21 -- Pilihan

Matahari sudah terbenam dan itu artinya efek dari labirin ilusi mulai berkurang. Lauren dan David yang sejak tadi kesulitan untuk mencari jalan keluar akhirnya berhasil menemukan jalan menuju Villa.

"Aku tak menyangka jika labirin itu akan sangat mengerikan ketika kita melewatinya di waktu matahari masih bersinar. Labirin buatan Hanson benar-benar efektif untuk menjebak orang."

David mengangguk, lantas berniat untuk membuka kenop pintu. Namun, ketika tangan pria itu baru saja menyentuh kenop pintu, sebilah pedang tiba-tiba tertodong ke arahnya.

Lauren dan David lantas menoleh ke arah penodong pedang. "K-kalian?!"

Auva dan Jey tersenyum lebar ketika melihat kedua manusia yang sudah mereka tunggu-tunggu.

"Saat menunggu kalian berdua, beberapa kali Hanson mengusir kami berdua dengan sihir yang dia buat. Kau lihat kami berdua?" keluh Jey.

Auva dan Jey terlihat awut-awutan. Kedua wajah pria itu terlihat dipenuhi oleh lumpur yang sudah mulai mengering. Luka goresan terlihat di tangan dan wajah mereka. Pakaian yang mereka gunakan pun terlihat robek di mana-mana. Dedaunan dan rumput kering juga turut andil untuk merusak 'ketampanan' keduanya. Satu ungkapan yang cocok untuk mereka, mereka terlihat seperti gelandangan.

"Kalian berdua terlihat seperti gelandangan," ujar David dengan wajah yang datar.

Jey menganga tak percaya, ia menghela napas, kemudian bergerak cepat untuk mengunci tubuh David.

"Kami berdua berubah menjadi seperti seorang gelandangan karena kalian! Auva, cepat ringkus gadis ini!" omel Jey tak terima.

Auva mengangguk paham, lalu buru-buru mengikat tangan Lauren. Gadis itu terlihat baru saja selesai menangis dan mereka tahu jika labirin yang baru dilewati sepasang kekasih itu adalah jebakan. Hanson ingin menggunakan labirin itu untuk menjebak musuh, tapi pada akhirnya sepasang kekasih yang coba dia amankan justru harus terjebak perangkapnya.

"A-apa?! Hey, lepaskan kami berdua! Ini wilayah boss kami kalau kalian perlu tahu! Kalian tak berhak menyandera kami di rumah kami sendiri!" pekik David.

Jey menggetok kepala David menggunakan gagang pedang. "Hanson bahkan sudah berkali-kali membuat kami kesusahan. Kau tahu? Dari lima knight yang dikirim untuk mencari kalian berdua, kami berdualah yang punya nasib paling buruk! Sudah! Ayo ikut saja kami!"

Lauren yang melihat peluang untuk kabur, lantas berusaha untuk kabur. Gadis itu menggigit tangan Auva dan membuat pria itu mengaduh kesakitan.

"Heyy, kau!" teriak Auva sambil mengibas-ibaskan tangan.

Lauren buru-buru masuk ke dalam villa dan mengunci pintunya. Gadis itu berlari mengitari seluruh penjuru villa untuk mencari Rylan dan Hanson.

Sementara itu ....

"Wow, lihatlah itu David, sekarang kekasihmu melarikan diri dan meninggalkan kau di tangan kami berdua," ungkap Jey sambil mengikat tangan dan tubuh David dengan menggunakan simpul mati.

"Va, kau masih ingat jalan pintas untuk keluar dari tempat ini?" tanya Jey.

Auva mengangguk paham karena pria itu memang sudah hapal semua jalur yang dilewati Rylan. Ia sudah terbiasa untuk menguntit Rylan dan sampai hapal dengan semua jalanan yang dilewati oleh 'si pria pucat'--julukan dari Auva dan Jey untuk Rylan.

Auva lantas berjalan cepat menuju jalanan kecil yang ada di belakang villa sebelah kiri. Jey mengikuti langkah kawannya sambil menarik David yang terlihat menatapnya tajam.

Ketika kedua pria itu baru saja berlalu dari villa, Mark dan kedua rekannya sampai juga di depan villa.

"Akhirnya kita keluar juga dari labirin sesat itu. Sekarang, kita akan pergi ke mana?" tanya Mark sambil menoleh ke arah kedua kawannya yang masih terlihat begitu pucat.

"K-kita bisa cari mereka berdua di sekitar villa yang ada di hadapan kita. Mungkin saja sepasang kekasih itu bersembunyi di sana," jawab Sean setelah berhasil menetralkan suasana hati.

Mark mengangguk paham dan mengalihkan pandangan ke arah Rei. "Bagaimana menurutmu, Rei?"

Rei menyeka keringat dingin yang membasahi sebagian wajahnya. "A-aku i-ikut kalian saja," jawabnya lirih.

Mark dan Sean lantas saling berpandangan, mereka bingung dengan keadaan Rei sekarang.

"Sepertinya kau melihat sesuatu yang sangat menakutkan ketika terjebak di dalam labirin, Rei. Kau duduk saja dulu." Sean mencari-cari tempat yang aman agar bisa Rei gunakan untuk bersembunyi. "Nah! Kau bisa bersembunyi di belakang pohon elm itu."

Rei menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Sean. Sebatang pohon elm berdaun merah yang terlihat cukup besar.

"K-kalian berdua yakin? Apa kalian akan baik-baik saja walau aku tak ikut kalian berdua?" tanya Rei ragu.

"Kami berdua akan baik-baik saja, friend. Kalau kau melihat kami yang terlihat membutuhkan bantuan, kau bisa ikut datang membantu kami. Itupun kalau kau sudah baik-baik saja. Kami memang tak tahu apa yang kau lihat di sana, tapi kami yakin kau akan cepat pulih. Oke, Rei, kami berdua pergi dulu."

Ucapan Mark dengan senyum lebarnya membuat Rei ikut tersenyum. Ia menatap kepergian kedua rekannya dengan ekspresi yang terlihat sedikit merona.

"Sudah lama sekali aku tak mendapatkan perhatian dari orang-orang yang seumuran dengan kakakku. Venus, setelah kau mati di tangan Rylan, aku harus kehilangan sosok kakak. Namun, setelah melihat kedua rekanku, aku kira aku akan baik-baik saja."

Ya, tak banyak orang yang tahu jika Venus adalah kakak kandung dari Rei.

.
.
.
.

Lauren menemukan Hanson yang tengah mengobati luka-luka Rylan di ruang tengah.

"Di mana David sekarang? Kenapa kau datang kemari sendirian?" tanya Hanson heran.

Lauren tak menjawab pertanyaan Hanson, tapi justru langsung menatap keadaan Rylan dengan panik.

"Bossku k-kenapa dengan dia?" tanya Lauren panik.

"Aku baru saja bertarung dengan kedua pria suruhan Edward. Mereka sangat menggangguku dan itu akkkhh ... Ey, Hanson, pelan-pelan! Jangan menekan memar di pipiku ssshh ... Ini sakit!"

Hanson meletakkan kain yang dia gunakan untuk mengompres luka Rylan ke dalam baskom.

"Sudah kubilang untuk mengabaikan dua bocah itu, tapi kau keras kepala dan tetap ingin menghajar mereka. Eyy, Rylan, kau ini 'kan tidak bisa menghadapi musuh dari jarak yang dekat. Lagipula sihir yang kumiliki juga saat ini sedang sulit untuk kugunakan!"

Rylan mengambil lagi kompresan dari dalam baskom, ia menatap ke arah Hanson dengan kesal. "Kau 'kan sudah tua walau wajahmu tak berubah menjadi tua. Karena itu kekuatanmu pasti melemah!" ucapnya entang.

Hanson melotot dan reflek menampol kepala Rylan. "Aku memang sudah tua dan mulai kehilangan kekuatan. Jika kau sudah tahu, kenapa kau masih saja suka untuk menyusahkanku dengan tindakanmu yang gegabah?!"

Hanson beranjak dari dari sofa dan berniat untuk pergi keluar dari villa.

Lauren melotot ke arah Rylan dan membuat si pria menaikkan kedua alisnya. "Kenapa? Kau ingin protes kepada bosmu?"

Lauren mengubah ekspresi dalam sekejap, lantas duduk di samping pria itu sambil mendengkus karena kesal.

"Bagaimana dengan nasib kekasihku setelah ini? Apa dia akan baik-baik saja?"

Rylan menatap sekilas Lauren yang terlihat sedih. Pria itu lantas menggedikkan bahu. "Aku tak pernah ditawan oleh anak buah Edward dan aku tidak pernah tumbang dari anak buahnya, walau mereka berhasil menghajarku sampai begini. Namun, kusarankan padamu agar segera memilih keputusan yang tepat. Hanson sudah banyak membantumu hingga harus kehilangan banyak kekuatan. Kau juga tidak mungkin untuk terus mengandalkan bantuanku. Aku masih punya banyak tanggung jawab."

Lauren menghela napas, lantas merebahkan diri di sofa ketika matanya mulai memanas.

"Kenapa semuanya jadi semakin sulit? Aku bahkan hanyalah seorang gadis biasa yang ingin menjalin hubungan dengan orang yang kucinta. Aku hanya ingin bahagia!"

Rylan menatap serius Lauren yang terlihat begitu frustrasi. "Kehidupan di tempat ini adalah sebuah harta yang mahal apabila kau sudah masuk ke dalam kerajaan. Ketika kau sudah terlihat oleh mereka, hidupmu takkan lagi sama. Kau harus memilih, Lauren."

Rylan lantas memilih untuk beranjak pergi dan meninggalkan Lauren agar gadis itu dapat merenungkan semua ucapan darinya.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top