23 -- Lepas

King Edward dan pasukannya kini sudah berada di depan villa ketika waktu sudah semakin larut. Matahari yang terbenam membuat efek ilusi labirin berkurang drastis dan itu semakin memudahkan langkah mereka.

Justin dan Rou yang baru datang ke villa untuk memberikan Rylan dan Lauren makan malam, lantas keluar untuk menghampiri King Edward.

"Selamat datang, King Edward. Selamat datang Prince Thomas. Terima kasih karena sudah datang kemari," sapa Rou basa-basi.

King Edward tersenyum miring ketika melihat kekasih dari putra angkatnya. Pria itu lantas menoleh ke belakang dan mendapati Prince Thomas yang sedang menatap kekasihnya dengan wajah yang sendu.

"Di mana Lauren sekarang? Kami bukan untuk berkunjung, tapi kami datang karena ingin menjemput temanmu," tanya King Edward.

Pertanyaan sang raja yang terdengar ketus membuat Justin mengepalkan tangan kanannya. "Hanya karena Rou adalah kekasih anak angkatnya, apakah sopan jika dia memperlakukan orang sampai seperti itu?" tanya Justin dalam hati.

Justin menahan King Edward yang mencoba masuk ke dalam villa. Pria itu mendekatkan diri ke arah sang raja, lalu berbicara dengan nada yang lembut, tetapi terdengar seperti sebuah sindiran.

"Setinggi apapun jabatan seseorang, mereka tak pantas untuk memandang sebelah mata pada orang-orang yang mungkin berada di bawahnya. Nasib kami memang tak semujur kalian yang datang ke pulau ini dan langsung mendapatkan posisi ini. Namun, aku hanya ingin mengatakan pada kalian kalau 'Roda kehidupan terus berputar'."

Setelah ucapan panjang Justin, King Edward menatap tajam pria itu. "Aku, pria yang mujur ini ingin membawa gadis mujur yang masuk ke dalam tempat yang salah ini. Bisakah kau serahkan Lauren kepada kami?"

Melihat Justin dan King Edward yang terus berdebat, Prince Thomas diam-diam membawa Rou menyingkir dari hadapan kedua pria itu.

Para prajurit khusus ingin menghentikan perilaku Prince Thomas, tetapi terpaksa diam saat melihat pelototan dari sang pangeran.

"Jika Lauren mau ikut bersamamu, kau bisa membawanya. Namun, apa kau mau melepaskan sahabatku yang telah kau tahan di dalam penjara kastilmu?"

King Edward tersenyum miring, lantas menjabat tangan Justin. "Aku terima permintaanmu, Kid."

.
.
.
.

Prince Thomas membawa Rou ke taman belakang villa. Pria itu lantas memeluk kekasihnya.

"Aku benar-benar merindukanmu, aku juga ingin meminta maaf karena sudah membuatmu sedih. Aku benar-benar meninta maaf, Rou," ungkap Prince Thomas.

Rou tak membalas pelukan sang pangeran, tapi dia juga tak menghindar dari pelukan itu. Ia terdiam dan tak tahu bagaimana cara untuk mengekspresikan apa yang sedang dia rasakan.

"Bisakah kau melepaskanku, Prince?" tanya Rou tiba-tiba. Wanita itu akhirnya mengeluarkan reaksi juga atas apa yang telah pangeran lakukan.

Napas Prince Thomas tercekat ketika mendengar teguran dari Rou. Pria itu masih tak melepaskan pelukan hingga membuat kekasihnya semakin tak nyaman.

Rou mendorong tubuh kekar sang pangeran dan tersenyum sendu ketika melihat Prince Thomas yang seperti ingin protes.

"Hubungan kita sudah berakhir, Prince. Sebentar lagi kau mungkin akan segera menikahi temanku. Jika kau menyeretku kemari hanya untuk mengatakan hal yang tak berguna, kau benar-benar naif. Lekaslah untuk menikahi Lauren dan jaga dia dengan baik-baik. Jangan biarkan nasib buruk menimpa Elm Island hanya karena keegoisanmu dan cobalah untuk menerima takdir yang sudah tertulis. Dari awal kita terlempar ke pulau ini, kita sudah tidak sama karena memang nasib dan jalan kita berbeda."

Rou menghela napas panjang, lantas langsung beranjak pergi tanpa mendengar terlebih dahulu apa yang sebenarnya ingin Prince Thomas katakan. Wanita itu lantas masuk ke dalam villa melalui pintu belakang.

Prince Thomas berkacak pinggang sambil mengacak-acak rambutnya. "Arrggh! Shit! Kenapa semuanya jadi begini? Bukan hal ini yang aku inginkan! Arrgghhh!"

Dari dalam villa, Rou mendengarkan teriakan Prince Thomas dengan mata yang sudah memanas karena menahan tangis yang mencoba untuk keluar dari mulutnya.

"Maafkan aku, Thomas ...."

.
.
.
.

"Aku harus pergi agar David bisa lepas dari sana! Kenapa kau menghalangi niatku?! Bukan beberapa waktu lalu kau memintaku untuk jangan bergantung padamu? Kenapa sekarang kau menghalangiku?!" bentak Lauren sambil mencoba untuk menghempaskan tangan Rylan.

"Apa kau tidak bisa untuk tidak mengorbankan dirimu demi orang lain? Lauren, cobalah untuk egois sedikit saja, cobalah untuk berbahagia. Kau tak harus mengorbankan diri untuk orang lain."

Lauren menatap Rylan dengan pandangan yang penuh dengan kekecewaan. "Takdir yang sudah terlukis akan jauh lebih baik ketika kau laksanakan. Rylan, kau tahu? Aku sudah berusaha untuk menghindar dari takdir, tapi pada akhirnya aku harus kembali ke tempat yang sama. Sekeras apapun kau mencoba mengubah takdir, pada akhirnya takdir itu tetap akan berjalan seperti seharusnya."

Baru beberapa menit Lauren terdiam, tiba-tiba pintu berderit. Sosok Justin muncul dari balik pintu dan pria itu kemudian masuk ke dalam villa dan langsung menutup pintu sebelum King Edward mencoba untuk mengecek keberadaan Lauren. Ia melepas kunci di lubang kunci, lalu memasukkan kembali benda itu di saku celana dan memasukkan kedua tangannya di saku jaket sambil menatap Lauren dan Rylan secara bergantian.

"Kalian berbicara dengan sangat keras seolah-olah villa ini kedap suara. Jadi, keputusan macam apa yang sudah kau ambil, Lauren?"

Justin menatap Lauren dengan raut wajah yang terlihat serius dan hal itu membuat sang gadis tersenyum lembut.

"Aku dan David memang adalah sepasang kekasih, tapi dia juga adalah temanmu dan pegawai Rylan. Aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan kalian."

Lauren menadahkan tangan kanannya di hadapan Justin. "Bisa kau berikan kunci yang kau bawa?"

Justin menaikkan alis karena kelakuan Lauren yang tiba-tiba. Suasana berubah terlalu cepat dan membuat pria itu sedikit kaget.  "Kunci?" Lauren menganggukkan kepala sambil tersenyum palsu.

Justin menyerahkan kunci kepada Lauren dengan wajah yang masih terlihat sedikit cengo. Sementara Rylan hanya bisa terdiam sambil mengepalkan kedua tangannya ketika melihat kelakuan sang gadis.

Ketika pintu terbuka, King Edward sudah berada tepat di depan pintu. Prince Thomas juga sudah kembali ke rombongan kerajaan untuk menunggu Lauren.

Lauren sedikit membungkukkan badan untuk memberi penghormatan. Setelah selesai melakukan hal tersebut, gadis itu lalu tersenyum ramah.

"Apa kita bisa pergi dari tempat ini sekarang? Seperti keinginan ramalan dari buku dan juga nenek penjaga asrama, bukankah sebentar lagi putramu akan naik tahta?"

King Edward menatap lamat Lauren, "Ya, kau benar. Kita bisa pergi sekarang."

.
.
.
.

"Kau terlihat tidak baik-baik saja setelah anak itu pergi, boss. Apa yang sebenarnya telah terjadi pada kalian berdua?" tanya Justin heran.

Rylan terlihat kacau saat pria itu menatap kepergian Lauren bersama dengan rombongan King Edward.

"Beberapa minggu yang lalu, Hanson pernah mengatakan padaku jika kita semua yang berasal dari luar Elm Island sudah menderita dengan masing-masing beban yang kita tanggung. Dia berharap agar kita bisa segera keluar dari masalah-masalah. Kau tahu? Hanson yang telah membawa kita semua ke pulau ini, kini menyerahkan beban yang dulu dia pegang sendiri."

Justin mengerutkan dahi, "Beban apa maksudmu?"

"Dia mencoba mencari orang-orang dari luar Elm Island setelah kehilangan istrinya dan juga mulai mempelajari ilmu sihir. Menurut peraturan dari pulau ini, seorang pemimpin yang ketahuan menyalahgunakan apa yang sudah dia pelajari, harus turun tahta dan menyerahkan tahta kepada orang lain. Duke William yang sulit untuk mengendalikan diri, tak dapat naik tahta dan fakta itulah yang membuat Hanson 'mengambil' satu persatu manusia yang gagal naik ke puncak Nobes Montem."

Justin mendengarkan ucapan Rylan dengan masih mengerutkan dahi. "Jadi, apa hubungannya dengan kau dan Lauren?"

Rylan mengepalkan tangan, lalu menatap Justin dengan sorot mata yang tajam. "Aku menjadi emosional setelah mendengarkan semua penjelasan Hanson dan itu membuatku membicarakan sesuatu yang cukup melukai perasaannya. Ketika dia mendengarkan pembicaraanmu dan Edward, lukanya bertambah. Sebagai seorang boss, aku merasa gagal untuk membuat karyawanku tetap bertahan."

Napas Justin langsung tercekat ketika mendengarkan ucapan Rylan. "P-pembicaraanku dan Edward?"

Rylan menganggukkan kepala, "Ya, taruhan yang terdengar sepele itu membuat Lauren merasa sangat bersalah. Kau tahu? Lauren sudah menganggapmu sebagai seorang teman dan juga kakak, mengingat dia yang paling muda di antara kalian. Namun, karena taruhan itu dan ucapan emosionalku, mungkin kita akan kehilangan Lauren."

Rylan membuka pintu villa, lantas membantingnya dengan kasar dan meninggalkan Justin sendirian di luar villa. Ya, Rylan memang terlihat begitu emosional.

"Apa yang sudah kulakukan kepada gadis itu? A-aku yang telah membuat Lauren benar-benar pergi?" ucap Justin bermonolog. Pria itu terlihat begitu shock ketika tahu penyebab dari kepergian Lauren.

*****

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top