Me and My Husband
(Judulnya dr lagu ini. walau banyak kontroversi mengenai liriknya aq lbh percaya klo lagu ini ke arah yg positif)
...
Gintoki menatap datar sup ayam di hadapannya lalu meletakan sendoknya sambil menghela nafas panjang. Jangan salah paham. Masakan yang di buat suaminya adalah yang terbaik sealam semesta. Sayangnya, hari ini lidahnya sedang mati rasa. Daripada menyantap hidangan di depannya, dia lebih suka untuk sekedar mengaguminya.
Sebelum mereka menikah, suaminya itu banyak memasak untuknya dan semua resepnya adalah masakan sederhana rumahan ala kadarnya. Gintoki sebagai pria jepang normal. Semua masakan tersebut merupakan favoritnya.
Tidak ada masalah apapun di sana. Hanya satu hal yang sedikit mengusiknya.
Mungkin karena Hijikata besar di dojo dan pria itu adalah tipe lelaki atlentik.
Masakan yang di buat Hijikata terlalu maskulin. Kalau Gintoki tidak meminta satu atau dua makanan spesifik, pria itu akan memenuhi meja makan dengan berbagai hidangan penuh karbohidrat----orang rakus macam Kagura sih bahagia saja di suguhkan makanan berat sebanyak itu.
Sementara Gintoki tidak punya selera makan sebesar itu.
Namun setelah memahami selera dan kebiasaan makannya. Hijikata mulai mempertimbangkan kebutuhan lain selain karbohidrat, bahkan ia mulai mencaba berbagai jenis resep. Terutama setelah mereka mengadopsi Tenko yang punya kebiasaan pilih-pilih makanan.
"Hahaha......" Gintoki tertawa pelan. Setiap harinya dia selalu menemukan hal-hal kecil yang bisa membuatnya jatuh cinta kembali pada suaminya.
"Dia tidak pernah mengeluh dan selalu melakukan yang terbaik," Hijikata adalah sosok yang paling sempurna baginya. "kadang aku bertanya-tanya kapan dia akan menunjukan sisi lemahnya?" sementara dirinya, selalu sukses mempermalukan diri di depan pria yang saat ini merupakan suaminya tersebut.
Satu-satunya kelebihannya yang tidak dimiliki Hijikata hanyalah membuat dessert. Namun ini sang wakil komandan iblis penggila nikotin yang sedang ia bicarakan. Hijikata benci makanan manis bahkan bisa dibilang anti.
"Hmm....." Gintoki berpikir keras seraya mengosok dagunya. Kebetulannya pandangannya berhenti ke arah sebuah kalender gantung di ruangan tersebut. "Ah sebentar lagi Valentine huh?" komennya.
Sebelum menikah. Setiap tahunnya dia selalu uring-uringan karena tak pernah mendapatkan hadiah coklat dari siapapun. Entah siapa yang menciptakan hari raya tersebut, dia membencinya. Menurutnya. Keberadaan valentine tidak lebih dari papan iklan bebas yang di buat oleh sekumpulan pabrik coklat.
Namun itu pendapatnya saat dia masih tidak punya seseorang yang ia cintai. Sekarang dia hidup bersama Hijikata. Tidak ada salahnya mencoba untuk merayakannya.
Walau Hijikata tidak memakan coklat buatannya itu bukan masalah besar baginya. Asalkan perasaannya tersampaikan itu sudah cukup.
"Yaah......kurasa lebih baik aku mulai mencari ide. Apa yang sebaiknya kubuat untuknya," merasakan suasana hatinya jauh lebih membaik. Gintoku mulai mengambil sendoknya dan meminum supnya yang mulai mendingin.
Tidak lama kemudian pintu depan terbuka. Hijikata masuk sambil membawa dua kantong belanjaan besar lalu mendekati suaminya di meja makan.
Dia mengintip mangkok di tangan Gintoki. "Ha? Kau masih belum selesai?" tanyanya lalu mengeluarkan satu kotak mika berisi penuh strawberi dari dalam kantong belanjaan.
"Pastikan kau menghabiskan supnya," tegurnya setelah meletakan kotak mika tersebut di dekat Gintoki dan membawa belanjaan lainnya masuk kedalam dapur.
"...........apa dia ibuku?"
Gintoki menunduk sambil menghela nafas lelah. Bahkan gurunya yang sudah dianggapnya sebagai orangtua sendiri saja tidak pernah memperlakukan atau mengomel seperti itu untuknya.
OXO
Keesokannya Hijikata masih belum masuk kerja. Sebenarnya kesehatan Gintoki sudah jauh lebih membaik. Bahkan suaminya itu sudah pergi keluar dengan alasan ingin membeli majalah JUMP kesukaannya, meninggalkan Hijikata sendirian di rumah.
Karena Kondo terlalu bersemangat untuk mengabulkan permintaan cutinya, atasannya itu masih belum membiarkannya untuk kembali bekerja. Terpaksa ia meminta salah satu bawahannya untuk mengiriminya beberapa dokumen yang harus segera ia selesaikan.
Kini Hijikata sedang duduk di belakang meja kerja Gintoki yang berada di bawah papan kaligrafi bertuliskan 'ingat kadar gulamu'
Suaminya itu tidak pernah sungguh-sungguh menggunakan meja itu untuk bekerja.
Tidak ada salahnya kalau dia menguasai meja itu untuk sehari atau dua hari kan?
Setelah beberapa saat menghabiskan waktu membaca banyak dokumen dan menulis beberapa laporan. Akhirnya Gintoki pulang kerumah sambil membawa sebuah kantong belanjaan kecil yang berasal dari minimarket.
Pria itu terburu-buru masuk kedalam rumah dan tanpa mengatakan apapun ia menuju dapur.
"Mencurigakan," batin Hijikata. Namun ia tidak beranjak dari kursi untuk menegur suaminya itu. Gintoki sudah sering melakukan hal konyol. "Palingan dia cuma berusaha menyembunyikan majalah atau kaset porno"---ia tidak asal menebak. Sebelum mereka mengadopsi Tenko. Gintoki pernah mencobanya sekali.
Hijikata kembali fokus ke pekerjaannya. Kemarin seharian dia sudah menghabiskan waktunya untuk merawat si bodoh itu. Ia tidak perlu merasa bersalah karena mengabaikan kelakuan mencurigakan tersebut.
Setengah jam telah berlalu. Hijikata tenggelam kedalam tumpukan pekerjaannya sampai tak menyadari kehadiran Gintoki di sebelahnya.
"Tumben kau membawa pulang pekerjaanmu," sapa pria bersurai perak itu seraya mengintip pekerjaan suaminya.
"Kondo masih belum memperbolehkanku kembali ke markas. Inilah kenapa aku tidak mau meminta cuti darinya....." Hijikata menghelakan nafas frustasi.
Diakuinya niat Kondo baik namun kebaikannya tersebut bisa jadi menghancurkan Shisengumi yang anggotanya hanyalah berisi sekumpulan preman yang tak memahami pekerjaan di balik meja.
"Tanggung jawabmu besar sekali huh," komen Gintoki lalu menepuk pundak Hijikata. Hubungan suaminya dengan atasannya masih belum berubah rupanya.
Mereka berdua berbincang sebentar lalu kembali ke kegiatan mereka masing-masing. Sesekali Gintoki mengintip pergerakan jam dinding di ruang tersebut.
Di tengah kegelisahannya. Tiba-tiba Hijikata beranjak dari kursinya dan entah kenapa itu membuatnya terkena serangan panik.
Gintoki mengikuti Hijikata sampai ke dapur.
"........apa kau butuh sesuatu?" tanya Hijikata di tengah kecanggungan yang asalnya entah darimana dengan Gintoki sebagai sumbernya.
"Pfft......" tidak tahan melihat reaksi suaminya yang tak pandai berbohong. Hijikata tidak bisa menahan tawanya. "Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyanya lagi seraya membuka lemari es. Dan barulah ia memahami di sanalah sumber kegelisahan suaminya bersembunyi.
"Aah....kau sama sekali tidak membiarkannya membungkusnya untukmu," keluh Gintoki seraya melihat ke arah yang sama.
"Mana aku tahu. Aku cuma mau ambil apel dari lemari es," jawab Hijikata seraya melirik risih suaminya yang tak disangka merupakan tipe pria romantis.
"Sudah kuduga aku tidak bisa menyembunyikan apapun dari mu huh..."
Gintoki mengeluarkan apa yang sedari tadi ingin di sembunyikannya. Tiga buah tiramisu yang di beri wadah cangkir plastik berpita merah muda yang menggemaskan.
"Kapan kau membuatnya?" sekali lihatpun tahu kalau itu adalah buatan tangan. Karena tidak mungkin Gintoki membelinya di bakeri yang saat ini sedang penuh sesak oleh para pelanggan wanita.
Dan dia tahu suaminya itu tidak mungkin bersedia mengeluarkan uang lebih untuk makanan yang bisa dibuatnya sendiri di rumah.
"Tentu saja kemarin malam. Tiramisu butuh di dinginkan seharian," jawab Gintoki lalu memberikan secangkir untuk Hijikata. Lalu mengambil secangkir untuk dirinya sendiri, dan sisa secangkir untuk Tenko yang belum pulang ke rumah.
Hijikata tersenyum kalem, mengagumi kerajinan tangan suaminya itu. Walau sesama laki-laki mereka berdua mempunyai kelebihan yang berbeda.
"Padahal kau tidak perlu repot....." mereka berdua pindah ke ruang tengah.
Setelah mencicipi tiramisu buatan Gintoki. Hijikata baru menyadari kenapa dari semua kue dia memilih kue keju asal italia tersebut.
"Aku mencocokannya dengan seleramu," terangnya lalu menjilat sudut bibir Hijikata yang terkena krim. "Tapi.....kalau kau bersi keras mau menambahkannya dengan mayones--" wajahnya memucat.
Tiba-tiba ia mengingat bagaimana kebiasaan buruk sang wakil komandan. Entah apakah dia bisa tahan menyaksikan maha karyanya tertimbun kuning-kuning mulia terkutuk itu.
"Aku mengerti kali ini aku tidak akan melakukannya. Tenang saja," sela Hijikata lalu melahap suapan keduanya.
Gintoki tahu betul seleranya. Dia membuat rasa tiramisu ini lebih terasa kopinya ketimbang yang di jual di pasaran.
"Eh!? Kau yakin?" tanya Gintoki.
Mau bernafas lega namun masih ada yang lebih meresahkan.
Tumben Hijikata menolak mayones.
Hijikata memutar kedua matanya malas. "Kalau kau ingin mayones. Aku bisa menambahkannya di cangkirmu juga," ancamnya sambil melempar tatapan maut.
"Tidak. Terima kasih," Gintoki menolaknya mentah-mentah.
Hijikata meneruskan makannya. Dari wajahnya ia cukup menikmati dessert yang biasanya tidak akan cocok di lidahnya.
Memperhatikannya mengunyah makanan dengan pipi yang sedikit mengembungkan.
Terlihat sangat menggemaskan di mata Gintoki.
Pandangannya tak lepas dari setiap gerak-gerik pria bersurai hitam itu.
Melihatnya saja sudah cukup membuatnya kenyang.
"Ada apa denganmu?" tanya Hijikata di buat risih.
"Aku tidak tahan tidak memelukmu!" seru Gintoki lalu melakukan apa yang sedari tadi diinginkannya. Ia menubruk suaminya itu sampai menindihnya di atas sofa.
Hijikata mengangkat kedua tangannya, mengamankan cangkir yang masih dalam genggamannya. "Berbahaya tahu!" tegurnya lalu meletakan cangkir tersebut ke atas meja.
Gintoki tidak mengindahkan tegurannya. Seenaknya ia mencuri ciuman lalu memasukan tangannya kedalam kimono hitam suaminya yang lengah.
Entah sejak kapan Gintoki memijat bagian dadanya, memaksanya untuk menahan desahannya. "Tu--tunggu. Kau yakin mau melakukannya sekarang?" tanyanya dengan suara lemah lalu menoleh ke arah pintu depan yang tidak terkunci.
Suhu tubuh Gintoki naik drastis, bukan karena demam kali ini. "Sudah lama aku tidak menyentuhmu," bisiknya lalu mengecup singkat pipi Hijikata.
Tangannya bergerak pelan, sekali lagi menyentuh area dada yang sensitif dan memainkan dua puting yang mulai mengeras.
Hijikata mulai kehabisan nafas. Selalu di saat seperti ini semua keluhan dan permintaannya tak akan tersampaikan kepada Gintoki. Mau tak mau ia merelakan nasibnya. .
Kerah kimononya terbuka lebar lalu jatuh mengekspos seluruh badan bagian atasnya. Merasa masih belum cukup, Gintoki membantunya melepaskan celana dalamnya. .
Hijikata merasa aneh. Walau tali obinya masih terpasang sempurna, secara harafiah ia sudah bertelanjang bulat di lokasi yang sangat beresiko.
Apa jadinya kalau ada anggota Yorozuya atau pelanggan yang datang berkunjung tiba-tiba?
Gintoki sibuk melepaskan kaos kakinya. Dari wajahnya pria itu sama sekali tidak terbebani oleh pemikiran mengenai adanya kemungkinan perbuatan mesum mereka terekpos oleh orang ketiga atau keempat dan seterusnya, terlebih lagi kalau orang itu adalah putri mereka belum pulang.
"Bukannya tidak adil kalau hanya aku seorang yang membuka pakaian?" protes Hijikata lalu menarik kedua sisi lengan kimono putih suaminya.
"Hari ini kau agresif sekali Toshirou," Gintoki membiarkan Hijikata menarik kimononya sampai lepas. Selagi ia sibuk menghujani ciuman di sekitar wajah jutek suaminya tersebut. Tangan Hijikata menarik resleting baju hitamnya.
"Apa kau mau membantuku melepaskan celanaku?" tanya Gintoki yang langsung di jawab dengan teriakan nyaring.
"Lepaskan sendiri!!!" Hijikata membuang mukanya yang memerah padam. Karena penasaran, ia sedikit mengintip bagaimana Gintoki melepaskan celananya.
Menyadari lirikan malu-malu itu. Lelaki yang kini hanya bercelana dalam itu tersenyum jenaka. Berapa kali ia harus membatin betapa menggemaskannya suami pemalunya itu.
"Hahaha....." Gintoki tertawa ringan seraya menarik tangan Hijikata untuk naik ke atas pangkuannya. "Ini pertama kalinya aku peduli apa yang namanya valentine," ujarnya masih tersenyum kalem dan mengelus belakang Hijikata.
"..........setiap valentine orang-orang di markas menganggapku sebagai pabrik coklat," berbeda dengan si pemilik Yorozuya. Sang wakil komandan memiliki banyak pengemar dari berbagai kalangan. Dia juga benci valentine meski dengan alasan yang berbeda.
Gintoki mencibir. "Setiap tahun kau membagikan coklat-coklat hadiah dari penggemarmu ke anggota Shinengumi?"
"Kau tahu aku tidak suka makanan manis," jawab Hijikata seraya mengelus puncak kepala suaminya yang cemburuan. "Seperti yang kau lihat. Cuma punyamu yang kumakan," sambungnya lalu menunjuk ke arah cangkir Tiramisu yang habis setengah.
"Jangan lupa membalasnya waktu white day....."
"Dasar tidak sabaran," komen Hijikata lalu mendekatkan wajahnya. Hidung mereka saling bersentuhan, hanya ada jarak satu senti di antara mereka.
Hijikata berhenti mendekat lalu tersenyum kecil. Tatapan nya lembut serta melelehkan, bagaikan sebuah isyarat meminta ciuman dari sang suami.
Apa yang tidak dilakukannya kalau untuk wakil komandan tercintanya? Gintoki menciumnya lembut. Lidah mereka bergerak pelan, tidak terburu-buru mengakhiri momen mesra tersebut.
"Ngg....." Hijikata mengerang pelan. Hanya dengan satu ciuman saja sudah membuat miliknya setengah menegang. Dia sangat ingin menyentuh pria di hadapannya. Entah kenapa sekarang gilirannya yang menjadi tidak sabaran.
Bibir Hijikata menyentuh perpotongan leher suaminya. Menciumnya lalu menghisap bagian tersebut sambil meninggalkan jejak merah yang familiar.
Gintoki membiarkannya. Jarang Hijikata ingin menandainya. Pria bersurai perak itu lalu menyusupkan tangannya ke bagian bawah tubuh lelaki tersebut.
Hijikata menghentikan kegiatannya saat menyadari kedua tangan besar sedang meremas pantatnya.
Kemudian dengan lidahnya Gintoki memilin salah satu putingnya, sesekali menghisap dan mengigitnya pelan. Perbuatan mesum itu membuat Hijikata spontan membusungkan dadanya, mulutnya ia rapatlan demi menahan desahannya.
"Toshiro aku ingin mendengar suaramu," Gintoki memaksa memasukan jarinya ke mulut Hijikata agar mulut itu tidak tertutup lagi dan meloloskan desahan-desahan merdu yang membangkitkan birahi keduanya.
"Ha....hah...ngg...."
Ujung jarinya mengesek langit-langit rongga mulut. Hijikata yang tak bisa menutup mulutnya meneteskan air liurnya. Gintoki menyungingkan senyuman nakal.
Ini masih belum cukup.
Gintoki mencium area perut Hijikata. Tangannya masuk kedalam selangkangan pria di pangkuannya. Pria itu hilang tertelan dunianya sendiri, walau mulutnya meminta berhenti gerak gerik tubuhnya meminta lebih.
"Jangan.....melakukannya bersamaan...." dengan susah payah Hijikata memohon. Jari Gintoki tidak lagi di dalam mulutnya, tangan itu berpindah memijat pahanya dan berlahan berpindah tempat, memijat satu bagian tubuhnya yang sudah berdiri tegak di bawah sana.
Sementara tangan Gintoki yang lain ada di bagian belakang, memasukan jarinya ke sebuah lubang yang menembus area organ perutnya. Hijikata mengerang kencang dengan kedua tangan mencengkram lengan kekar suaminya.
Air matanya menetes sesaat setelah jari Gintoki menggesek sebuah titik paling sensitifnya. Desahan Hijikata semakin menjadi, mulutnya tidak bisa diam, suara tangisannya memenuhi sesisi rumah.
Gintoki memasang senyum puas akan hasil pekerjaannya. Ia mengadahkan kepalanya untuk mencium singkat bibir Hijikata lalu mengangkat sedikit pantat pria di atas pangkuannya tersebut.
"Aku akan memasukannya," bisik Gintoki memberitahu yang di balas dengan sebuah anggukan singkat. Keduanya mendesah bersamaan, detik berikutnya perut Hijikata terasa penuh, tidak sakit hanya terasa sedikit menekan di dalam.
Mereka berdua saling memburu nafas. Gintoki mencium Hijikata pelan lalu lama kelamaan mereka menjadi serakah. Berlahan Hijikata mengerakan pinggulnya. Kejantanan suaminya itu mengesek bagian dalamnya yang paling sensitif.
Panas. Gerah. Tubuh mereka berkeringat terasa sedikit licin saat bersentuhan.
Isi kepalanya merasa seperti di goreng. Pandangan Hijikata mulai berkunang seiring tubuhnya terpuaskan oleh kenikmatan duniawi. Dan kelihatannya Gintoki juga mengalami hal yang serupa.
"Mau hari valentine atau tidak.....apa bedanya?" Hijikata bertanya di dalam hati. Tanpa pikir panjang ia menjamah bibir Gintoki lalu menciumnya.
"Selama dia adalah suamiku...."
Ciuman yang memabukan itu tidak kunjung berhenti.
"Setiap hari aku mencintainya...."
Tautan bibir mereka putus untuk sesaat. Gintoki mengambil nafas dalam-dalam namun tak sempat karena Hijikata tiba-tiba kembali menciumnya dengan serakah.
"Dan berkat lelaki ini. Setiap harinya aku merasa di cintai....."
Walau mengejutkan. Gintoki tetap membalas ciuman dadakan tersebut. Tidak ada yang lebih membuatnya bahagia selain Hijikata yang dengan keinginannya sendiri berinisitif untuk menyentuhnya.
To be Continue
A/n:
Hmm...yeah. Happy Valentine everyone!!! saat yang cocok untuk memamerkan GInHiji after married. Jujur saja saya gak tahu harus nangis atau ngakak waktu nulis chapter ini.
Nulis adegan dewasa itu butuh ide yang buanyaak. Dan saat ini saya lagi kena penyakit yang namanya writer block...ehem...familiar?
Maaf kalau tidak sesuai ekpektasi....... author-san sudah berjuang sebisanya!! (T^T)
Saya ucapkan terima kasih banyak bagi para readers yang masih melanjutkan membaca sampai Chapter ini dan bahkan memberikan vote dan komennya!!!
Happy Reading!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top