Honeymoon Avenue

"Kau tidak pernah bilang kalau kau cuma punya satu futon......"

Hijikata menatap risih si pemilik rumah sambil bersedekap dada, menunjukan gestur tak nyaman sekaligus canggung. Saat dia bilang ingin menginap, ia kira Gintoki pasti punya futon cadangan.

"Tapi aku juga tidak pernah bilang kalau aku punya futon cadangan kan?" Gintoki menyeringai jahil seolah mengerti jalan pikiran Hijikata yang terlalu sederhana itu. "Yah memang sih aku seharusnya punya. Tapi karena ulah Kagura yang kemarin tidak sengaja menumpahkan kecap asin ke futon yang masih di jemur itu. Yaah....jadi aku harus mencucinya ulang," jelas Gintoki setelah mendapati tatapan maut dari Hijikata yang seolah berkata dia akan berubah pikiran kecuali kalau dia mendapatkan penjelasan.

".....Kalau begitu aku tidur di sofa saja," Hijikata memutar tubuhnya hendak keluar dari kamar. Namun Gintoki mencengkram bahunya, mencegahnya untuk pergi.

"Ougushi-kun bukannya kita sudah banyak melakukan hal yang lebih memalukan daripada ini?"

Tanpa ada keinginan untuk mendengarkan keluhan dari sosok yang dipanggil Ougushi-kun itu, Gintoki menariknya masuk kedalam futon lalu memeluknya erat agar tak memberontak untuk keluar dari futon.

Hijikata hanya bisa pasrah, dia terjebak dalam pelukan Gintoki. Ia membelakangi pria yang tidur di sampingnya itu, perutnya sedikit terasa sesak karena pelukan erat orang di belakangnya. Sudah lama ia tidak tidur dalam pelukan seseorang, terakhir kali mungkin waktu dia masih kecil, saat ia sering nakal menyelinap masuk kedalam futon kakak laki-lakinya.

"Kuharap kau tidak punya kebiasaan tidur yang buruk," gumam Hijikata lirih seraya menghela nafas panjang. Sementara Gintoki kelihatannya sudah tertidur pulas, melanjutkan tidurnya.

OXO

Setelah keluar dari kediaman Yorozuya, Hijikata mempercepat langkahnya menuruni tangga. Mengenai mendatangi rapat penting yang dijadikannya alasan untuk tak ikut sarapan dengan Gintoki dan Kagura, hanya merupakan salah satu kebohongannya.

Wajahnya terasa panas, dia yakin kulit wajahnya sudah semerah buah tomat. Sepanjang perjalanan dia tidak bisa mengangkat wajahnya, dia tidak mau ada orang lain yang menyadari kondisinya saat ini.

"Ah Hijikata-san!"

Mendengar seseorang tiba-tiba memanggil namanya Hijikata jadi gelagapan, dia belum siap menunjukan mukanya ke orang lain. Terutama pada orang yang mengenalnya.

"Shi-- Shimura huh...." Hijikata balik menyapa dengan suara yang terbata-bata. "Ka--kau mau ke Yorozuya?" tanyanya. Wajahnya menoleh ke arah berlawanan namun masih mencuri pandang.

Shinpachi mengangguk mantap. "Hijikata-san sendiri? Kenapa pagi-pagi begini sudah ada di Kabukicho?" tanyanya yang sepertinya tidak menyadari keanehan si wakil komandan selain keberadaannya di area Kabukicho.

"Aku...." Hijikata tak mampu untuk menjawabnya begitu saja. Tidak mudah baginya untuk mengaku kalau dia baru saja menginap di tempat kerja remaja itu, terutama setelah remaja itu bilang kalau bosnya serius menyukainya.

"Aku barusan dari tempat kalian," mau tak mau Hijikata mengakuinya. "Ja-jangan tanya aku alasannya! Setelah sampai di sana mungkin kau akan mengetahuinya," demikian rancaunya lalu berjalan cepat melewati Shinpachi yang dibuatnya kebingungan.

Sepulangnya ke ruangan pribadinya dirinya di sambut dengan Yamazaki dan setumpuk dokumen yang terlihat famiiar. Melihat tumpukan kertas itu, Hijikata mulai menyesali keputusannya. Kalau dia punya waktu memasak sarapan di rumah orang lain, lebih baik ia menyimpan tenaganya untuk melanjutkan pekerjaannya kan?

"Wakil komandan kemana saja kau?" tanya Yamazaki mencemaskannya. "Waktu aku datang kau tidak di tempat. Kalau mau menginap di luar setidaknya beritahu salah satu dari kita," seperti biasa pria itu melontarkan ocehan yang tak jauh berbeda dengan ocehan Kondo.

Bisa dibilang seluruh anggota Shinsengumi selain seseorang yang berasal dari devisi-1 akan mengocehkan hal yang sama kalau mengetahui salah satu anggotanya menghilang, dan itu berkat pengaruh komandan gorila mereka tentunya.

"Aku lupa," jawab Hijikata ogah lalu duduk di depan meja kerjanya. "Daripada mengkhawatirkanku lebih baik kau cepat serahkan itu padaku," tagihnya kepada Yamazaki yang masih berdiri di ambang pintu.

Yamazaki memberikan semua dokumen di tangannya lalu melaporkan laporan paginya. Hijikata yang sudah terlanjur terbiasa dengan keseharian tersebut dengan gampangnya membaca semua dokumen di atas mejanya sambil mendengarkan laporan panjang Yamazaki. Selama tidak ada yang aneh dari laporan si inspektur ia tidak mengatakan apapun, setelah selesai ia menyuruh Yamazaki untuk melanjutkan pekerjaannya yang lain.

Setidaknya pekerjaannya kali ini tidak separah tempo hari. Dia tidak perlu tergesa-gesa mengerjakan semuanya sekaligus. Merasa masih mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat, Hijikata membaringkan dirinya di atas lantai tatami yang keras dan menatap langit-langit ruangannya dengan bosan.

Ingatannya tentang kemarin malam masih membekas di kepalanya. Bagaimana rasa pelukan Gintoki ataupun bau futon yang baru selesai di jemur, yang membuatnya merasa nyaman dan nostalgia. Mungkin sedikit aneh kalau menyamakan pelukan Gintoki dengan kakak laki-lakinya, tapi ini pertama kalinya ia merasa demikian dengan seseorang selain Kondo.

Perasaan nyaman dan aman terlindungi datang dari seseorang pria yang belum tentu ia bisa percayai. Gintoki sudah banyak membantu Shinsengumi, terutama dalam kasus pemberontakan Itou. Tak dapat dipungkiri, Gintoki merupakan pria yang bisa diandalkan. Seharusnya ia bisa mempercayai pria itu kan? Mempercayai perasaan pria itu kepadanya.

"Bukan berarti aku tidak menyukainya atau apa....."

Hijikata menutup matanya dengan punggung tangannya. Pikirannya kacau, hatinya dipenuhi kebimbangan dan keraguan.

Kalau dia bisa menuruti ocehan bodoh pria itu-- Mengenai ingin makan sup miso buatannya, yang terdengar tak masuk akal. Seperti sebuah candaan ringan yang seharusnya bisa dianggap sebagai angin lalu.

Seharusnya jawabannya sudah jelas kan?

"Kurasa aku menyukainya....."

Menyadari keputusannya sendiri. Berlahan Hijikata merasa wajahnya kembali menghangat, jantungnya berdegup kencang, rasanya ia ingin menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya.

OXO

Setelah selesai menyantap sarapan langka yang di buatkan sang wakil komandan, Yorozuya kembali beraktivitas. Seharian penuh Gintoki dan kedua anak remaja yang mengaku sebagai pegawainya membantu pekerjaan seorang kakek tukang kayu yang sudah menjadi pelanggan tetap mereka.

Siang itu Gintoki duduk sendirian di atas atap rumah yang masih dalam proses renovasi. Ia sedang menunggu Kagura dan Shinpachi yang katanya pergi mengambil paku di gudang penyimpanan.

Angin sepoi-sepoi mengibarkan rambut peraknya, pandangannya menyapu sekeliling memperhatikan sekitar. Dari tempatnya yang tinggi ia bisa melihat jalanan utama yang cukup ramai orang. Perhatiannya sampai kepada salah satu pejalan kaki yang memakai seragam serba hitam yang familiar. Gintoki tersenyum kecil seraya terus memperhatikan kegiatan orang itu.

"Ah dia bilang dia punya kebiasaan menyuntikkan obat penangkal setiap pagi kan?" komennya setelah orang itu masuk kedalam sebuah apotik.

"Bukannya itu terlalu berlebihan?"

Pada era dimana obat penangkal Heat beredar massal di pasaran, harganya sangat terjangkau tak lebih mahal daripada obat sakit kepala biasa. Seorang Omega yang bertanggung jawab pasti ingat kapan dia harus meminum obatnya. Kecelakaan dan kekacauan yang biasa disebabkan oleh Heat Omega sudah berkurang drastis, dan pemahaman bahwa Omega yang harus disalahkan pada kecelakaan semacam itu sudah dianggap masyarakat sebagai ideologi kuno yang berbau rasis.

Seperti kejadian beberapa hari yang lalu, meskipun ada satu atau dua Omega yang mengalami masalah dengan Heatnya, pasti akan ada banyak orang lain yang akan membantunya.

Padahal Hijikata tidak perlu berbuat sampai sejauh itu. Meskipun ada beberapa jenis obat penangkal modern yang bekerja seperti vitamin, namun tak menutup kemungkinan adanya efek samping kan?

"........andai dia berpasangan dengan Omega tak perlu ia meneruskan kebiasaannya yang berbahaya itu," gumam Gintoki sendirian di tengah lamunannya.

"Oi! Dari tadi aku memanggil-manggilmu tahu!"

Suara lantang itu membuat Gintoki melonjak kaget. Ia menoleh ke asal suara tersebut, "Hi-hijikata!?" Dan di buat kebingungan akan sosok pria yang baru saja naik ke atap dengan bantuan tangga bambu.

"Ada apa denganmu? Melamun seperti idiot, kukira tadi kau tidur dengan mata terbuka," oceh Hijikata yang masih berpegangan pada tangga.

"K-kau sendiri ngapain sampai naik kesini?" Gintoki tersenyum masam. Dia senang Hijikata juga memperhatikannya tapi ocehan sang wakil komandan tak pernah gagal untuk membuatnya kesal sekaligus lelah mendengarnya.

"......tidak ada," meski awalnya sedikit ragu Hijikata tetap menjawabnya.

Gintoki menaikan satu alisnya. "Tidak ada?" ia mengulang jawaban itu dengan nada tak yakin, tidak biasanya Hijikata mendatanginya tanpa alasan yang jelas. Sama seperti halnya kemarin malam. Akhir-akhir ini Hijikata bertingkah aneh, demikian pikirnya tak mampu untuk mengutarakannya secara langsung.

"Tidak ada," Hijikata kembali mengulang jawabannya kali ini suaranya terdengar lebih pasti. Setelah itu tanpa mengatakan apapun lagi lelaki itu menuruni tangga lalu meninggalkan Gintoki kebingungan sendiri di atas atap.

OXO

Semenjak itu Hijikata dan Gintoki semakin sering berpapasan. Ada kalanya Gintoki yang mendatangi Hijikata dan ada kalanya sebaliknya. Walau tak seperti Gintoki yang bisa mengutarakan alasannya dengan jelas, setidaknya Gintoki mulai menyadari perubahan Hijikata yang sepertinya ada niat untuk mendekatinya.

Hubungan mereka yang mulanya hanyalah murni hubungan secara fisik berlahan mulai berubah. Kencan pertama mereka--- janjian pertama mereka untuk keluar bareng selain ke hotel cinta adalah berburu buku majalah mingguan SHONEN JUMP.

Gintoki memaksa Hijikata untuk menemaninya membeli buku komik tersebut, mereka berdua meloncat dari satu toko buku ke toko buku lainnya dan hasilnya tetap nihil. Tidak ada satupun toko buku yang masih mempunyai persedian majalah JUMP terkutuk itu.

"Lagipula salahmu kan? Kalau sudah tahu persediaannya terbatas seharusnya kau tepat waktu membelinya," seharian penuh Hijikata terus menyalahkan kebodohan Gintoki namun tetap bersedia menemaninya mencari sampai malam.

Keesokannya Hijikata datang ke rumah Gintoki dengan sebuah majalah JUMP yang sudah terbuka segelnya. Ia memberikan buku itu pada Gintoki sambil menggerutu tentang Yamazaki dan anggota Shinsengumi lainnya yang melanggar peraturan dengan diam-diam membaca komik itu di markas.

"Hahaha...."

Gintoki menerima majalah bekas itu sambil tertawa. Lucu saja menerima barang hasil sitaan, tapi Hijikata tidak meminta Yamazaki dan yang lainnya untuk sungguhan Seppuku saja sudah seharusnya mereka bersyukur.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya keinginan Gintoki terkabulkan. Mereka menjadi sepasang kekasih meski mengetahui identitas mereka sebagai sesama Alpha.

Semuanya berjalan lancar, bagaikan air terjun yang mengalir menuju ke lautan bebas. Terutama setelah orang-orang terdekat mereka mengetahui hubungan romantis mereka. Bahkan beberapa kenalan senior Gintoki---- khususnya yang menyadari kegalauannya tentang kekurangan menjadi pasangan Alpha. Menyarankan mereka untuk adopsi, itupun kalau mereka berdua berani untuk mengambil langkah selanjutnya.

"Mmm.....kau tahu aku tidak bisa meninggalkan Shinsengumi kan?" tanya Hijikata sambil menatap ragu pria di hadapannya. Gintoki terlihat lebih serius daripada biasanya dan itu sedikit membuat takut, karena ia mengerti betapa pentingnya momen ini untuk mereka berdua.

"Wakil komandan iblis Hijikata Toshiro. Nama dan title mu itu sudah seperti nama lengkapmu saja kan? Tentu saja aku memahaminya," jawab Gintoki sambil menunjukan senyuman hangat yang sedikit menenangkan Hijikata.

"Hijikata. Kau tidak perlu meninggalkan Shinsengumi dan aku yang paling tahu betapa kau mencintai tempat itu. Tapi setidaknya biarkan aku makan sarapan buatanmu setiap harinya...."

"Hahaha...."

Hijikata tertawa kecil. Ujung-ujungnya cara bermain Gintoki masih tetap sama, sangat licik. Karena selama mereka berpacaran, setiap kali Gintoki memintanya untuk membuatkannya sarapan Hijikata pasti akan tetap menurutinya.

Bersama dengan Gintoki membuatnya ketularan bodoh. Saat itupun Hijikata menurutinya untuk pindah ke kediaman Sakata sekaligus kantor Yorozuya.

Semenjak tempat itu menjadi rumah pasangan pengantin baru, terpaksa Kagura dan Sadaharu harus pindah ke kediaman Shimura.

Pada awal persiapan upacara pernikahan, mereka berdua dibingungkan oleh adat acara dan sebagainya. Tapi Hijikata bilang, sebagai seorang samurai mereka harus mencintai budaya mereka dan berakhirlah pasangan itu memiih adat tradisional jepang.

Karena ulah Gintoki yang salah memesan baju pernikahan, seminggu sebelum hari-H mereka bertengkar hebat mempermasalahkan siapa yang harus memakai kimono putih yang seharusnya dipakai mempelai perempuan. Seharusnya Gintoki memesan dua Hakama hitam.

Pertengkaran mereka akhirnya di hentikan oleh pertanyaan Sougo yang bagaikan bom nuklir. Dengan polosnya remaja itu bertanya "Siapa Uke diantara kalian?"

Pertanyaan yang bahkan memiliki kekuatan menghentikan waktu untuk sesaat itu. Membongkar posisi Hijikata diantas ranjang. Sebagai wakil komandan yang seharusnya di hormati para bawahannya, saat itu juga Hijikata ingin melakukan Seppuku.

"Hahahaha......"

Tawa nyaring Kondo memecahkan kecanggungan. Pria itu memukul punggung Hijikata beberapa kali yang anehnya bisa menenangkan wakilnya yang saat itu terbenam rasa malunya.

"Kurasa kimono putih itu akan lebih cocok untukmu," ujar pria bertubuh bongsor itu dengan cengiran lebar yang kelewat ceria. Efek tenang sebelumnya sekarang memiliki efek sebaliknya, Hijikata melemparkan tatapan maut ke arah Gintoki yang malah santai bersiul, seolah semua ini bukan urusannya.

"Dari dulu aku ingin anak perempuan."

"Ta-tapi Kondo-san aku bukan anakmu apalagi perempuan...."

Namun berkat bujukan Kondo masalah tersebut bisa terselesaikan. Hijikata setuju untuk mengenakan kimono putih itu di acara pernikahan.

Upacara pernikahan mereka cukup meriah, dan itu semua berkat para kenalan Gintoki yang berasal dari berbagai penjuru Edo. Sementara Hijikata hanya bisa mengundang seluruh anggota Shisengumi yang sebenarnya tak kalah banyak dari tamu Gintoki.

Hijikata mendapatkan cuti sebulan penuh untuk acara bulan madu dari Kondo namun langsung di tolak mentah-mentah olehnya. Shinsengumi bisa kacau tanpa dirinya. Namun untuk menghormati Gintoki---Suami barunya ia hanya bisa menerima cuti 3 hari dan tidak lebih dari itu.

Apalagi ini Sakata Gintoki yang mereka bicarakan. Pria itu pasti tidak punya biaya, waktu, ataupun tenaga untuk berlibur ke tempat yang jauh. Pada akhirnya mereka berdua hanya menghabiskan liburan mereka di rumah, berduaan di dalam kamar, diatas futon.

Mungkin karena terlalu terbawa suasana atau mungkin karena mereka memang sudah kesurupan iblis mesum. Keduanya tidak bisa berhenti bermain di atas ranjang, dari pagi sampai malam mereka hanya memuaskan nafsu satu sama lain dan berhenti di saat yang di perlukan. Setelah mandi, ataupun setelah makan, ujung-ujungnya mereka berdua selalu berakhir di atas ranjang.

OXO

"He--hentikan Yorozuya...kau bisa membunuhku," pinta Hijikata di tengah suaranya yang serak. Wajahnya memerah padam, matanya yang sembab dan memerah menatap pria yang berada di atasnya.

Sinar mata Gintoki masih menyala bagaikan hewan buas, nafasnya terengah, tubuh mereka berdua sama-sama basah dan terasa lengket. Sudah berapa lama mereka melakukannya? Tak ada satupun dari mereka berdua yang menyadarinya, kecuali stamina mereka yang sudah lama terkuras habis.

"Kau masih mau memanggil suamimu dengan panggilan seperti itu?" tanya Gintoki tersenyum lemah lalu kembali menciumi jenjang leher Hijikata yang seketika itu seluruh tubuhnya menggeliat di bawahnya.

"A-apa aku harus memanggilmu--- Ah!!" Hijikata memejamkan matanya, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Air mata kembali membasahi kelopak matanya. Ia menahan nafasnya, berusaha mengintip tubuh bagian bawahnya. "K--kau ngg ja..jangan memasukannya tiba-tiba seperti itu," ujarnya lemah seraya memeluk pasrah Gintoki.

"Gintoki...." sang empunya nama berbisik tepat di sebelah telinganya. "Panggil aku Gintoki," desah pria itu yang semakin membuat Hijikata tak tahan untuk tak mengabulkan keinginan tersebut.

"Gintoki....gintoki....gintoki....." Sepanjang Gintoki bergerak sesuka hatinya, Hijikata terus mendesahkan namanya.

Cara Hijikata memanggil namanya, eratnya pelukan Hijikata. "Hahaha...." Gintoki tak bisa menahan tawanya. Tak ada lagi yang diinginkannya, segala yang diinginkannya telah terkabulkan. Apa arti dunia tanpa lelaki yang saat ini berada dalam dekapannya?

"Ukh!!" Hijikata menahan teriakannya. Sebelum memaki si pelaku yang membuatnya meringis kesakitan, ia meraba leher bagian belakangnya. "Hah kau juga masih memikirkannya?" tanyanya seraya tersenyum miring setelah mendapati jarinya yang berlumuran darah.

Gintoki tak merespon, pria itu hanya diam sambil mengatur nafasnya. Sepasang mata merah miliknya tak berhenti memandang pria di bawahnya, di bandingkan mulutnya yang tertutup rapat, sinar matanya berbicara lebih.

"Hahaha...." Hijikata tertawa renyah setelah itu mendudukan dirinya. "Hmm ngg...." Spontan ia menahan suaranya. Barang milik Gintoki masih berada di dalam tubuhnya, memaksa bergerak seperti ini membuat tubuh bagian bawahnya mati rasa.

"Dibandingkan janji pernikahan. Di dunia ini ada yang jauh lebih pasti," namun Hijikata masih memasang senyumannya. Tepat pada saat Gintoki tersadarkan akan niat Hijikata yang tiba-tiba mendekatinya, pada detik berikutnya giliran Gintoki yang meringis kesakitan sambil memegangi lehernya yang berdarah.

"Pada hari dimana kau menemukan pasangan takdirmu aku akan membunuhnya bersama dengan dirimu," lanjut pria bersurai hitam itu dengan ekpresi wajah yang berbeda jauh dari ucapannya sendiri.

"Hahahaha....." Gintoki tertawa untuk kedua kalinya. Ia mengacak rambutnya sendiri, menunduk untuk menutupi perasaan malunya. Pada saat itu dan seterusnya, Hijikata adalah dunianya. Ia tak pernah bercita-cita untuk menguasai dunia ataupun menyelamatkan dunia. Sang wakil komandan iblis Hijikata Toshiro, cukup satu orang itu saja yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup.

"Aku tak yakin ada Omega di dunia ini yang mampu membuatku seperti ini," katanya lalu kembali menubruk Hijikata sampai terjatuh. "Oh iya. Boleh aku memanggilmu Toshi?" tanyanya sambil menyengir bodoh.

".......Hanya Kondo-san yang boleh memanggilku begitu," tanpa belas kasihan Hijikata menolak permintaan itu, sekaligus memukul pelan puncak kepala suaminya yang malang. "Cari panggilan yang lainnya," tambahnya sebelum Gintoki mulai mengeluh panjang.

"Bahkan di saat seperti inipun kau masih mengutamakan si gorila itu huh?" Gintoki mulai merajuk dan menjatuhkan dirinya di atas Hijikata yang langsung mendorongnya agar berguling ke sebelah. "Namamu cuma satu kan? Bagaimana bisa aku memanggilmu dengan sebutan yang lainnya? Kenapa kau terdengar seperti sistem Google yang meminta kita mencari username lain karena username yang kita inginkan sudah di gunakan orang lain?"

"Grr...." Hijikata menggeram lirih sambil menepuk jidatnya. Ocehan Gintoki tak ada hentinya, sungguh menyebalkan sekali. "Toshirou! Panggil aku Toshirou!" serunya berharap agar Gintoki segera berhenti mengoceh.

"Hmm....tapi aku masih terganggu dengan kenyataan kau mengutamakan Kondo daripada suamimu tahu," Gintoki masih tak menyerah untuk membahasnya. "Ah!" Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, entah kenapa wajahnya memucat.

"Jangan bilang kau masih menyukai gorila itu...." tanyanya sambil melirik ke arah Hijikata yang menatapnya datar.

"Mana mungkin bodoh!" Sekali lagi tangan Hijikata yang ringan mendarat keras ke puncak kepala Gintoki. "Kenapa juga aku harus menikahi seseorang tidak kucintai? Perbaiki kebiasaanmu yang suka nyerocos gak karuan itu," kini gilirannya yang mengomel panjang seraya membuka mengambil posisi untuk berdiri.

"Oi tu-tunggu Hiji--" *BRUUK! Belum sempat Gintoki mencegahnya, Hijikata sudah terjatuh dalam posisi tersungkur. "Baru saja aku mau mengingatkanmu," meski diam-diam ia menikmati pemandangan pantat bulat Hijikata yang mengarah kepadanya, Gintoki suka rela membantu pria malang itu untuk berdiri. Apalagi kondisi Hijikata saat ini dikarenakan ulahnya kan?

Dengan wajah yang memerah padam, Hijikata mau tak mau menerima bantuan Gintoki. Mereka berdua mandi bersama setelah itu Gintoki memasak untuk mereka berdua.

"Akhirnya kita menghabiskan bulan madu kita hanya di rumah saja huh...." komen Hijikata seraya memperhatikan kalender yang terpasang di ruang tengah.

"Begitulah," jawab Gintoki pendek sambil merapikan hidangan di atas meja. "Meski bisa dikatakan sebagai bulan madu tersingkat sepanjang sejarah. Selama aku bisa terus bersama mu, setiap hari adalah bulan madu bagiku."

"Eh!?"

Hijikata menoleh cepat. Dia tahu Gintoki suka mengatakan hal-hal yang memalukan tapi yang tadi sedikit terlalu memalukan!

Namun orang yang mengatakan hal memalukan itu tak menyadari perkataannya sendiri. Gintoki tak menoleh ke arahnya, masih sibuk merapikan meja.

Hijikata merapatkan bibirnya, lebih baik ia tak mengatakan apapun agar Gintoki tak menyadari bagaimana reaksinya terhadap kejujuran pria itu.

To be Continue 

    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top