Bab 39: Hai, Kita Bertemu Lagi

Bab 39: Hai, Kita Bertemu Lagi

Hari Sabtu adalah hari yang selalu ditunggu banyak orang untuk melakukan aktivitas bersama keluarga. Entah di rumah, atau berjalan-jalan. Salah satu dari sekian banyak itu, ada Jeremias, Abigail dan Demian dalam perjalanan ke makam ayah dan kakak Abigail.

Letak kuburan ayah dan kakak Abigail berada dekat di Pemakaman Ereveld di sekitar kawasan Makam Kembang Kuning yang didominasi oleh makam umat Kristiani, Katolik dan Tionghoa.

Abigail, Jeremias, dan Demian berjalan beriringan memasuki wilayah tersebut. Hingga berhentilah mereka makam yang terlihat rapi. Abigail memang selalu menyuruh tukang jaga makam untuk membersihkan kuburan sang ayah seminggu sekali.

Tidak terasa. Sudah selama ini Abigail hidup tanpa kehadiran cinta pertamanya itu. Sungguh, hidup memang penuh teka-teki. Ia tidak memikirkan akan datang ke sini, bersama Jeremias dan anaknya.

Abigail membuang wajah ke sembarang arah. Matanya memanas, berkedip sedikit saja, maka air bening itu akan tumpah membasahi kulitnya. Sudah selama ini, tapi kesedihan itu masih sama. Ah, sesak dan perih sekali. Sebagai anak, Abigail belum melakukan apapun demi Ayahnya, meskipun ia tahu, beliau tidak akan meminta balasan darinya.

“Hallo kakek!” Demian berseru, sambil memindahkan sebuket bunga Lily putih di atas batu nisan. “Kakek lagi ngapain? Demian datang bareng mama dan papa.”

Jeremias yang menyaksikan itu, berkesimpulan bahwa Demian sering ke sini bersama Abigail.

“Demian sini, jangan lari-lari.” Abigail menarik Demian di dekatnya.

Suasana kembali hening. Abigail terus menatap makam sang ayah. Dalam hati, perempuan itu menceritakan banyak hal. Tentang apa yang sedang terjadi dan yang telah berlalu. Mencurahkan isi hati layaknya kepada seorang sahabat. Ya, ayahnya adalah sahabat yang baik. Andai saja, waktu itu, ayah Abigail tidak terjerat Korupsi, dan memilih hidup baik-baik saja.

Lamunan Abigail terganggu kala mendengar dehem Jeremias. Pria itu kemudian mengubah posisi duduknya, dan menarik napas panjang. Terlihat sedikit gugup.

Apa yang pria itu lakukan?

“Om. Saya bukan pria baik. Banyak kekurangan-kekurangan saya. Banyak kesalahan yang saya berikan kepada Abigail. Saya pria brengsek. Tapi ada satu hal, om. Izin saya menikah sama anak Om. Saya enggak bisa berjanji. Tapi Om bisa pegang kata-kata saya, tidak ada lagi perpisahan di antara kami. Saya pasti menjaga anak Om dengan baik, memberikan semua yang saya miliki. Menebus semua kesalahan saya.” Jeremias menundukkan kepala. “Kami ke sini minta restu om. Semoga pernikahan kami berjalan sampai maut memisahkan. Soal perasaan saya, masih sama seperti dulu ketika saya jemput Abigail di depan pagar rumah Om. ”

Abigail tercenung mendengar perkataan Jeremias. Abigail kebingungan harus merespon ucapan Jeremias. Maka, ia hanya diam, sesekali melirik pria itu, yang serius berbicara banyak hal. Jantung Abigail berdegup tak kalah setiap kata itu keluar dari bibir Jeremias. Abigail bukan lagi remaja yang harus tersipu malu, tapi kenapa ia memerah hanya karena tutur kata pria itu?

“Mama sakit, kah?” Demian kemudian memegang pipi mamanya yang memerah. Ia kemudian berbalik menatap ayahnya. “Pa. Pipi mama merah, panas lagi. Mama saki—”

“Enggak kok, sayang.” Abigail segera memotong ucapan anaknya, salah tingkah tidak bisa terhindarkan lagi, Abigail mengatupkan bibirnya rapat-rapat, malu ini menjalar hingga ke telinganya. Sungguh menggelikan, pikir Abigail.

Setelah dari makam ayah, mereka berpindah ke makam sang kakak. Sekali lagi, Jeremias meminta izin kepada kakak Abigail.

••••

Di mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah nenek Fatimah. Jeremias kembali teringat akan ibu Abigail.

“Enggak telepon mama kamu, Bi?”

Abigail terlalu sensitif terhadap mamanya. Makan mendengar hal itu lagi, dari bibir Jeremias, rasa-rasanya ia ingin turun dari mobil dan memutuskan jalan kaki saja.

“Enggak perlu.”

Perempuan itu tidak perlu datang ke pernikahan mereka. Abigail terlalu kecewa. Ia bukan mama yang baik bagi Abigail dan kakaknya. Ibu mana yang tega meninggalkan anak-anaknya pergi bersama sang ayah yang sedang sakit stroke. Entah kemana hati nuraninya. Banyak kepahitan hidup yang ditinggalkan  mama Abigail kepada mereka.

“Tapi dia mama, kamu. Wali yang setidaknya harus ada, kan?”

“Peduli apa dia sama aku, Remi? Jika dia peduli sama aku. Saat ini dia ada di kos-kosan, bukan Dela. Kalau dia peduli, aku enggak akan bunuh diri.” Abigail memalingkan wajah keluar jendela, meneteskan air mata. Ah, efek samping dari hamil, membuat ia seperti ini. Berlebihan.

Jika sudah seperti ini, Jeremias tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan tetap ada di tangan sang calon istri. Terlebih dari itu. Jeremias tidak mau membuat Abigail bersedih lagi. Apapun akan ia setujui supaya Abigail tetap tersenyum.

“Baiklah. Kalau begitu. Saya akan ketemu sama om dan Tante kamu.”

Ini lebih baik, pikir Abigail. “Hmm,” gumamnya mengiakan.

“Bi?”

“Hm?”

“Enggak jadi,” Jeremias meremas kuat setir mobil. Ketika dorongan dari hati untuk bertanya, namun otak berbicara sebaliknya. Pria itu tetap kalah untuk bertanya. Ck.

Tidak ada percakapan setelah itu. Hanya suara video Cocomelon yang ditonton Demian yang mengisi keheningan.

••••

Malam ini, kembali Abigail dan Demian harus menginap di rumah nenek Fatimah. Sejujurnya ada rasa bersalah kepada Dela karena harus meninggalkannya sendiri lagi di rumah. Sebagai balasan, Abigail akan memberikan sepupunya itu hadiah. Hadiah yang semoga saja membuat gadis itu bahagia.

Abigail malam ini ingin sekali duduk di luar. Karena itu, setelah Demian tertidur di kamar Jeremias. Perempuan itu diam-diam keluar dari rumah, duduk di gazebo taman yang terbuat dari kayu, ada kolam ikan kecil di depannya. Malam ini, untungnya tidak hujan. Abigail mengayunkan kaki, menikmati kesunyian, tanpa berpikir apa-apa, hanya menikmati waktu yang terus bergulir.

Capek juga jika otaknya terus dipaksa berpikir, apalagi menduga-duga hal yang belum terjadi. Menjadi overthinking itu menderita, tidak bahagia, apapun dipikirkan, padahal seharusnya ia bisa menyaring mana yang perlu dan tidak perlu.

“Kamu kenapa belum tidur dan malah duduk di luar?” Suara bariton itu datang dari arah jam 12.

Abigail mendongak. “Nyari angin segar.”

“Boleh duduk?” Jeremias melirik bagian kosong di samping Abigail.

“Ini milik kamu, duduk aja, kan.”

Memang nada ucapan Abigail tidak ketus, tapi kata-katanya cukup menyebalkan di telinga Jeremias.

“Dulu, pas hamil Demian, kamu ngidam apa aja?” tanya Jeremias, membuka ruang obrolan.

“Entah. Aku lupa. Cuma, paling aku ingat, pengen banget makan rujak.”

“Sekarang enggak?”

“Ada, sih.”

Jeremias mengusap tangannya. “Apa?”

Abigail terdiam cukup lama. Lalu berseru dengan lembut. “Pengen dipeluk.”

Ini pasti menggelikan. Abigail tersenyum lirih. Namun, sentuhan hangat dipundaknya, lalu disusul dengan tarikan halus, menempelkan tubuhnya dengan Jeremias.

Hangat. Nyaman. Sangat membuat Abigail ingin tidur.

“Bilang apa aja sama saya. Yang kamu suka, enggak suka, menganggu isi kepala kamu.” Jeda Jeremias. “Saya memang belum menjadi pria yang baik buat kamu, tapi saya usahakan menjadi yang sepadan untuk kamu.”

Hangat. Sangat nyaman.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top