Bab 9: Jalan-jalan Sore

Bab 9: Jalan-jalan Sore

“Nenek ke sana dulu, teman nenek panggil. Kalian di sini saja, ya?” Nenek Fatimah kemudian melambaikan tangan kepada perempuan yang tidak jauh berbeda darinya, sudah sepuh.

Sore ini, mereka berada di Danau Angsa, masih di wilayah Pakuwon, di perumahan nenek Fatimah. Terdapat gazebo beton berwarna cerah. Banyak pohon di sekeliling, dan rumput-rumput kecil. Suasananya lumayan asri untuk daerah Surabaya yang panas. Memang cocok untuk bersantai bersama keluarga.

Memberikan kode dengan mata, Jeremias mengajak mereka duduk di salah satu batu yang cukup besar untuk menampung dua orang, letaknya berhadapan dengan danau.

Jeremias dan Abigail langsung teringat kembali dengan kejadian 9 tahun lalu, awal pertama kali mereka bertemu dan saling bercerita di depan Danau. Jeremias menggertakkan gigi, kenangan sialan. Andai saat itu, ia tidak penasaran dengan Abigail, si gadis yang pertama kali dilihatnya ketika menolong orang tua dan saling merebut buku di perpustakaan. Tidak dipungkiri, fakta bahwa Abigail sangatlah cantik juga menjadi faktor utama Jeremias mendekatinya.

“Kenapa kamu enggak lanjut apoteker saja?” Jeremias membuka percakapan dengan pertanyaan. Selain aneh karena mereka hanya berdiam saja, ia juga harus mulai bergerak, mengulik informasi dari sekarang.

“Apa itu penting sekarang?” Abigail tersenyum kecut. Nasi sudah menjadi bubur.

Dulu, ia pernah bekerja sebagai pegawai apotek. Namun, gajinya tidak seberapa, belum lagi ia selalu mendapat bagian jam kerja malam. Kasian Demian, tak berselang lama ia memutuskan keluar dan mendaftar di sebuah yayasan yang mempekerjakan Caregiver. Bekerja sebagai Caregiver setidaknya memperbolehkannya untuk pulang di malam hari, terlebih dari itu, gajinya lebih besar.

Selama itu, Demian tinggal bersama Tante dan Om-nya. Setelah Abigail keluar dari RS karena koma, ia tinggal dengan mereka. Itupun karena dipaksa oleh mereka. Merasa bersalah dan menyesal, ia mengikuti saja kemauan mereka. Setidaknya, Tuhan masih memberikannya Tante dan Om yang baik hati. Tanpa pamrih.

“Ya, kan, kamu single. Daripada kamu enggak lanjut, kan?" Jeremias mengeluarkan sebuah benda dari saku celana. Vape berwarna hitam.

Abigail hanya melihat sekilas, ia pikir Jeremias sudah berhenti merokok. Vape dan rokok sama-sama berbahaya. Lantaran karena Vape tidak mengandung tembakau bukan berarti kandungan seperti nikotin, aerosol, dan partikel toksiknya tidak ada.

“Udah telat, juga.” Abigail menjawab sekenanya.

“Enggak ada yang telat soal pendidikan.”

“Tapi aku enggak lagi cari itu. Aku butuh uang.” Abigail menghela napas gusar. Ia jadi tidak enak hati kepada Jeremias. “Ma–maaf, aku enggak bermaksud kasar.”

Butuh uang? Apa yang terjadi sampai Abigail yang dulu selalu memikirkan tentang pendidikan, tidak peduli dengan seberapa uang yang dihabiskan pergi? Ternyata tujuh tahun ini, banyak mengubah perempuan itu.

“Kamu makin tegas, ya? Saya suka liat kamu kayak gini.” Lantas Jeremias menatap netra Abigail yang membulat, salah tingkah. Jeremias spontan berdehem kencang, menetralkan kecanggungan yang terjadi.

Sial. Ia tidak bermaksud untuk mengatakan hal itu, tapi mulutnya dengan lancang malah memperkeruh suasana. Bisa dibayangkan apa yang terjadi sesudah kejadian itu, keduanya sama-sama diam.

Di kepal Jeremias, ia bertanya-tanya, apa yang terjadi setelah Abigail pergi? Dari jawabannya, ia seperti mengalami masa-masa sulit. Ah, tentu saja sulit, ayahnya meninggal dunia, dan ibunya malah pergi meninggalkan Abigail dan kakak laki-lakinya, dan memutuskan menjadi PSK yang lumayan kontroversi di Jakarta.

“Btw, Mas Fandi apa kabar?” Pria yang berusia 2 tahun di atas Jeremias.

“Udah enggak ada.” Abigail secara naluri mendongak ke langit.

Satu kesimpulan, mas Fandi telah tiada. Jawaban yang sangat mengejutkan. “Ma–maf, Bi.” Jeremias menundukkan kepala. “Kapan?”

“Sejak tujuh tahun lalu. Tiga bulan setelah ayah.”

Shit. Jadi, setelah ayahnya meninggal, Abigail harus mendapatkan duka lagi. Masalah tujuh tahun yang lalu sangat berat dihadapi Abigail. Apa perempuan ini baik-baik saja? Apa ia makan dengan benar, tidur dengan nyenyak, tertawa dengan bahagia, bercanda seperti biasa, yang sering ia tujukan kepadanya dulu? Sekelebat pertanyaan bertubi-tubi memenuhi kepala Jeremias.

“Bi?” Panggil Jeremias, masih dengan kepala tertunduk dalam, menatap tanah yang tidak menarik sama sekali.

Abigail menoleh bersama kening mengerut. “Hm?”

“Setidaknya kita bisa berteman, kan?” Jeremias memalingkan wajah, menatap lawan bicaranya dengan serius. Jeremias bersungguh-sungguh, entah kemana emosi karena dikecewakan. Kembali, rasa ingin melindungi perempuan itu menggebu-gebu untuk disalurkan.

Apa salahnya berteman dengan mantan? Lagi pula mereka sudah cukup sangat dewasa untuk membedakan antara masa lalu dan masa kini. Abigail juga tidak mau terlalu berharap dengan perasaannya. Begini saja sudah lebih dari cukup. Cinta mungkin menjadi urutan pertama di saat ia belum memiliki anak, tapi sekarang, ia memiliki prioritas utama yang sangat penting, yaitu Demian.

“Kenapa enggak?”

••••

“Bi, saya minta tolong, ya, buatkan kopi.” Jeremias berseru sambil melirik Abigail yang terus melanjutkan langkah ke dapur, sementara ia naik ke lantai dua.

Abigail mengangguk mengerti tanpa bersuara. Ia kemudian menawarkan kepada nenek Fatimah, apakah ia mau sesuatu, dan nenek meminta makanannya dipanaskan. Ia lapar.

Setelah semuanya beres. Abigail membawa makanan dan minuman tersebut ke ruang makan. Jeremias kemudian muncul, disusul oleh nenek Fatimah.

“Kamu enggak sekalian makan, Bi?" tanya Jeremias, menatap dua piring dan lauk pauk di atas meja.

“Aku makan nanti aja, Remi.”

“Bawa piringmu, dan makan bersama. Nenek yang meminta, jadi jangan menolak.” Nenek Fatimah tiba-tiba berseru.

Jika nenek Fatimah yang meminta, tidak ada penolakan yang bisa Abigail lontarkan. Menurut adalah satu-satunya jalan.

Kembali bersama piringnya. Abigail kebingungan karena Nenek Fatimah tiba-tiba menghilang. “Nenek kemana?"

“Makan di kamar.” Jeremias menyipitkan mata. “Kamu enggak duduk?”

“Hm, nenek udah di kamar, kan. Aku balik ke dapur aja, makan bareng Bibi.”

“Duduk, atau kita makan di dapur?”

Pasrah. Abigail meletakkan piring di atas meja dan duduk dengan diam di sana. Sejujurnya, ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tapi tertahan di tenggorokan.

“Besok temani saya bisa enggak?” Jeremias kemudian menambah satu Senduk nasi, dan rendang daging buatan Abigail. Rasanya luar biasa enak.

“Kemana?”

“Temani ke acara nikahan. Ada teman kantor saya yang nikah, dan disuruh bawa pasangannya.” Jeremias berseru dengan enteng.

Abigail hampir mati karena salah menelan masakannya sendiri.  Buru-buru, perempuan itu meminum air putih hingga tandas.

“Kamu enggak papa, kan?” Jeremias cemas.

“Kayaknya enggak bisa.” Tolak Abigail.

“Kenapa?”

“Enggak bisa. Aku ada kesibukan.”

“Please. Enggak bakal lama, kok. Ke sana cuma nunjukin kalo saya hadir, setelah itu kita pulang.”

Berdehem kencang. Sepertinya Jeremias tidak sadar dengan satu hal ini. “Kamu udah punya pacar, lho, Remi. Kalau kamu lupa, aku ingatkan.”

Mulut Jeremias berhenti bergerak. Seharusnya ia tidak merasa kesal mendengar ungkapan Abigail yang memang benar adanya. Namun, sebaliknya, ia kesal. Jeremias tidak suka penolakan.

“Besok jam 5 kita ke salon.” Putus Jeremias. “Urusan Evelyn, nanti saya sampaikan. Dia mengerti.”

“Ta–tapi, Rem—”

“Saya udah kenyang.” Jeremias bangkit berdiri. “Saya ke atas ambil jaket. Kamu tunggu di situ, saya antar pulang.”

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top