Hengkang Dari Kebiasaan
Sebuah notifikasi mengejutkanku. Bayang-bayang peperangan sirna menjadi lampu kulkas yang kemudian hilang ketika daun pintunya kututup. Aku berjalan mendekati meja dan mengecek notifikasi. Seseorang berada di depan kamar sekarang dan aku sudah bisa menebak sosoknya.
Sekian menit kemudian, orang itu masuk dengan sebuah kotak. Ia meletakkan kotak berukuran sedang itu di meja, mengeluarkan isi, dan membukanya. Semerbak aroma menggiurkan tercium oleh hidungku.
"Komandan bilang kau belum makan sejak tadi," ucapnya masih sibuk menyiapkan kotak-kotak makan itu.
"Apa dia sepeduli itu padaku?" balasku.
Rag menoleh. "Menurutmu?"
Aku terdiam, kembali melihat pemuda itu bergelut dengan kotak berisi makanan. Salah satunya diberikan kepadaku. Kemudian, dia berjalan mengitari keseluruhan kamar, mengecek sesuatu.
"Di mana kau menyimpan kotak P3K?" tanyanya. Suaranya dari dapur. "Max!"
"Kotak kecil di sudut kanan nakas samping kompor," jawabku.
Kudengar dia berdecih, sebelum akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan, lalu kembali ke meja kerjaku.
"Biasakan menyimpan hal penting seperti ini di tempat yang mudah terjangkau," ujarnya.
"Aku tidak pernah sakit, jadi untuk apa aku menaruhnya di sini?"
Rag menatapku. Kesan penuh curiga beserta sindiran teraut di wajahnya. "Otakmu yang sakit."
Aku menghela napas panjang, sedikit menahan tawa. Sesuap demi sesuap makanan akhirnya masuk ke perut ini.
"Masih sakit?" tanyanya kemudian.
Kami bersitatap. Pemuda itu menunjuk sudut kiri bibirnya, merujuk pada diriku sebenarnya.
"Oh, aku baik-baik saja," timpalku.
"Kenapa kau tampak bersikukuh bertanya soal tragedi kepada Komandan Hong tadi?" lanjutnya sembari menyiapkan sesuatu dengan kotak P3K tadi.
Aku bergeming. Kunyahanku berhenti sesaat.
"Soal ... keluargamu?" lirih pemuda bermata hijau itu.
Hening menguasai atmosfer di antara kami. Rag mengambil kursi dan duduk di sana, menghadapku. Ia mencelupkan sebuah kapas ke cairan antiseptik sejenak, lalu menempelkannya perlahan di sudut kiri bibirku.
Aku tersentak. Kepulan lamunan itu buyar sekejap usai rasa perih itu bertandang.
"Maaf," ucap Rag sambil mengulangi hal yang sama. "Kupikir kau sudah mencoba untuk mengikhlaskannya."
Aku terdiam. "Aku sudah mencobanya, Rag," ucapku, "tapi tak ada yang berubah."
"Kau—"
"Aku masih yakin kalau adikku masih hidup, bagaimanapun kondisinya."
Rag diam. Ia masih menepuk pelan sudut bibirku yang lumayan lebam karena pecah akibat kepalan tangan Zaf tadi.
"Jangan memaksakan diri," katanya. Aku mengangguk. "Penyerangan selanjutnya dilakukan tiga hari lagi. Pada jeda waktu, gunakan sebaik-baiknya untuk berpikir. Jika kau begini terus, Komandan Zaf akan memutasikan kau ke daerah pinggiran nanti."
"Apa dia bilang begitu?" balasku dengan mata melebar sejenak.
"Aku yang bilang."
Sekejap kami tertawa. Tanganku dengan enteng menoyor kepala pemuda tersebut. Sebuah kebiasaan yang selalu kami lakukan di tengah momen bahagia.
"Perkataanku biasanya seratus persen benar kok! Lihat saja nanti!" celotehnya.
"Lalu kau bersedia menggantikan posisiku? Ah, kalau begitu, lebih enak tidak ikut perang ternyata!"
"Dasar brengsek!"
Ada banyak sekali hal yang terlewati di antara kami. Canda, tawa, keluh-kesah, suka, dan duka. Aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkan hubungan kami. Ragalia Jucc, menurutku bukanlah sosok biasa. Dia luar biasa karena datang dari keluarga yang sama luar biasanya. Ia adalah pemuda yang punya keinginan kuat untuk maju, tidak sepertiku yang selalu terlambat memutuskan sesuatu.
Rag punya cukup banyak nyali dalam setiap penyerangan. Dia lebih sering memberontak meski pada akhirnya hanya bisa menurut padaku. Otot-ototnya yang terbentuk karena tempaan hidup membuatku sadar, betapa masih kekanakannya diriku jika aku terus memohon pada Komandan Hong demi memberitahuku perihal kematian keluargaku.
"Max?"
Lagi-lagi suara Rag mengagetkanku. Aku tersentak, menggeleng, dan mengatur ritme napas sejenak.
"Kau kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng menimpali.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu? Sudah selesai?" tanyanya lagi. "Rekan-rekanmu yang lain mencemaskanmu soal ini."
"Sedikit lagi, Rag," jawabku sembari mengelus dagu. Netraku memandangi satu per satu berkas laporan yang belum kuselesaikan. "Markas pusat meluncurkan sistem penyerangan baru dan aku harus membuat pernyataan tentang keuntungan dan juga risiko yang kita dapat jika menggunakannya untuk keperluan misi besok."
"Apa itu bahaya?" Rag menjulurkan tangannya, mengambil sebuah dokumen yang sedang kupegang.
Aku mengendikkan bahu sejenak. "Kau pikir, siapa yang akan selamat jika diserang menggunakan Metatriska?"
"Meta ... triska?" Rag menyipit ke arahku. Aku mengangguk.
"Kau ingat para Lyran yang diculik dan dijadikan kelinci percobaan saat kita baru pertama masuk ke militer?"
"Jangan lupa para Cygnusian juga," sahut Rag.
Aku berdeham membenarkan. "Mereka semua musnah tanpa jejak dalam hitungan detik," ujarku. "Jika kita menggunakan ini untuk penyerangan besok, kemungkinan tersisa dari mereka yang ada di planet itu hanyalah 0,1 persen."
"0,1?"
"Sisanya hanya mikroorganisme dari tubuh mereka yang terburai," timpalku setengah nyengir, lebih tepatnya aku jijik membayangkannya.
"Magnet gravitasi di sana memungkinkan kita dengan mudah menyesuaikan diri," lanjut Rag. "Kau tak mau coba turun lagi?"
"Kau mau aku mati?"
Kami saling bersitatap sepersekian detik. Rag tampak menggaruk pundaknya sejenak. Dia berdecak kemudian.
"Tidak juga," jawabnya ragu.
Aku menghela napas, kembali berkutat pada laporan usai menyelesaikan suapan terakhirku. Makanan yang dibawa Rag sangat enak. Mungkin dia sendiri yang membuatnya.
"Jika memang benar kita akan menggunakannya pada misi besok, berarti ...."
Kami saling bersemuka, menyelaraskan pikiran masing-masing.
"Itu baru uji coba," ucapku.
"Uji coba?" selisik pemuda itu.
Satu tanganku terangkat, menyisir helaian rambutku yang warnanya hampir mirip baju para Pleiadian. Putih merujuk ke silver, atau apalah itu aku sama sekali tak tahu nama warna. Warna rambut seperti ini sangat langka di kalangan Draconian, salah satu ras anggota dari Reptilian. Sepengetahuanku, hanya aku yang tersisa dari Keluarga Turian saat ini—meski sebenarnya, aku yakin sekali Zerga masih hidup.
"Iya, uji co—"
BRAK!!!
"Uji coba macam apa yang bisa memusnahkan satu planet?" Rag menyela sengit usai menggebrak meja.
Manikku melebar. Tersentak dengan reaksi pemuda tersebut.
"Kau tak coba protes?"
"Ck! Apa kau mau aku babak belur lagi?"
"Haaah ...." Rag kembali bersandar pada kursinya. Mata hijaunya masih memandang dokumen yang tadi dia pegang.
"Meta ... triska ...," gumamnya, sesekali mengetuk jemari di atas meja. "Apa kita pernah menyinggung soal ini sewaktu masih di pendidikan?"
Aku berdeham mengiyakan. "Komandan Hong mengingatkanku untuk tidak main-main dalam misi kali ini," kataku. "Tapi, siapa yang peduli? Bahkan, soal tragedi yang sama sekali tersisa samar di ingatanku saja dia tak mau membuka mulutnya."
"Apa dia ada hubungannya dengan tragedi itu?"
"Bisa jadi."
"Tentang alasan kenapa kita menjajah bangsa lain, apa itu juga ada hubungannya?" tanya Rag lagi.
Aku terdiam. Tanganku yang mulanya mengetik laporan, kini terhenti. Manik biruku melirik Rag yang tengah menantikan jawaban. Jemariku lantas mengetik sesuatu, membuka sebuah jendela baru di layar lebar di atas meja dan menunjukkan sesuatu kepada pemuda tersebut.
"Tragedi yang sama terus-menerus berulang. Setiap tahun, bahkan tanpa jeda. Aku mengumpulkannya sejak masuk ke pendidikan militer dan menemukan kejanggalan dalam setiap agresi yang terjadi," ulasku.
Rag melebarkan mata, memfokuskan pandangannya pada layar besar di depan. Sekumpulan tulisan dan gambar tampak jelas di sana.
"Kau ... mengumpulkannya sejak sepuluh tahun lalu?" Dia menoleh kepadaku sebentar, lalu kembali menatap layar.
"Jejak digital tak bisa disembunyikan dengan cara apa pun meski sudah dihanguskan, Rag. Kita masih bisa membuka blokirnya atau mengeceknya dari sumber lain yang sama. Reptilian tak pernah berubah dari masa ke masa. Keluarga Turian-lah yang memutuskan untuk hengkang dari proyek penuh ambisi ini. Sementara itu, Komandan Hong dan Zaf menjadi saksi saat tragedi besar itu terjadi. Pembumihangusan Sigard, tempat terpenting bagi Keluarga Turian yang dilakukan oleh Bangsa Lyran ....
"Itulah yang menjadi alasan utama kenapa mereka berdua bersikukuh menempatkanku pada misi kali ini."
Saliva Rag tertelan sempurna. Netranya masih bersinergi dengan pikirannya, memahami semua duduk persoalan kali ini.
"Jadi, secara tidak langsung, mereka memintamu untuk ... balas dendam?" lirihnya menyelisik.
Aku mengangguk. "Aku baru menyadarinya beberapa saat yang lalu sebelum kau kemari," jawabku.
"Kenapa kau tak cerita padaku sebelumnya, Max?"
"Aku tidak bisa, Rag. Hal ini sangat runyam dan akan bertambah rumit jika banyak orang yang tahu. Kita didoktrin untuk terus melakukan penyerangan tanpa tahu alasan di baliknya selain memperjuangkan tanah kita."
"Jadi, kau pikir kau menyetujui keputusan mereka?" Manik hijau Rag makin menyipit tegas.
"Menurutmu, apa yang membuatmu berada di sini sekarang?"
Rag lantas diam, membungkam kedua bibirnya. Pandangannya setengah tertunduk.
"Bagaimana dengan keluargamu? Aman? Tidak, 'kan?" selisikku. "Kita semua terjebak dalam motif balas dendam leluhur."
"Tapi tetap saja mereka bersalah, 'kan?" Rag menaikkan nada bicaranya. "Mereka yang lebih dulu menyerang kita—"
"Siapa menyerang siapa," potongku. "Itu lebih tepatnya."
Pemuda itu tercekat. Ia diam terpaku.
"Aku tidak paham maksudmu," katanya.
"Kau ..., apa kau tidak penasaran tentang alasan kenapa kita terus-menerus menyerang mereka? Menyerang bangsa lain?" selisikku.
"Mempertahankan bangsa kita lebih tepatnya—"
"Mempertahankan atau balas dendam?"
Lagi-lagi dia terdiam. Maniknya masih menatapku penuh tanda tanya. Sampai akhirnya, aku berdecak seraya menatap layar hologram di hadapanku.
"Kita dimanipulasi untuk terus menyerang dengan alasan mempertahankan bangsa dan tanah air tanpa tahu alasan yang sebenarnya," ujarku. "Zaf pasti tahu apa pun, bahkan soal kejadian sepuluh tahun lalu."
Pergelutan pendapat itu berakhir dengan saling bersitatap. Isi pikiran kami penuh tanda tanya, mengenai semua hal yang berkaitan dengan penyerangan ini. Aku takut jika bangsa kami akan dikenal buruk di masa depan hanya karena hal ini. Selama yang kutahu, Reptilian menjajah dan menghancurkan banyak sekali kampung halaman bangsa lain. Namun, aku benar-benar tidak tahu motif di baliknya, kecuali hari ini.
Diskusi ini mungkin menjadi awal untuk kehancuran selanjutnya ....
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top