memang menjadi raja dan ratu dalam permainan ini," ujar pemuda bermata cokelat itu lagi. "Menurutmu siapa?"
Aku memandangi Rag selama sekian detik. "Bagaimana kalau dugaanku selama ini salah?"
Rag tertawa sebelum meletakkan gelas Mad-nya di meja. "Bukannya salah, hanya saja kau perlu mendalami yang namanya taktik. Selama ini, gerakanmu selalu berada di bawah kendali Komandan. Mungkin, kali ini dia memintamu untuk menciptakan taktikmu sendiri. Dia ingin kau percaya pada intuisimu."
Helaan napasku mengudara sejenak. "Apa yang harus aku lakukan? Kalau keputusanku salah arah, bisa-bisa kalian yang akan jadi korbannya!"
"Kita semua adalah korban sejak dilahirkan ke dunia ini," ucap Rag sambil mulai menyudut rokoknya. Asap hasil pembakaran itu menguar ke udara dan menciptakan aroma khas. "Kad bilang padaku kalau dia tidak punya tujuan lagi setelah berada di sini. Jadi, meski kau berusaha agar kami tetap hidup, garis takdir tidak akan berubah sama sekali."
"Kau sendiri ... apa tujuanmu?"
Mata kami bertemu selama beberapa detik. Manik cokelat Rag tampak berubah sendu. Tidak ada sorot binar di sana, kecuali kosong dan pilu.
"Mungkin aku ingin menghabiskan Bretox pemberianmu sebelum aku mati. Aku ingin memberitahukan rasanya bahkan sebelum kau mencobanya."
Salivaku terteguk sekejap. Rasanya, napas dan degup jantungku berhenti bekerja. Kantin yang tadinya ramai pengunjung, kini tampak sepi dan hanya menyisakan beberapa orang, termasuk kami berdua. Atmosfer mendadak dingin.
"Aku minta maaf," lirihku, lantas mengambil botol Bret di dekatku dan membukanya. Namun, tiba-tiba saja Rag menahan tanganku.
"Jangan menikmati kegilaan itu sendirian, Max." Dia tersenyum, lalu mengambil gelas kosong miliknya dan mengulurkannya padaku. Padahal, Mad-nya belum habis.
Aku menghela napas dan mengambil gelas milik Rag. "Habiskan dulu Mad-mu!"
Pemuda berdarah campuran itu tertawa, menyusul gelak dariku. Untuk sementara, kami menghabiskan waktu bersama. Kadangkala, kami bercerita bagaimana kondisi Legrima dulu dan membandingkannya dengan sekarang. Alur cerita yang sulit ditebak, mengingat bayi yang dulu lahir tepat di depanku, sekarang malah duduk menemani kegilaanku di sini.
Bagi kami, umur hanyalah angka. Umurku masih 27 sekarang, bila dihitung berdasarkan kalender salah satu planet di tata surya ini. Padahal, aslinya usiaku lebih dari itu. Dan usia Rag, dia 10 tahun lebih muda dariku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top