Bab 4: Demian D

Bab 4: Demian D

Surabaya, 2020.

Menatap wajah sang anak yang tertidur pulas. Paras mereka memang pantas bila dikatakan seperti pinang dibelah dua, mirip. Abigail hanya mewariskan warna kulitnya saja kepada Demian.

Hal itu, membuat Abigail teringat kembali pertemuannya dengan Jeremias tadi pagi sebelum pria itu buru-buru berangkat ke kantornya. Jangan tanyakan betapa terkejutnya Abigail ketika mata mereka saling bersinggungan. Detik itu, ingin sekali ia memutar tumit, lalu pergi dari sana dan tidak kembali lagi jika tidak mengingat bahwa di sana, ia telah bekerja sebagai Caregiver nenek Fatimah.

Demi Tuhan. Abigail tidak tahu menahu fakta bahwa nenek Fatimah yang dulu sering Jeremias ceritakan, bahkan saat mereka melakukan telfon bersama adalah nenek yang sama. Terlebih nama belakang mereka yang berbeda, Fatimah Kahar, berbeda sekali dengan Jeremias Derek. Semua kemungkinan itu, sangat kecil untuk Abigail duga. Ia berpikir, selama 7 tahun ini, mereka tidak akan bertemu lagi. Namun, nyatanya ia diperhadapkan pada situasi canggung dan menyedihkan ini.

Abigail juga menemukan perbedaan Jeremias yang semakin tampan dan berwibawa. Mungkin karena tubuhnya bertambah kekar, dan rambut-rambut halus di sekitar wajah yang semakin membuat pria itu terlihat dewasa.

Abigail menghela napas berat. Kilas balik ini menimbulkan banyak argumen di kepalanya, rasa bersalah, dan ketidakpercayaan diri di hadapan Jeremias. Apa yang dipikirkan pria itu ketika melihatnya tanpa ekspresi tadi pagi? Kenapa ia biasa saja? Mengapa wajah itu datar dan bertingkah seakan-akan mereka tidak bertemu?

“Mama?” Demian tiba-tiba membuka mata.

“Iya sayang? Haus?” tebak Abigail seraya menuangkan air ke gelas di atas nakas. Demian kadang tertidur dengan mulut sedikit terbuka, membuat ia kehausan dan ini beberapa kali terjadi.

Anak laki-laki berusia 6 tahun itu bangun dan menerima gelas pemberian mamanya. Tidak tanggung-tanggung ia menghabiskan segelas penuh gelas berisikan air.

“Enggak pipis sekalian, Sayang?”

••••

Pagi-pagi sekali, Abigail sudah bangun dan menyiapkan sarapan, dan bekal untuk Demian bawa ke TK. Membangunkan, memasukkan, mengantarkan Demian adalah kesibukannya sekarang sebelum pergi bekerja di rumah nenek Fatimah. Sebernarya, ia harus stay bersama nenek Fatimah. Namun, karena ia memiliki anak, beliau mengizinkannya untuk pulang saja ke rumah, dan kembali bekerja di pagi hari dan pulang di malam hari.

Sebernarya ada Dela, keponakan Abigail yang tinggal bersama dengannya. Kemarin ia dan Demian ke malang untuk menjemput Dela, makanya Abigail telat melaksanakan tugas di rumah nenek Fatimah hingga 1 Minggu. Untung beliau masih menoleransi keterlambatan itu dan tidak membatalkan kontrak dengan yayasan tempat Abigail bekerja.

“Hati-hati, Sayang. Mama tunggu cerita kamu hari ini di rumah, ya? Nanti Kak Dela yang jemput.”

“Oke, Ma.” Demian tersenyum lebar.

Abigail membantu Demian turun dari motor. Setelah mencium punggung tangan mamanya, anak itu berjalan meninggalkan Abigail yang membalasnya.

Sekarang, Abigail harus kembali pada kenyataan bahwa ayah dari anaknya itu mungkin saja ada di rumah nenek Fatimah. Bayangan ketika mereka kembali bertemu adalah hal mengerikan bagi Abigail. Beruntung, tadi malam ia pulang sebelum pria itu datang. Namun, entah untuk hari ini. Semoga mereka tidak bertemu hingga Abigail siap.

Abigail menyalakan motor, dan melanjutkan perjalanan ke daerah Pakuwon city. Daerah perumahan elit yang bahkan, tidak terbayangkan olehnya untuk bekerja di sana.

Waktu bergulir cepat, hingga tidak terasa ia berada di depan pintu rumah nenek Fatimah. Menarik napas dalam-dalam, ia membuka pintu samping yang langsung terhubung dengan ruang keluarga. Semoga saja Jeremias tidak ada. Berjalan dengan hati-hati menuju ke dapur, langkahnya terhenti mendadak ketika suara orang yang dihindarinya berseru.

“Nek? Ini susunya.” Jeremias berlalu dari hadapannya, berjalan ke kamar nenek Fatimah yang berada di lantai satu. Namun sebelum bener-bener jauh, pria itu berseru, “Lain kali, kalau mau mempekerjakan orang, lihat-lihat yang rajin, Nek. Ini, kok, datangnya jam 7? Harusnya sebelum nenek bangun udah ada, dong. Di kontrak enggak ada, kah?”

Mengangkat kepala, Abigail termenung. Benar kata Jeremias. Ia tidak profesional. Kinerjanya buruk, seharusnya ia bangun lebih awal. Baiklah, besok, ia akan meminta Dela saja yang mengantar Demian ke sekolah. Namun, nanti bagaimana dengan Demian? Akan ia jelaskan, semoga anaknya paham.

Tidak melanjutkan perjalanannya ke dapur, ia ikut berjalan ke kamar nenek Fatimah. Pintu kamar terbuka, dan bisa ditebak, siapa yang ada di sana. Nenek dan cucunya.

“Pagi, Nek. Maaf, saya telat datangnya.” Abigail tertunduk diam setelah itu.

Nenek Fatimah menggeleng. “Enggak papa. Jeremias saja yang berlebihan. Nenek masih bisa jalan, dan masih bisa melakukan apapun sendiri.”

“Terus gunanya dia apa, Nek?” sahut Jeremias, melirik sepintas lalu pada Abigail.

“Enggak boleh marah-marah, lho. Ini masih pagi.” Nenek Fatimah mengibaskan tangannya. “Sana balik ke kamarmu. Siap-siap. Jam 9 ke kantor, kan?”

Jermias memutar langkah, dan berjalan keluar dari sana. Di depan pintu, tepat di samping Abigail berdiri. Pria itu berhenti sejenak, memperhatikan Abigail dengan terang-terangan, tanpa ada tatapan hangat di sana, ataupun kerinduan. Abigail bisa merasakan pancaran penuh dendam di mata pria itu, amarah yang ingin disampaikan, dan semua luapan emosi yang entah berapa lama pria itu tahan.

Spontan Abigail menundukkan kepalanya. “Ma–maaf, Pak. Besok enggak akan saya ulangi.”

“Bagus. Saya enggak mau tahu, ya? Dari nenek saya bangun sampai tidur, kamu harus ada! Kamu boleh pulang kalau semua udah beres.”

“Sudalah Jeremias,” sahut nenek Fatimah yang menghela napas panjang.

Barulah setelah itu Jeremias benar-benar pergi dari sana. Meninggalkan Abigail yang bingung harus seperti apa. Semoga, hubungan mereka hanya sebatas ini. Lebih baik, mereka berlagak tidak saling mengenal.

“Jeremias memang seperti itu. Anaknya sedikit protektif. Tapi dia baik. Hatinya lembut.”

“Iy–iya, Nek.”

“Nenek hari ini kepengen makan sup, dan jalan-jalan di sekitar kompleks. Kamu bisa kan?”

Abigail mengangguk cepat. “Siap, Nek. Kalau gitu sekarang minum obatnya, dan kita jemur pagi, dulu. Sekalian saya buatkan teh jahe, dan panaskan roti.”

“Andai saja Jeremias punya istri sepertimu.”

Hampir saja, Abigail tersandung kakinya sendiri. Tersenyum kaku, ia tidak tahu harus merespon seperti apa nenek Fatimah sekarang.

“Kalau kamu pun, nenek enggak masalah kamu jodoh dengan Jeremias.” Lanjut nenek Fatimah yang kemudian berlalu dari kamar, meninggikan Abigail yang terdiam, berpura-pura mencari obat.

“Nek? Jere berangkat dulu. Hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung telpon jere.”

“Iya! Kamu ini, bikin anak orang takut aja."

“Biarin. Dari dulu emang begitu dia."

“Dari dulu?”

“Udah telat, Nek. Bye nenek cantik!”

Sayup-sayup, Abigail bisa mendengar percakapan antara nenek Fatimah dan Jeremias. Sebuah lengkungan halus terukir ketika mendengar percakapan mereka. Apa Jeremias masih mengingat kenangan mereka?

“Abi? Sini,” seru sang Nenek.

“Ah! Iya, Nek!” Abigail buru-buru keluar dari sana.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top