After Rain
Penampakan yang menyeramkan. Lingkungan didepannya porak poranda. Puing-puing bangunan berserakan dimana mana. Matanya tak kuasa terus terbuka untuk melihat kegaduhan ini.
Sudah 2 hari Taufan menunggu surutnya air bah perenggut nyawa keluarganya.
Kini ia berdiri di depan puing-puing bangunan rumahnya yang kini sudah tak berbentuk lagi, hancur lebur bercampur tanah. Sebercak kenangan hinggap di benaknya. Kini semua itu tinggal kenangan.
"Jangan tinggalin Taufan sendiri ... Nanti siapa yang nemenin Taufan kalau kalian pergi?" Terisak dalam diam, Bahunya bergetar hebat, ia mati matian menahan air matanya.
"Kak Hali... Kakak kemana? pulang ke Ufan kak, bukan kepada-Nya."
"Gempa? Kok tega biarin kakak sendiri?"
"Ayah, Bunda. Andai saat itu Taufan nyegah kalian semua. Andai saat itu Taufan ikut rencana Kak Hali buat berlibur ke rumah nenek, ini semua pasti tidak akan terjadi."
Gerimis tebal mengguyur bumi bagian Pulau Rintis saat itu. Sejak insiden banjir besar kemarin, kota itu seperti kota mati. Taufan. Dari sepersekian penduduk Pulau Rintis hanya dia yang selamat. Saat insiden terjadi, kebanyakan penduduk sedang sibuk pada urusannya masing masing.
"Terus kalau gini aku harus kemana?" Monolognya.
Taufan melihat sekitarnya. Tidak ada rumah yang benar benar utuh, semuanya hancur di terjang air bah.
"Tidak mungkin juga aku tetap berada disini,"
"Disana ada Posko, kamu bisa kesana jika mau. Arahnya dari sini tidak terlalu jauh," Pria dengan postur tubuh kurus tinggi berkacamata tipis itu berujar kepada Taufan.
"Kau siapa?"
"Cygnus. Nama ku Cygnus Deneb, Relawan Penolong Bencana Alam." Pria kurus itu memperkenalkan diri.
"Cygnus? Aku Taufan. Terima kasih karna sudah memberitahuku dimana letak poskonya," Taufan sebenarnya sudah tau dimana letak posko itu, tapi untuk formalitas, ia mengiyakan kata kata Cygnus.
"Lebih baik kamu ke posko, keadaanmu kurang baik kurasa." Pakaian Taufan yang lusuh, ditambah raut muka yang seperti memikul beban berat. Ya itu benar adanya, nyatanya memang seperti itu bukan?
Kasian sekali anak ini Batin Cygnus
Taufan tak kunjung beranjak dari sana. Ia berdiri termanggu, kilat kesedihan ada pada matanya. Cygnus yang merasakan aura berbeda dari orang disampingnya itu mencoba memberi privasi pada Taufan.
"Sir, aku butuh bala bantuan. Tidak banyak, hanya beberapa saja" Cygnus Deneb berbicara pada HT yang ia bawa.
"Kirim ke daerah yang paling parah terkena dampaknya, daerah tenggara," Cygnus lalu mematikan HT tersebut dan pergi dari sana. Ia tetap menjaga Taufan, dari jauh tentunya.
Taufan masih terpaku disana.
Cygnus sudah pergi sembari tetap memasang insting waspada ke Taufan.
Sang Bagaskara sudah berpindah dari ufuk timur ke ufuk barat. Sinar orange yang lembut, membuat siapa saja candu. Ya, tapi senja punya makna lain dalam kehidupan. Senja yang cantik setelahnya tetap malam yang gelap.
Taufan meringkuk dibalik selimut disalah satu sisi posko. Dinginnya udara malam tidak cocok dengan dirinya, pecinta kehangatan.
"Ini makan malamnya, dimakan ya, Nak." Wanita paruh baya itu tersenyum dan berjalan kearah Taufan dengan nampan berisi makanan.
Taufan yang meringkuk langsung bangun saat wanita itu menghampirinya. "Terima kasih." kata Taufan sambil menerima nampan itu dengan senang hati. Setidaknya saat ini perutnya terselamatkan.
Taufan bangun lalu mengambil makanan tersebut dan memasukannya kedalam mulutnya. Suapan pertama.
"Rasanya hampir mirip seperti buatan ibu,"
Air mata mengumpal di area matanya, dengan segera ia menghapusnya kasar.
"Jangan nangis, jangan nangis. Ga boleh nangis.." Kuatnya pada dirinya sendiri.
Ia melahap satu persatu makanan yang berada di nampan. Memakannya dengan tenang dan damai. Kalau perut kenyang, pikiran bisa mikir jernih kan?
Taufan kini sudah selesei makan, dan sekarang ia sedang bingung. Langit malam jadi pemandangan Taufan saat ini. Bintang bertaburan seperti garam. Andai itu adalah harapan. Maka Taufanlah yang akan meng-klaimnya pertama kali. Sinarnya yang terang meski berjarak jutaan tahun cahaya. Tetap tak meredup jika dilihat dari bumi. Berharap ada satu yang jatuh dan membuat harapan kepadanya. Ya, itulah yang dikatakan oleh orang orang jaman dahulu.
"Ugh..."
Taufan memegangi dada kirinya. Rasa sesak menyeruak masuk ke rongga paru parunya. Udara malam memang tidak baik untuk kesehatan, tapi apakah ini wajar untuk seseorang yang hanya sebentar menghirup udara malam?
"Sakit!" jeritnya.
"Nak, ada apa? kau kenapa, Nak?" Seorang pria datang meraih bahu Taufan. Ia dibuat bingung dengan Taufan yang memegangi dada kirinya.
"Sakit," Taufan berusaha bertahan. Suaranya seakan akan habis tanpa sebab.
"Bertahanlah!" pekik pria tersebut, menggendong Taufan lalu memanggil ahli medis yang ada disana.
Ahli medis berbondong bondong datang dengan alat mereka masing masing, ranjang dan alat bantu pernapasan juga disiapkan.
Usaha mereka nampaknya sia sia. Taufan memejamkan matanya terlebih dahulu sebelum tim medis memeriksanya.
Lengkap sudah kisah ini. Amato, istrinya, dan ketiga anaknya yaitu Halilintar, Taufan, Gempa. Mereka bahagia disana. Mereka tetap bersama tanpa ada penghalang lagi sekarang.
Tbc....
Hayooo gimana nih? semua tokoh pada koid, authornya yakin ga tuh buat ngelanjutin cerita ini?
Tunggu aja yaa readers sekaliann><
Vote and Coment yak
see you next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top