09 -- Bimbang
Ara menatap Jia yang sedang sibuk melayani seorang pembeli sambil merengut karena bunga mawar yang dia jual dicerca habis-habisan. Sudah tak berniat membeli, wanita itu justru mengomentari penampilan bunga yang ada di tokonya. Benar-benar menjengkelkan ... .
"Kalau kau tak mau membeli bunga ini, kenapa kau juga harus mengomentari penampilannya?" Jia berkacak pinggang sambil melotot pada calon pembeli yang tengah mengolok-olok bunga yang dia pajang.
"Nona, aku 'kan sudah bilang padamu tadi kalau aku hanya mengatakan kebenaran agar lain kali kau jual bunga yang segar. Kenapa kau melotot padaku seperti itu?" Wanita tua itu terlihat mengelus-elus anjing kesayangannya sambil bersitegang dengan Jia.
"Bunga itu memang berwarna pink pucat bukan karena bunga itu sudah tidak segar, Nyonya. Aku bahkan baru memetiknya beberapa jam yang lalu. Kalau kau tak punya uang, kenapa datang ke sini?" keluh Jia.
Wajah wanita tua itu lalu memerah padam saat mendengar ucapan Jia yang kurang ajar. "Nona, kau mungkin adalah seorang penjual bunga, tapi apa kau tak bisa untuk sopan sedikit dengan orang tua?" ocehnya protes.
"Kau-- ... ."
.
.
.
.
Dari kejauhan, Ara melihat kejadian itu dengan kening yang berkerut. "Bukankah itu adalah anjing yang sering Auva lepas tiap pagi? Jadi, wanita tua itu yang selama ini adalah majikan Si Lucky?"
Ara yang sudah sedikit jengah dengan pertengkaran sepele antara penjual dan calon pembeli itu, lantas memilih untuk menghampiri mereka.
"Permisi ... ," Ara menyapa kedua wanita itu dengan hati-hati.
Jia dan wanita tua majikan Lucky lantas menoleh ke arah Ara secara bersamaan.
"Saya ingin berbicara sebentar dengan Nona Jia. Saya datang ke sini atas rekomendasi dari Tuan Jey. Apa boleh?" ucap Ara hati-hati.
Wanita tua itu lantas berdeham canggung, lalu pergi begitu saja ketika fokus Jia sudah beralih ke Ara.
"Apa kau adalah Ara, si gadis asing yang juga datang dari luar Elm Island sama sepertiku? Jey kemarin baru mengobrol denganku untuk membahas tentangmu," ucap Jia memastikan.
Ara mengangguk dengan antusias sambil tersenyum lebar. "Iya, saya adalah gadis itu, Nona. Hari ini saya datang pada anda untuk meminta bantuan agar setidaknya saya memiliki tempat tinggal di pulau ini."
Jia mengangguk santai, lalu menatap penampilan Ara dari bawah sampai atas. "Kau boleh tinggal di tempatku kalau kau punya uang sewa. Kau punya uang?" ucap Jia sambil bersedekap.
Mata Ara langsung berbinar dan secara reflek, gadis itu langsung menyalami Jia dengan senang.
Jia melihat kelakuan Ara dengan geli, senyum wanita itu lantas muncul. "Panggil aku Lady mulai sekarang dan mulai hari ini juga kau bisa ikut denganku."
Ara tersenyum senang sambil menganggukkan kepala tanda setuju.
"Kehidupan di tempat ini bahkan terasa lebih buruk daripada kehidupan di tempat asalku dulu. Apa gadis ini mampu untuk bertahan?"
.
.
.
.
Pelayan pribadi Prince Thomas datang ke balkon kastil sambil membawa buah-buahan segar, ia berencana untuk memberikan buah itu kepada sang pangeran yang kini tengah melamun sambil menatap langit.
"Prince, makanlah walau hanya sedikit saja. Apa anda mau membuat King Edward terus saja cemas pada keadaan anda?"
Prince Thomas menoleh ke arah pelayannya, lalu tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. "Aku malas makan, Nanny. Kalau tahu kehidupanku akan seperti ini, mungkin dulu aku takkan menerima ajakan raja itu untuk menjadi orang penting yang tinggal di kerajaan ini. Nanny, kemarin aku bertemu dengan Justin di Sun Inn, tempat kekasihku bekerja. Sudah lama aku tak melihat dia dan persis dengan yang dulu ia katakan padaku, kehidupan di luar sana bahkan jauh lebih indah," keluh Prince Thomas.
Pelayan pribadi Prince Thomas mendengarkan keluhan pangeran itu dengan bingung karena tak tahu bagaimana caranya dia harus menanggapi keluhan pangeran.
"Nanny, setelah aku jadi raja, apa aku bisa mendapatkan cintaku kembali?" tanya Prince Thomas penuh harap.
Pelayan itu tersenyum tipis sambil meletakkan buah-buahan yang baru saja dia bawa. "Prince, sejak pertama kali kau datang ke sini, aku sudah bisa melihat kalau suatu hari nanti kau akan berhasil memimpin kerajaan ini dengan baik. Hari sudah malam dan kau harus makan walau sedikit. Ya sudah, Nanny tinggal ke belakang, ya?"
Prince Thomas mengangguk lemah dan menatap kepergian wanita itu dengan sedih. "Aku bukanlah seorang pangeran baik seperti yang kau kira, Nanny. Aku bahkan hanyalah seorang pria asing yang kebetulan bertemu dengan King Edward dan berakhir menjadi putra angkatnya. Mencintai seseorang adalah impian yang selama ini sulit untuk kugapai dan saat aku sudah dapat menggapainya, cinta itu justru harus aku lenyapkan. Apa pantas kalau aku harus memimpin kerajaan ini ketika aku lebih mementingkan cintaku?"
.
.
.
.
Waktu berlalu dengan begitu cepat hingga tak terasa kalau waktu sayembara di kerajaan sebentar lagi akan tiba.
.
.
.
.
"Lady, aku sudah mengumpulkan uang selama seharian ini. Kenapa kau berikan uang itu pada dua pria pemalak itu? Apa kau mau rugi? Aisshh ... Ini yang terakhir kalinya, kalau nanti aku melihat uang itu ada di tangan mereka lagi, aku akan meninggalkanmu sendirian. Ya, jika kau tak mampu untuk menghindari hal itu, bukankah setidaknya kau bisa memilih pada siapa uang itu akan diberikan. Kepada David atau Justin, pilihlah dengan seksama!" Ara mengomel begitu tahu uang hasil penjualan buang hilang semua dari kotak uang.
Jia menundukkan kepala saat melihat Ara yang baru pertama kali itu marah besar padanya. Wanita itu memang lebih tua dari Ara, tetapi sepertinya kali ini ulah yang dia buat sudah benar-benar membuat kesabaran Ara habis.
"Ara, jangan pergi dariku, maafkan aku kalau itu membuatmu kesal, tapi aku masih mencintai David. Aku juga tak berani untuk menghentikan ulah Justin. Maaf, maafkan aku ... ."
Ara menghela napas, lalu memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Gadis itu diam-diam merencanakan sesuatu agar kejadian buruk yang selama ini menimpa Jia, akan segera berakhir.
"Aku harus menemui boss Justin dan David langsung agar semuanya segera berubah. Kalau kedua pria itu terus-terusan datang dan memalak uang Jia, kami bisa saja bangkrut."
.
.
.
.
Ara dengan nekat datang ke Sun Inn untuk menemui Rylan yang Jia bilang sedang menginap di hotel miliknya.
Sementara dari kejauhan ... .
"Ren, lepaskan selang itu, kau mau mati?! Heyy ... ."
Pekikan David terdengar memenuhi seluruh bagian taman hotel hingga membuat Justin dan Rou yang sedang sibuk memupuk Pohon Slippery Elm terkekeh pelan.
"Dari awal mereka bertemu, pertengkaran sudah terjadi dan setelah lama bersama, mereka masih saja sama seperti kucing dan tikus. Aku heran mengapa boss kita tak pernah selakipun menegur mereka, walau keduanya sama-sama sudah membuat keributan," komentar Justin panjang lebar.
Rou tersenyum tipis, lalu menatap Justin dengan lembut. "Boss Rylan sepertinya tahu kalau keduanya punya kemungkinan besar untuk jatuh cinta. Tak heran jika kita tak pernah melihat keduanya kena omelan. Sudahlah, lagipula bel di dekat pintu belakang hotel sudah berbunyi dan itu artinya kita berdua harus segera mulai bekerja. Ayo kita masuk ... ," Rou berdiri setelah 30 menit lebih berjongkok di taman untuk memupuk satu persatu pohon di hotel bersama dengan Justin.
"Bagaimana dengan David dan Lauren? Bukankah seharusnya pekerjaan Bartender dan Room Service adalah tugas mereka? Taman ini 'kan sebenarnya adalah tanggung jawabku," keluh Justin.
Rou terkekeh pelan, ia lalu menepuk bahu Justin. "Sudahlah, ayo kita ke depan saja. Kau 'kan bisa juga mengerjakan tugas mereka berdua untuk sementara waktu sampai mereka selesai menyiram taman."
Justin mengangguk lesu dan mencuci tangannya dulu bersama Rou sebelum kembali masuk kerja.
Bel di depan pintu hotel langsung berbunyi dan itu menandakan kalau seorang tamu datang tepat setelah Rou menyalakan lampu papan nama hotel yang menandakan kalau hotel akan segera dibuka.
Tahun baru membuat hotel itu buka juga di malam hari dan secara kebetulan waktu itu cukup pas untuk Ara agar bisa bertemu dengan Rylan.
Ya, Ara lah yang datang ke hotel itu tepat saat malam tahun baru tiba.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top