Bab 7: Do You Get Déjà vu, huh?

Bab 7: Do You Get Déjà, vu, huh?

Jeremias masih aneh, sama seperti dulu. Tidak terduga pola pikirnya oleh Abigail. Bagaimana bisa orang yang meledak-ledak akibat makanan yang ia masak tiba-tiba meminta makanan tersebut untuknya?

Tidak mau cari gara-gara dan ingin semua berjalan dengan aman, Abigail menuruti saja permintaan mantannya itu. Ia segera mengisi beberapa sate ke dalam piring dan membawanya ke ruang makan, tidak lupa sup dari tulang kambing, dan sambal yang ia letakkan bersama nasi hangat di sana.

Tidak lama kemudian Jeremias turun dari lantai 2 dengan menggunakan setelan kaos hitam da celana pendek senada. Dari dulu, warna pakaian Jeremias hanya satu, hitam. Abigail tidak paham dengan selera warna pria itu yang tidak pernah berubah selama bertahun-tahun.

"Bi?"

"Huh?" Apa Abigail salah mendengar panggilan pria itu kepadanya?

Jeremias duduk di kursinya, lalu menatap makanan di hadapannya, sangat menggugah selera. "Nama kamu Abigail, kan?"

Mengangguk canggung, Abigail berseru. "Ada yang bisa saya bantu lagi?"

"Buatkan saya kopi sepertinya biasanya."

"Huh?"

"Kamu kenapa kebanyakan huh, sih? Kayak baru ketemu aja sama saya," seru Jeremias ringan. Berlagak biasa, yang mana bertolak belakang dengan debaran jantung yang menggedor pertahanan pria itu.

Jeremias terdiam sesaat setelah memalingkan wajah ke arah kanan, merutuki ucapannya sendiri setelah melihat wajah nenek Fatimah yang sepertinya mendengar perkataannya.

"Kalian saling kenal? Kok, nenek enggak tahu?" Tatapan penuh selidik milik wanita paruh baya itu dilayangkan secara bergantian ke arah Jeremias dan Abigail.

"Kenalan dulu waktu Kuliah, Nek," jawab Abigail cepat.

"Oalah kamu lulusan satu kampus sama Jeremias di Jakarta juga, tho. Terus cuma kenalan aja? Kalian enggak berteman?" Nenek pun duduk di samping Jermias, menunggu jawaban dari sang cucu yang terdiam kaku.

Namun hanya sebentar, karena Abigail kembali bersuara. "Kami enggak berteman, Nek."

Alis Jermias tak tanggung-tanggung tersangka dua dengan lipatan ganda di dahi. Apa? Mereka memang tidak berteman, kan.

"Lalu apa? Kenapa enggak pacaran saja?"

Abigail dan Jeremias saling bertukar pandangan sesaat. Raut penuh makna dan sarat akan makna itu kemudian dibuyarkan oleh sang nenek yang berkata ia hanya bercanda saja, jangan dibawa terlalu serius. Kemudian setelah itu, barulah nenek Fatimah berpamitan untuk kembali ke ruang keluarga untuk menonton sinetron kesuksesannya dan meminta Abigail membuatnya teh hijau.

"Sa-saya permisi ke dapur."

Buru-buru Abigail melangkah menjauh dari hadapan Jeremias. Setibanya di dapur, ia menyandarkan tubuh di tembok dan memejamkan mata untuk sesaat. Ucapan nenek Fatimah memang luar biasa, apa sebenarnya perempuan 65 tahun itu mengetahui Abigail? Semoga saja tidak. Akan sangat sulit untuknya jika nenek Fatimah mengetahui masa lalu mereka. Apalagi nenek Fatimah tahu ia seorang single mom setelah melarikan diri dari Jakarta.

Demi Tuhan. Abigail tidak mau terlibat lagi dengan orang-orang yang memiliki harta dan penuh dengan keangkuhan seperti mama Jeremias, Monalisa. Ia tidak bisa membayangkan jika mereka menghina Demian. Cukup sekali ia pergi ke rumah mereka, berkata dengan sejujurnya, memohon agar bisa bertemu dengan Jeremias dan mendapatkan hinaan.

"Kamu kenapa?" Buru-buru Abigail berjalan ke arah lemari dapur dan mencari gelas untuk membuat kopi dan teh hijau ketika suara bariton Jeremias mengudara.

"Enggak papa, kok." Bohong Abigail.

Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jeremias tentu tahu, perempuan itu tidak jujur. "Jangan tanggapi ucapan nenek tadi."

Abigail hanya mengangguk dan fokus pada teh dan kopi buatannya. Tiga sendok kopi dan satu sendok teh gula untuk Jeremias. Lalu, teh hijau tanpa gula untuk nenek Fatimah.

"Gimana keadaan kamu selama ini?" tanya Jeremias seraya membuka pintu kulkas, mengambil jeruk nipis yang akan dicampakkan ke sate.

"Biasa saja." Abigail menjawab seadanya. Bagaimana pun, Jeremias telah memiliki kekasih, ia harus menjaga jarak darinya.

Awal mengetahui fakta itu dari nenek Fatimah, Abigail mengakui bahwa ada rasa getir. Namun, apalah artinya sekarang?

Jeremias yang mendapat respon seperti itu memutar bola mata sebal, ingin sekali mendengkus jengkel di depan wajah Abigail dan berkata, 'memangnya kamu terbiasa tanpa saya?' tapi ditahan mati-matian.

"Udah nikah, Bi?" Jeremias bertanya dengan hati-hati.

"Belum."

"Pacar?"

"Kayaknya pacar kamu bisa marah kalau kamu tanya-tanya kayak gini ke aku, Remi." Abigail menghela napas berat. Ia kemudian memberikan gelas berisikan kopi itu kepada Jeremias. "Ini kopi kamu."

Abigail kemudian berlalu dari hadapannya. Jeremias hanya membisu seribu bahasa. Kaki pria itu seakan-akan tidak bisa digerakkan, berat. Ada yang aneh. Reaksi yang sama seperti dulu, ketika Jeremias yang dikelilingi banyak perempuan. Apa Abigail tengah cemburu?

Sesuatu yang lebih tidak terduga lagi adalah, Jeremias dasar bahwa ia senang dengan respon Abigail barusan. Sangat bahagia. Ia suka, dan letupan-letupan aneh, yang lama tidak ia rasakan mulai timbul kembali. Akan sangat menarik jika mulai sekarang ia menganggu ketenangan Abigail.

••••

Jeremias memastikan televisi setelah menonton beberapa acara berita di televisi yang akhir-akhir ini tidak menarik sama sekali. Hendak menaiki tangga, sebuah derap langkah lain muncul dari dapur sambil membenarkan letak tasnya.

"Kamu enggak menginap saja?" tanya Jeremias. Bisa-bisanya Abigail mau pulang di jam seperti ini.

Mengangkat kepala, sepertinya Abigail sering terkejut mendapati Jeremias, terlihat dari bola matanya yang melebar. Seperti melihat hantu. "Enggak. Aku harus pulang."

Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Jeremias kembali menatap Abigail. "Ini jam 12, lho."

"Enggak papa, aku udah pesan ojek online."

Niat Jeremias untuk kembali ke kamar tidak jadi. Sebagai pria yang baik, tidak mungkin ia membiarkan perempuan lanjang sendirian di tengah malam seperti ini. "Ayo, saya antar."

"Huh? Enggak usah." Abigail menggeleng cepat.

"Enggak ada bantahan, ayo." Jeremias kemudian membuka pintu rumah dan melirik Abigail yang terdiam kaku. "Saya enggak bakal bunuh kamu karena ditinggal pergi begitu saja." Ia sengaja menyindir Abigail.

Abigail mau tidak mau, mengikuti langkah Jeremias keluar, kemudian masuk ke dalam mobil sang mantan.

Melirik ke samping, sabuk pengaman yang belum terpasang dengan baik menganggu ketenangan Jeremias. Entah kemana perginya kesadarannya, atau terjebak masa lalu, dengan impulsif pria itu mendekatkan tubuhnya ke arah Abigail dan menarik sabuk pengaman. Detik itulah ia sadar bahwa jaraknya dengan Abigail hanya sejengkal saja.

Bahkan kedua mata mereka saling terkunci. Menarik sedikit bibirnya, Jeremias tersenyum menyadari kalau Abigail gugup setengah mati, ia bahkan tidak mengeluarkan napas. Menurunkan padangan, ia fokus pada bibir merah muda yang masih sama seperti tujuh tahun lalu, menarik untuk disentuh.

Namun, akal sehat pria itu masih bekerja dengan baik, maka dengan cepat ia menjauhkan diri, lalu duduk dengan normal di kursinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Jeremias juga gugup, tapi sok keren saja agar tidak terlihat salah tingkah.

"Do you get de Javu, huh?"

"Huh?"

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top