27 -- Sedikit berubah
Rou dan Auva dibawa masuk ke dalam asrama gaib yang kebetulan masih ada dan belum menghilang. Sebab kali ini, asrama itu memang terlihat lebih lama ketimbang waktu-waktu sebelumnya. Wanita tua itu juga harus menyelesaikan tugas dan masalah yang berhubungan dengannya sebelum benar-benar pergi untuk selamanya.
Ketika sang nenek sedang sibuk menyalurkan energi positif dari tongkatnya ke dalam tubuh 'mantan sepasang kekasih' itu, sebuah tato berbentuk seperti gelang akar pohon tiba-tiba muncul di pergelangan tangan kanan Auva dan Rou.
"Jika tato ini sampai menyebar ke seluruh bagian tubuh mereka, kegelapan itu akan semakin menguasai pikiran mereka. Sepertinya wanita pertama yang beberapa waktu lalu pergi dari pulau ini punya dampak yang cukup besar untuk kedua anak ini."
.
.
.
.
"Waktu untuk kembali memang benar-benar sulit untuk kita prediksi, tapi aku berharap semoga nantinya kita bisa pulang bersama. Setelah berbulan-bulan hidup di tempat ini, aku jadi sadar kalau kehidupan tanpa keluarga adalah hal yang jauh lebih menyedihkan daripada hidup sendiri. Dulu aku sering mengeluhkan keluargaku, banyak sekali yang membuatku stres. Namun, untuk saat ini, aku benar-benar merindukan mereka. Ren, apakah kita benar-benar bisa pulang ke rumah?" ungkap Ara lirih.
Lauren menoleh ke arah sahabatnya, gadis itu tiba-tiba jadi mengingat nasibnya sendiri. "Kau pasti bisa untuk pulang, Ra. Namun, bagaimana dengan kehidupan yang kau jalani di tempat ini?"
Ara menghela napas, lantas menyibak rambut panjangnya. "Lady sudah pulang dan tanggung jawab toko itu otomatis berpindah lagi ke tangan Jey. Lagipula aku hanya bekerja untuk mengisi waktu luang."
Lauren mengerutkan dahi lalu menatap Ara dengan penuh selidik.
"Kau yang mudah menyukai pria ini, apa tak punya seseorang yang dapat membuatmu jatuh cinta? Kudengar Justin sering datang ke tokomu dan ngomong-ngomong dia juga cukup tampan."
Ara lantas menggelengkan kepala dengan wajah yang datar. "Justin terlalu menyebalkan menurutku. Pria itu memang tampan, tapi dia terlalu sering untuk membuatku naik darah. Auva juga tampan, tapi dia terlalu galak menurutku. Jey yang manis dan perhatian ke semua orang, justru sudah menikah dengan bosku sendiri. Ren, bosmu yang pucat itu juga tampan walau memiliki bekas sayatan di wajahnya, tapi aku juga tak tertarik dengannya. Ah, sudahlah! Lagipula hal ini terasa lebih baik daripada aku harus menyukai seseorang di tempat ini, kemudian berpisah darinya karena dunia kami yang berbeda."
Lauren menatap Ara dengan sedih, gadis itu lalu menundukkan kepala sampai meneteskan air mata. Tentu saja, hal ini membuat Ara terkejut.
"Ren, k-kau kenapa?! A-apa ucapanku telah membuatmu menjadi begini? " tanya Ara panik.
Lauren menggelengkan kepala, "Kau begitu beruntung karena tak mencintai seseorang di pulau ini. Ra, kau benar-benar beruntung."
Ketika seseorang jatuh cinta, mereka akan memiliki kemungkinan besar untuk terluka. Cinta yang terlihat indah terkadang dapat berubah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan tepat ketika seseorang gagal mempertahankan cinta itu.
Jika saja seseorang bisa memilih, keputusan apa yang sekiranya akan mereka pilih? Hal macam apa yang akan mereka pilih? Datang di hadapan cinta atau pergi 'bersembunyi' darinya?
"Ren, apa kau ingat mengenai rumor tentang Nobes Montem?" tanya Ara tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Begini, Ren, menurut orang-orang dari Elm Island, tak ada seorang pun yang dapat menggapai bukit itu. Namun anehnya, beberapa waktu lalu aku melihat Duke William dan Knight Rei ke tempat itu. Bukankah semuanya terlalu aneh untuk dinalar?"
Lauren menatap Ara yang terlihat begitu antusias ketika menceritakan tentang Duke William dan Knight Rei dengan perasaan yang tak nyaman.
"Ra, apakah menurutmu tak janggal jika mereka bisa naik ke sana? Kudengar orang jahat takkan mampu naik ke sana. Duke memang terlihat ramah, tapi dia juga adalah salah seseorang penghuni kastil yang berbahaya. Semua orang di dalam kastil ini tak bisa dipercaya. Siapapun mereka, semuanya punya hal yang dapat membuat mereka terlihat mencurigakan."
Ara lantas meletakkan telunjuk kanannya di kening sambil mencoba mengingat-ingat sesuatu.
"Ada satu hal yang aneh di bukit itu. Ren, apa sebelum kita terdampar di tempat ini, kau pernah melihat sebuah batu lancip di tebing bukit? Sebelumnya kita tak pernah mendapati satupun batu yang berbentuk seperti sebuah bilah pisau di tempat itu," tanya Ara.
Lauren mengingat-ingat kejadian di waktu sahabatnya jatuh ke jurang. Gadis itu sempat melihat percikan cahaya dari tempat ia menghilang. Dia juga bingung mengapa hal itu terjadi dengan begitu tiba-tiba.
"Apakah sebenarnya semua hal ini memang sudah direncanakan?! Jangan-jangan selama ini kita telah dijebak oleh seseorang!"
.
.
.
.
"Pelajaran hidup tak pernah William dapatkan dan itu membuatnya sulit untuk mengendalikan diri. Kau lihat sekarang? Anakmu bahkan berusaha untuk mengacaukan pernikahan Thomas dan Lauren."
Hanson menatap Rylan yang sedang berkacak pinggang menggunakan ekspresi wajah yang datar.
"Bunga abadi yang kemarin aku berikan pada anak itu adalah sebuah simbol jika pernikahan mereka akan terus bertahan, walau banyak orang yang mencoba untuk merobohkan cinta mereka. Kau pikir aku akan diam saja saat melihat kelakuan putraku?!"
Rylan mengerutkan dahi karena mendengar ucapan Hanson. Ekspresi dan ucapannya pria itu terlihat sangat berbeda.
"Kau ini sedang marah atau bagaimana? Kau tahu? Ucapan dan ekspresimu terlihat lain. Kau terlihat lain dari biasanya. Kenapa?"
Hanson menghela napas dan menatap Rylan dengan bingung. "Hal itu yang sebenarnya ingin aku tanyakan padamu. Kenapa kau mengomel padaku karena kekacauan yang William buat? Bukankah waktu itu aku sudah mengatakan padamu kalau kali ini aku sudah pasrah dengan hal yang terjadi di pulau ini? Aku sudah sangat bingung mengapa kekacauan ini terlihat semakin besar dan aku tak tahu bagaimana caranya untuk menyelesaikan semua ini."
Rylan mendesis kesal, lantas merebahkan tubuh di sofa. Pria itu tahu jika Hanson sudah 'menyerah', tetapi entah mengapa ia merasa seperti ingin meluapkan emosi. Sama sekali bukan gayanya.
"Apa mungkin aku terlalu sering melihat masalah sampai batinku ikut bermasalah juga?"
Hanson menoleh ke arah Rylan, lantas menggedikkan bahu. Pria itu diam-diam memikirkan perkataan nenek penjaga asrama gaib ketika pernikahannya dulu.
'Tidak semua keinginan Artic harus kau wujudkan. Ada beberapa hal yang sebaiknya kau biarkan saja. Karena kadangkala kehidupan damai pasutri bisa hancur dengan mudah hanya karena mempermasalahkan sesuatu yang sepele.'
"Apa aku harus menemui wanita tua itu lagi? Sepertinya selama ini dia menyembunyikan sesuatu yang tak kuketahui."
.
.
.
.
Duke William menatap Marquis Leo dan juga Count Levie dengan urat yang terlihat di lehernya.
"Kalian bilang pernikahan ini akan gagal dilakukan, tapi kenapa tali dari penyangga lampu kristal itu terlambat untuk jatuh?! Kalian tahu? Tujuanku adalah menggagalkan Thomas untuk naik tahta. Kau lihat sekarang? Bukan Thomas yang bermasalah, tapi justru ayah angkatnya yang terkena masalah!"
"Maafkan kami, Lord. Kami benar-benar tak tahu jika hal ini akan terjadi," ungkap Count Levie.
Duke William menatap ke arah Marquis Leo sebentar, kemudian kembali mengalihkan pandangan pada Count Levie.
"Penobatan Thomas dan ketujuh calon knight itu mungkin akan segera dilaksanakan. Edward pasti akan mulai penyelidikan setelah dia pulih. Sebelum hal itu terjadi, kalian harus berhasil untuk menghilangkan jejak yang masih tertinggal. Kalian paham?!"
"Siap!/siap!"
Duke William lantas pergi meninggalkan ruang pertemuan setelah memerintahkan perintah baru untuk kedua 'anak buahnya'.
Ketiga pria itu tak tahu jika ada seseorang yang telah mendengarkan semua pembicaraan mereka.
"Duke, kau benar-benar luar biasa. Setelah menghabisi keempat rekanku, kau kembali merencanakan hal busuk yang lain," ucap Rei dalam hati.
Rei diminta Nanny Eve untuk mengambil buku sejarah yang biasanya akan dibacakan oleh wanita itu di dalam perpustakaan karena kebetulan King Edward meminta untuk berdiskusi di dalam kamarnya. Namun, saat ia ingin keluar dari perpustakaan, ketiga pria itu tiba-tiba masuk dan mengunci pintu perpustakaan.
Singkat cerita, semua hal penting yang baru saja didiskusikan oleh ketiga pria itu, lantas terdengar di telinga Rei.
Rahasia akan tetap menjadi sebuah rahasia sampai 'orang lain' mengetahuinya.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top