Persiapan Pembawa Bencana-1

Wajah Azura, Arbei, dan Blackburry, mengkerut seketika. Rasa bahagia dan gembira yang selama ini mereka alami, harus pudar seketika karena mendengar kata "kamp pelatihan". Namun, apa daya, mereka tak bisa menolak untuk melanjutkan ke kamp pelatihan, karena sudah-kepalang.

"Wah ... wah ... aku harap, kalian tidak akan selesu ini. Ini baru tahap awal, kunyatakan kalian lulus dari babak penyelisihan pertama ini. Kalian adalah orang-orang terpilih, jadi kalian pasti bisa!" Aries mencoba memberikan semangat.

"Bukan itu masalahnya. Kami pikir, kami sudah resmi bisa bekerja di sini. Ternyata, sulit sekali 'ya hanyak untuk mendapatkan satu pekerjaan." Blackburry masih merenung. Ekspresinya campur aduk, ada kekesalan, ada senang, dan kecewa.

"Kami juga akan memberikan kalian waktu satu minggu, untuk melalukan persiapan fisik dan mental. Awas, bawa barang yang kalian perlu, jangan sampai ada yang ketinggalan," tutur Aries, kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

🍃🍃🍃

Setelah pulang ke rumah, sudah seharian, Azura tertidur begitu pulas. Berulang kali ibunya menyuruh untuk sarapan, Azura tak menyahutnya karena tertidur.

Di pagi harinya, karena cahaya matahari yanng masuk melalui jendela begitu menyilaukan mata, dengan terpaksa, Azura terbangun dari tidurnya. Ia menguap begitu lebar. Rambutnya acak-acakan seperti orang gila, tersirat warna hitam di kantong mata Azura.

Ia kemudian berjalan, keluar dari kamar untuk masuk ke kamar mandi. Ia basuh seluruh wajahnya, kemudian menggosok gigi.

Sudah terlihat lebih segar, kini Azura tersenyum menampakan deretan giginya yang putih berseri, bak model iklan pasta gigi.

Dengan energi yang begitu banyak, ia berlari menyusuri tangga untuk duduk di meja makan. Ia ambil dua lembar roti, lalu ia oleskan sekali kacang kesukaanya. Ia memakan itu dengan terburu-buru, mulutnya kini penuh dengan roti.

"Swdwah lamwa awku twydak mwakan rowti iwni ... uhuk ..." Azura tersedak karena tingkah lakunya sendiri, ia pun langsung mengambil satu gelas susu yang berada di atas meja lalu meneguknya dengan singkat.

Azura berdiri dan membersihkan meja makan, lalu berlari menuju rumah kaca tempat bunga-bunga yang selama ini ia rawat berada.

Dengan penuh semangat, ia mengambil semprotan berisi air untuk para bunga. Karena terlalu senang, ia bernyanyi sambil menari-nari ketika menyirami bunga.

🎶lihat kebunku🎶

🎶penuh dengan bunga🎶

🎶ada yang putih, dan ada yang merah🎶

🎶setiap hari, kusiram semua🎶

🎶mangga, stroberi, itu jenis buah!🎶

Ia tertawa terbahak-bahak setelah bernyanyi. Pohon kaktus yang nampak tersenyum itu pun, memberikan hadiah duri ketika Azura akan memotong bagian pohon yang rusak.

"Aww!" Azura meringis kesakitan. Dengan reflek ia mengemut jarinya sendiri, untuk menghentikan pendarahan.

"Akan ada pertanda buruk terjadi!" gumam Azura, lalu melanjutkan kegiatan mer
awat tanaman.

"Azura ... Azura!" teriak Purpella, sembari membawa koran di tangannya.

Dari raut wajahnya, nampak khawatir. Azura pun menoleh, mengerutkan dahinya. Ia menatap Purpella dengan heran lalu mengambil koran itu.

"Sebenarnya, ada apa ini?" Batin Azura bertanya.

Mata Azura membelak kaget, ia menutup mulutnya itu dengan tangan kanannya. Azura menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak... tidak mungkin, ini pasti tidak mungkin!" pekik Azura kemudian melemparkan koran itu ke sembarang tempat.

Dengan emosi yang mengebu-gebu, Azura berjalan tergesa-gesa menuju kamarnya.

Dalam koran tersebut tertulis, Patung persembahan hilang, dan satu orang tewas. Diduga, pelakunya adalah dua orang turis yang baru saja mampir.

Dalam koran itu berisi berita.

Suku pedalaman Kalimantan dibuat geger dan marah karena patung persembahan mereka dicuri. Tak hanya itu, satu orang penduduk mereka juga dibunuh. Salah seorang saksi menagatakan, "saya melihat turis perempuan, kala itu mencuri patung persembahan di rumah kepala suku. Saya juga melihat si korban, kala itu ingin menghentikan aksi si turis, tetapi turis itu malah membunuhnya." Pelaku yang mereka sebut bernama Azura, itu kabarnya memang seorang turis yang kedua datang ke desa mereka. Setelah ia pergi, patung itu menghilang.

Azura mengambil ponsel yang ia letakan di atas meja belajarnya, lalu menekan nomor bernama Bubblegum. Ia dekatkan ponsel itu ke dekat telinganya. Karena panik, ia mengigit bibirnya hingga mengeluarkan bau amis, yaitu darah.

Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah untuk menghubungi beberapa saat lagi.

Hanya kata itu yang terdengar di telinga Azura. Kini ia panik setengah mati, Azura kelimpungan dibuatnya. Bahkan ia tidak pernah tahu ada patung persembahan di rumah kepala suku. Dan membunuh? Tentu saja tidak mungkin!

"Kau melihatku bukan, Purpella? Aku tidak salah, 'kan?" lirih Azura menatap Purpella dengan berkaca-kaca.

"Ya. Tidak mungkin kau melakukan semua ini, Azura." Hanya jawaban itu yang Purpella lontarkan, untuk menenangkan hati Azura.

🍃🍃🍃

Sembari menyeruput teh dan melihat berita terhangat masa kini, Arbei senyum-senyum sendiri karena melihat berita yang tidak masuk akal. Namun tiba-tiba saja, wajahnya mengkerut.

Mengungkap misteri di dunia ini, warga ramai berbondong-bondong mendatangi kantor Moonlight Courier.

Melihat notifikasi berita itu, membuat Arbei langsung membukanya dengan cepat.

Seorang mahasiswi bernama Afika, mengaku bahwa orang-orang yang bekerja di Moonlight Courier memiliki seorang peri dan kekuatan misterius.

"Mungkin, orang tidak akan percaya ini. Tetapi, saya dan teman saya Zainal melihat dengan mata kepala sendiri. Dan kami juga memiliki bukti berupa foto dan video."

Membaca berita itu, ia scroll berita itu hingga menemukan sebuah bukti gambar dan video. Saat video itu ia putar. Memang benar, itu dirinya ketika memanggil Berbllu dan bermain piano.

Langsung saja ia mencari nomor bernama Robert di sana. Nahas, Robert tidak bisa dihubungi kala itu.

Kini, Arbei frustrasi. Ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Dan bersiap-siap untuk berangkat menuju kantor Moonlight.

🍃🍃🍃

Blackburry terus menatap batu Rubi itu dengan lamat-lamat. Sembari tidur terlentang, ia menaruh batu Rubi itu di bawah sinar lampu mengunakan tangannya. Batu itu nampak bersinar dengan terang.

Ayahnya kemudian menghampiri putrinya itu.
"Kalau tidak dilihat, matikan saja televisinya. Buang-buang listrik." Ayahnya itu pun mematikan televisi yang sejak tadi menyala.

Namun, Blackburry tak terima atas perlakuan ayahnya itu. Ia kembali mengambil remot televisi itu lalu ia nyalakan kembali.

"Seorang pemain game let's go girl, dikabarkan telah meretas sistem game, sehingga perusahaan game tersebut mengalami kerugian miliaran dolar."

"Pemain dengan usrename, Blackburry dikabarkan log in sekitar lima hari yang lalu. Ia meretas sistem keamanan game dengan membuat game tersebut kebanjiran iklan yang tidak layak di tonton. Selain itu juga, pembelian skin dalam game tidak masuk ke rekening publisher game, tetapi dinyatakan telah masuk ke rekening xxxxxx setelah ditanya pada pihak bank, benar saja, rekening tersebut memang atas nama Blackburry."

Ayah Blackburry menatap Blackburry tajam. Ia memicingkan mata, menyelidik Blackburry.

"Itu, bukan kamu, 'kan?" tanya ayahnya curiga.

Blackburry memutar kedua bola matanya. "Ya jelas bukan, lah. Mana mungkin Blackburry bisa melakukan semua itu, yah." Blackburry mengelak pertanyaan ayahnya, yang menurutnya bodoh itu.

"Ya, ayah hanya cemas saja sih."

Sebenarnya, kecemasan nampak jelas pada raut wajah Blackburry. Karena merasa takut, ia berpura-pura ingin tidur di kamar, namun sebenarnya ia berencana mengecek isi tabungannya.

Ia membuka ponselnya, untuk mengecek isi tabungannya itu. Ia kemudian menutup mulutnya itu. Kini air matanya mengalir dengan cepat.

"Tidak mungkin, ini semua tidak mungkin!"

Blackbuury segera menyeka air mata itu, lalu bersiap-siap untuk pergi menuju kantor Moonlight.

Tabungan Blackburry memang bertambah pesat. Yang awalnya hanya berisi 50-juta, kini telah berisi sejumlah 100-juta.

🍃🍃🍃

Azura, Blackburry, dan Arbei melalukan video call bersama setelah masing-masing mendapatkan masalah itu. Mereka bertiga ternyata kena masalah yang berbeda-beda, dan sama-sama rumit.

"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba beriat seperti ini muncul?" Wajah Azura memerah, nampak jelas dari layar handphone.

"Aku juga tidak tahu, aku mencoba menghubungi, Gelltain, tetapi nomornya sibuk." -Blackburry.

"Iya, aku juga begitu." -Azura.

"Bagaimana denganmu? Arbei?" -Blackburry

"Aku juga sama seperti kalian." -Arbei.

"Bagaimana ini? Padahal aku tidak pernah melakukan hal buruk seperti itu. Mencuri dan membunuh? Sungguh tidak logis." -Azura.

"Aku yakin, ada yang tidak beres dengan masalah ini." -Arbei.

"Iya, aku juga berpikiran seperti itu. Mungkinkah, ini hanya ujian pertama untuk kita?" -Azura.

"Ya, kau memang benar. Karena, tidak mungkin, 'kan kita mendapatkan kesusahan setelah hari kemarin. Padahal kita tidak melakukan apa pun." -Arbei.

"Cepat, kita harus segera bergegas ke kantor." -Azura.

"Iya, ini aku sudah siap, kok." -Blackburry.

🍃🍃🍃

Kini, mereka bertiga sudah sampai di depan kantor bertuliskan "Moonlight Courier" terpampang dengan jelas.

Azura dan Arbei memasang ekspresi biasa saja, karena tidak merasa melakukan hal tersebut. Namun, berbeda dengan Blackburry, ia terlalu khawatir. Karena, jika ia masuk penjara, bukti begitu kuat ada padanya.

"Tenang, Blackburry. Semuanya akan baik-baik saja." Azura mencoba menenangkan Blackburry.

🍃🍃🍃

Tbc:)

Yehe... cerita sekarang sudah memasuki konflik:) sebenarnya awalnya gak kepikiran buat bikin cerita jadi kayak gini, cuman ya pas lagi ngehayal pas pelajaran Bahasa Inggris, kan lagi bahas tentang cerita juga, eh kepikiran buat kaya gini alurnya~~ semoga suka;)

Selasa, 23 April 2019 oleh Mikurinrin_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top