Hukuman

Hari ini, uji coba Metatriska yang pertama kalinya setelah sekian lama akhirnya dilakukan—setelah uji coba pertamanya beberapa tahun lalu gagal. Aku memandang langit bergradasi warna biru keunguan di luar sana. Sesekali melihat ke arah hanggar utama yang tadinya ramai, kini sepi. Unit yang ditugaskan dalam misi telah lepas landas 15 menit yang lalu.

Aku menghela napas lantas menyebarkan pandangan ke seluruh sisi kantin. Mad-ku sudah habis. Itu artinya, aku harus menemui Komandan Hong untuk mengisi absensi.

Koridor penuh dengan mereka yang sedang bertugas hari ini, lalu-lalang tak pernah berhenti. Mereka semua adalah Reptilian dari berbagai ras. Hanya ada 3 ras tersisa dari koloni kami setelah perang galaktik 10 tahun lalu, atau lebih tepatnya tragedi yang digadang-gadang sebagai titik balik peradaban Reptilian. Draconian, Lizardian, dan Tyran. Kami hidup berdampingan dengan kemunafikan dan rasa benci satu sama lain.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu besi sebuah ruangan. Di balik pintu ini, mungkin aku akan mendapatkan hukumanku yang ke sekian. Helaan napasku menguar, bersiap dengan segala kemungkinan yang akan kudapat di ruangan itu.

"Terlambat 5 menit," ucap seorang pria yang masih fokus menandatangani laporan. Dia tidak menatapku sama sekali. Sirip telinga hijaunya berkilauan dengan sisik tipis di sebagian wajah.

"Aku minta maaf." Hanya itu yang bisa kuucapkan detik ini.

Pria itu mengangkat pandangan, lalu meletakkan penanya. Iris runcingnya menatap tajam. Sekian detik kemudian, dia bangkit dari kursi dan menghampiriku. Seragam hitam dengan banyak aksen kepangkatan membuatnya terlihat disegani oleh banyak prajurit, kecuali aku.

Sampai mati pun, aku tidak akan pernah bersujud di kakinya seperti mereka.

BUKKK!

Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. Hantaman kali ini jauh lebih sakit daripada biasanya. Komandan Hong menggunakan kemampuan Lizardian untuk menghancurkan tulang rusukku.

Napasku tercekat saat aku berusaha menopang tubuh. Cairan merah berhasil keluar dari mulut dan untuk beberapa alasan, jantungku rasanya berhenti berdetak sekian detik.

"Masih ingin lagi?" Pertanyaan tersebut keluar dari mulut pria bernetra hijau itu. Dia menendang dadaku, membuatku tersungkur.

"Jangan sampai membuatnya mati, Hong."

Itu bukan suara Komandan. Suara milik pria lain.

Manikku berusaha menyebarkan pandangan hingga menangkap sepasang sepatu hitam menghampiri tubuhku yang terkulai di lantai dingin ruangan. Dia berlutut seraya menyisir helaian rambut putihku dengan jemari lentiknya. Dia tidak menunjukkan kasih sayang, melainkan ingin melihat sesuatu dariku.

"Kau benar," katanya. "Dia Turian yang tersisa."

Komandan Hong mengangguk menimpali. Dia berdiri cukup jauh dari kami.

"Kau bilang masih ada Draconian kuno yang lain di sini. Di mana dia?" Suara itu bertanya lagi. Dia berdiri dan mendekati Komandan Hong. Rambut putih panjangnya menjuntai sepinggang, bergoyang mengikuti langkahnya.

"Ah, wanita itu. Dia sedang dalam misi," jawab Komandan Hong.

"Dari mana dia berasal?"

"Eurgild. Tepatnya dari keluarga Zifghta."

Netraku melebar seketika. Aku berusaha bangkit, tapi sial sekali tubuh ini tidak mau diajak kompromi. Pikiranku berkecamuk mendengar percakapan dua pria brengsek itu.

"Siapa namanya?"

Sebelum Komandan Hong menjawab, dia melihatku mencoba berdiri. Pria di dekatnya menyusul memandangiku.

"Mouliana Zifghta," jawab Komandan Hong. "Dia berada pada kelas yang sama dengan anak ini—"

"Dan juga putramu?" sela pria berambut putih itu.

Pria bernama lengkap Hong Yurfian itu berdeham menimpali. Sementara Zafarich Mour yang sejak tadi di dekatnya kembali menghampiriku yang kini berlutut menatap tajam ke arahnya. Dia mendongakkan daguku, membuat netra kami yang berwarna sama saling bersitatap.

"Zerga ... Texel," ucapnya, membuat manikku kembali melebar. "Dia bukan adik kandungmu, 'kan?"

Tenggorokanku rasanya tercekat. Napasku berat. Menatap Zaf sudah seperti memelototi malaikat maut saja rasanya.

Hal yang paling mengejutkan adalah saat dia berkata soal Texel. Zerga Texel, adikku. Bagaimanapun, tidak ada yang tahu identitasnya selain keluargaku ... dan juga Chevran.

"Bagaimana rasanya menjadikan orang yang tidak sedarah denganmu menjadi keluarga bagimu?" tanyanya menekankan setiap kata-katanya. "Mereka hilang, 'kan? Zerga Texel. Chevran Antola. Siapa selanjutnya?"

Liurku terteguk sekejap. Kami masih bertatapan dalam dinginnya atmosfer ruangan.

"Kau ...."

Mata Zaf menyipit saat kata itu keluar dari mulutku. Embusan napasnya seolah berhenti sejenak. Beberapa detik kemudian, satu tendangan berhasil mendarat di sudut bibir kiriku, membuatku kembali tersungkur. Rahangku rasanya geser ... sedikit.

Komandan Hong sedikit menahan tawa, lalu kemudian terdiam ketika Zaf melihatnya. Pria itu segan pada Zaf seperti yang kubilang. Namun, siapa sangka, kali ini dia hampir tertawa hanya karena satu kata dariku.

"Berapa lama dia dibekukan?" tanya Zaf.

"Sampai uji coba Metatriska selesai," jawab Komandan Hong.

Zaf berdecih. "Bawa dia ke laboratorium!" titahnya.

Netra Komandan Hong terbelalak sekejap. "Maaf, maksud Anda—"

"Kenapa?" Zaf menyipitkan sebelah matanya menatap pria bernetra hijau itu. "Sebelumnya, dia sudah pernah merasakan kejutan itu, 'kan? Kita bisa mencobanya sekali lagi agar dia tidak keluar dari batasan."

Setelah mengucapkan hal itu, Zafarich Mour keluar ruangan. Pintu tertutup, menyisakan embun yang timbul dari suhu dingin ruangan. Sementara itu, Komandan Hong menghampiriku dan memeriksa rahangku.

"Satu tendangan darinya sudah membuat sedikit retakan di sini, sedangkan aku harus menendangmu berkali-kali hanya untuk membuatmu muntah darah," ucapnya. "Kacau!"

Aku terduduk dengan tangan masih menopang tubuh. Kuseka sisa darah di sudut bibirku yang pecah.

"Dengan cara apalagi aku bisa mendisiplinkanmu?" tanya Komandan Hong. "Kau tidak pernah berubah, Max."

"Chevran ...." Aku memandang pria yang berlutut di depanku itu. "Apa dia masih hidup?"

Komandan Hong tampak terdiam. Mata hijaunya menyiratkan banyak makna. "Itu bukan urusanmu," jawabnya.

"Dia putramu—"

"Dia bukan darah dagingku," potongnya sebelum akhirnya dia meninggalkanku dalam kesunyian.

Satu per satu misteri semakin bertumbuk, membuka tabir anomali di antara kami. Antara aku dan mereka, serta koloni yang hidup dalam ego. Aku bersumpah akan mencari mereka yang hilang di telan peradaban kami .... Reptilian.

***




Mataku terbuka, menoleh ke arah jendela. Tirainya belum dibuka. Rasanya lama sekali aku berada di ruangan serba putih ini. Aku rindu kamarku.

Setelah hukuman itu, aku tidak pernah mendapat kabar dari teman-temanku. Komandan Hong benar-benar membawaku ke laboratorium untuk menerima hukuman selanjutnya.

Kejutan.

Bukan hadiah bentuknya. Ini semacam teknik brainwash yang dilakukan bangsa kami dengan cara mengalirkan listrik ke otak, memaksa neuron kami berhenti bekerja, lalu mendorongnya bersinergi kembali. Aku lumpuh beberapa kali karena hal ini, tapi berhasil mengerakkan indra setelah seminggu beristirahat. Namun, kemudian hukuman itu diberikan kepadaku sampai sekitar 5 kali.

Aku hanya ingat kalau aku dipaksa untuk menjawab beberapa pertanyaan dari Zaf. Ketika aku menolak menjawabnya, kejutan itu diberikan tanpa jeda sampai aku pingsan. Ini sudah dilakukan sejak aku masih berusia 10 tahun, setelah tragedi Sigard terjadi dan mengakibatkan kehilangan setengah memoriku saat itu.

Liurku terteguk sejenak. Aku mencoba duduk perlahan. Merengkuh semua hal yang kuingat. Namun, tanganku terbalut infus dan tentu saja aku tidak bisa ke mana-mana sekarang.

Seseorang tampak membuka pintu. Aku menoleh, menatap perempuan berambut panjang yang tergerai sepinggang itu. Hijau dan oranye menjadi ciri khasnya sejak pertemuan pertama kami di akademi dulu. Mata hazelnya melebar, sebelum akhirnya dia berlari ke arahku.

Sebuah rengkuhan erat bertandang di tubuh ini, diiringi isak tangis darinya. Aku membalasnya hanya dengan mengusap punggungnya. Mungil, tapi berotot. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghirup aroma tubuhnya detik ini.

"Aku baik-baik saja," bisikku. "Kau tak perlu khawatir."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top